Mulianya Perempuan dalam Islam – Coba jujur. Iklan apa yang tidak menggunakan tubuh wanita? Susah kan? Mulai dari iklan oli sampai sikat gigi, semuanya memakai sosok perempuan. Itu maklum, karena di hari-hari ini, wanita telah menjadi bagian dari industri.
Dan uniknya, hal itu bukan milik wanita sembarangan. Tapi yang berbodi cihui abis. Yang masuk kategori L apalagi XL, silahkan lewat saja.
Hah! Bener-bener menjengkelkan. Semuanya seolah ingin mengatakan bahwa wanita yang mempunyai martabat tinggi adalah yang mempunyai ukuran badan ideal.
Padahal, Islam selalu menempatkan semua wanita tertampak kemuliannya. Dan kemuliaan seseorang bukan dinilai dari fisiknya.
Jikalau memang begitu, tentu Abdullah bin Umi Maktum yang tuna netra itu tak berharga dalam Islam.
Tetapi, bahkan surat Abasa turun dari langit untuk menegur Sang Rasul. Iya khan? Atau Bilal bin Rabah yang justru terpilih untuk menyeru kepada manusia untuk menegakkan shalat.
Kemuliaan itu, tidak terukur dari betapa rajinnya kita mengumbar aurat kepada khayalak. Betapa seringnya kita mempertontonkan mulusnya bodi pada publik. Membiarkan lawan jenis berpikir ngawur, dan tidak semestinya.
Tidak. Tidak seperti itu. Haram. Haram itu …
Lihatlah, ketika sang murid sufi ternama Rabiah Al-Adawiyah bertutur tentang gurunya, “Saat kami berada di dalam majelis Rabi’ah dan menyimak pelajarannya, kami sering lupa bahwa dia adalah seorang perempuan.”
Yah. Rabi’ah ternilai di mata murid-muridnya bukan karena fisik secihui Zhang Ziyi. Bukan. Bukan karena itu.
Tetapi, Rabi’ah mulia karena nilai-nilai kemuliaan yang ada pada beliau yang salah satunya adalah keluasan ilmu yang dimilikinya.
Masyarakat memuliakannya bukan karena betapa cantiknya dia. Itu nomor yang kesekian dalam Islam.
Karena semua itu hanyalah fana yang takkan pernah abadi. Hanya fana yang mengganggu pandangan mata saja. Sekejap, kemudian menghilang entah ke mana ….
Dalam Islam, engkau menempati satu kalimat istimewa: perhiasan terindah. Di tanganmu, terbentang seribu keistimewaan yang tak hanya berupa jasadi.
Sebagaimana dalam At-Taaj Aj-Jaami’ Al-Ushul, yang terpaparkan bahwa seorang wanita bukan saja berbentuk badan. Akan tetapi, terlekat juga rasa cinta yang suci, kecantikan, kelembutan, kecekatan, lihai mendidik jiwa buah hati, dan tempat menggantungkan keturunan.
Sebuah posisi yang tak akan pernah bisa digantikan oleh seorang laki-laki. Hingga hari kiamat pun.
Agama ini bukan saja tanggung jawab kaum lelaki. Dan pahala-pahalanya bukan saja diberikan kepada kaum lelaki.
Banyak orang jahil mempunyai konsep atau pengertian yang salah mengenai Islam. Mereka berpikir bahwa Islam sangat mendiskreditkan, merendahkan perempuan, dan tidak memberikan kesempatan sekaligus ruang yang banyak kepada muslimah untuk berkarya.
Khadijah adalah teladan untuk kita ikuti dan pahami, bagaimana seorang muslimah berperan. Perhatikanlah, bagaimana saat Rasulullah SAW menerima wahyu pertama dari Allah SWT, dengan segera Rasulullah menjumpai Khadijah. Kala itu, Rasulullah SAW dalam menggigil ketakutan, tersergapi ketidaknyamanan, karena ini adalah saat pertama beliau berjumpa dengan Jibril. Ini pertama kali beliau melihat Jibril dalam bentuk sebenarnya.
Saat beliau menggigil, ketakutan, Khadijah lah orang pertama yang menenangkan beliau, Khadijah lah orang yang meneduhkan Nabi SAW. Menghilangkan ketakutan Nabi SAW. Karena Khadijah tahu betul bagaimana akhlaq mulia suaminya yang tak pernah melakukan sesuatu yang buruk. Tidak mungkin Allah akan menyusahkan beliau.
Khadijah pula lah orang pertama yang masuk Islam, dan muslimah sekaligus orang pertama di dunia yang membenarkan Nabi SAW. Khadijah lah orang pertama yang menerima pesan dakwah, pesan Islam. Yah, orang pertama yang menerima pesan Islam adalah seorang perempuan, bukan laki-laki.
Baca juga: Belajar Copywriting Terlengkap di Indonesia
Bahkan, kala itu, Khadijah pula lah yang mengambil peran dakwah pertama, dengan menjumpakan Rasulullah dengan Waraqah bin Naufal. Lalu, menceritakan semuanya seperti yang diceritakan Nabi SAW padanya. Kemudian Waraqah berkata, “Itulah Namus seperti yang dilihat oleh Musa AS. Suamimu benar, jangan khawatir. Suamimu adalah seorang Nabi.”
Jadi kita lihat saat pertama kali bagaimana dakwah ini berbenih, seorang muslimah sudah memainkan peranan. Begitu Khadijah mendengar cerita Rasulullah SAW, saat itu juga ia terus menolong Rasulullah SAW, langsung mengagendakan misi dakwah. Khadijah bukanlah perempuan yang hanya tinggal di rumah, tidur, rehat, dan melihat dakwah suaminya saja. Namun, dia berperan aktif, dan menjadi pilar yang memberikan kenyamanan Rasulullah untuk mengekspansikan dakwahnya.
Sekarang, kita lihat orang pertama yang mati untuk Islam. Kita tahu, para sahabat mengalami penyiksaan yang begitu berat, kehilangan tangan, kaki, dan semua penderitaan yang maha hebat lainnya. Tapi, justru orang pertama yang Allah tentukan untuk mati di jalan Allah adalah seorang muslimah! Dia bernama Sumayyah.
Dia mengembuskan napas terakhirnya karena teguh dengan kalimah laa ilahaa ilallah, muhammadur rasulullah. Padahal, bila saja Sumayyah mau untuk murtad, siksaan akan segera berlalu dari dirinya. Tetapi, Sumayyah memilih teguh dengan tauhidnya, dan menjadikannya muslimah sekaligus orang pertama yang syahid di jalan Allah.
Allah sengaja mengatur semua ini untuk menjadi satu teladan bahwa wanita mempunyai peranan penting, bukan saja menerima agama Islam, tapi juga ikut berjuang dalam menegakkan agama Islam.
Subhanallah …
Baiklah, setelah kita tahu bahwa yang pertama menyambut seruan dakwah Rasulullah dan kemudian masuk Islam adalah perempuan, dan yang pertama pula mengucurkan darahnya di jalan Allah sehingga meraih kesyahidan juga seorang perempuan, Allah menambahkan lagi keistimewaan pada perempuan dalam lembar sejarah keislaman. Guru utama dalam periwayatan hadits adalah perempuan! Dia tak lain dan tak bukan adalah Aisyah. Terkabarkan, ada 2220 hadits yang diriwatkan oleh Aisyah. Kebanyakan, hadits yang sering kita baca adalah hasil dari periwayatan Aisyah.
Maka, membelalah. Karena Islam sering dituding sebagai agama yang tidak memihak wanita karena sebagian aturan-aturannya dianggap mengekang kebebasan kaum wanita. Aturan-aturan Islam seringkali dianggap terlalu maskulin. Bias jender. Dan senantiasa menempatkan wanita pada posisi nomor dua setelah kaum Adam.
Maka, membelalah. Karena aturan-aturan Islam seringkali dianggap tidak relevan dengan kondisi zaman sekarang. Dianggap selalu bertentangan dengan konsep kesetaraan dalam kehidupan, seperti hukum waris, poligami, dominannya kepemimpinan laki-laki, perihal pencarian nafkah, dan pakaian seorang wanita.
Baca juga: Penulis Biografi Terbaik di Indonesia
Maka, membelalah. Karena dengan merebaknya paham sekulerisme di tengah-tengah umat, jelas menumbuhkembangkan kebebasan dan gaya hidup individualis-materialistis, dengan satu balutan kata: modern.
Era di mana engkau kan menemukan pengukuran untuk kata kebahagiaan dinilai berdasarkan duniawi. Dan itu berarti: terpenuhinya sebanyak mungkin kebutuhan jasmani, atau materi yang dihasilkan. Akibatnya, para wanita bersicepat dengan kaum pria untuk menghasilkan materi sebanyak-banyaknya.
Islam datang dengan senyum hangat rahmat, maka segala alur kehidupan akan menjadi harmonis, indah, dan nyaman jikalau syariat menjadi pakaian di setiap episodenya.
Fatimah az-Zahra, semua tentulah tahu bahwa ia adalah anak kesayangan Nabi Muhammad. Namun, tidak ada kisah masyhur tentang dirinya yang tidak berkaitan dengan penderitaan. Ia menyaksikan ayahnya dilempari kotoran unta. Ia menikah dan hidup dalam kemiskinan yang sangat. Setelah ayahnya meninggal, ia harus terlibat dalam sengketa hak atas tanah Fadaq yang kontroversial, sehingga tidak banyak orang Islam yang suka membicarakannya, kendati justru saat itulah tampaknya kali pertama tercatat seorang perempuan Arab tampil di muka umum untuk berdebat dan memperjuangkan haknya.
Fatimah dan suaminya, Ali, biasa berpuasa bersama berhari-hari untuk menyisakan makanan bagi dua anaknya. Kisah Fatimah menggiling gandum hingga tangannya berdarah, tentu juga sudah terkenal. Pada saat-saat kritis seperti itu, ayahnya kerapkali datang. Satu kali membantu, kali lainnya memberikan doa.
Padahal, ketika itu Muhammad sudah menjadi nabi. Mudahlah saja bagi beliau memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk membantu. Tapi tidak, tidak sekalipun. Bahkan, Abdurrahman bin Auf yang kaya itupun tak dimintai hartanya. Tidak, tidak sekalipun. Fatimah tertempa untuk menemukan harga diri yang sebenarnya, untuk hidup bukan dengan banyaknya pelayan dan uang.
Tentu juga bukan perkara gampang menjadi istri seorang ahli zuhud seperti Ali, yang senantiasa bercahaya dalam sejarah kepahlawanan Islam. Tapi soal harta, Ali justru meletakkannya pada nomor yang entah keberapa. Tidak ada kepastian finansial bagi Fathimah. Seperti juga tak ada kepastian baginya kapan sang suami akan kembali pulang dalam keadaan hidup. Karena jihad, senantiasa mewarnai langit kehidupan Ali. Tetapi, itulah pasangan terbaik yang pernah ada. Perpaduan pasangan termesra yang pernah hadir.
Lalu, apakah Fatimah tidak bahagia dengan semua itu? Tidak. Tidak. Dia bukannya tidak bahagia menjalani semua itu. Tetapi, Fathimah justru menjadi muslimah yang begitu bahagia. Teramat bahagia. Ia bahagia, walau harus menjalani aktivitas mahaberat yang meraja hari. Dari menggiling gandum sampai memasak makanan, melahirkan, menyusui dan mengurus anak-anaknya tanpa mesin cuci, magic jar, dan semacamnya. Tetapi, di saat yang sama, ia pun harus sibuk melatih hatinya untuk ikhlas memerdekakan budak, merelakan kalung yang merupakan harta satu-satunya diambil seorang fakir, sampai menundukkan egonya ketika bertengkar dengan suaminya. Ia sibuk berperang melawan dirinya sendiri. Tapi Fathimah tetap bahagia. Bahagia. Sangat teramat bahagia.
Tujuan utama wanita diciptakan adalah untuk menciptakan ketenangan dan ketenteraman bagi suami dan anak-anaknya. Begitulah istri shalihah. Apa saja yang harus dikerjakannya?
Berikut ini mungkin bisa memberi jawaban.
Berdandan yang bisa menarik perhatian suami agar sedap dipandang. Senantiasa taat serta patuh dengan perintah suami selama tidak berlawanan dengan ajaran Islam.
Semaksimal mungkin berpenampilan menyenangkan. Bagi dari sisi dhahir maupun batin. Artinya, selain penampilannya mempesona suami, juga akhlaq yang begitu menawan.
Mendukung dakwah sang suami. Yup, dukung dong aktivitas dakwah sang suami, jangan malah menggembosinya.
At-Thabrani meriwayatkan dengan perawi yang terpercaya bahwa Khadijah adalah orang yang pertama kali masuk Islam bersama Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib.
Dengan masuk Islamnya Khadijah, Allah meringankan beban Rasulullah karena jika beliau mendengar sesuatu yang tidak beliau sukai dari kaumnya dalam menyampaikan kebenaran Islam, beliau menemui Khadijah, kemudian dengan kasih sayang dan cinta seorang istri, khadijah meneguhkannya dan mengkondisikan Rasulullah untuk menganggap enteng kecaman orang orang yang menolak seruan dakwah.
Menjaga keluarga dan harta benda suami saat suami ada maupun tak ada. ”Seorang wanita tidak boleh memberikan satu pemberian kecuali dengan izin suami.” Begitu riwayat Ahmad.
Istri shalihah mempunyai tanggung jawab besar dalam menjaga keutuhan rumah tangganya, tidak menyia-nyiakan amanah yang dipikulnya berupa keluarga dan harta suaminya. Tidak membelanjakan harta tanpa seizin suaminya dan selalu menjaga kehormatan dirinya maupun kehormatan suami dan juga keluarganya.
Mengurus rumah tangga dengan maksimal. Seorang istri muslimah shalihah, tentulah tidak akan membiarkan suaminya resah dan gelisah karena urusan rumah. Tidak membiarkan suaminya terbebani dengan urusan dirinya dan anak-anaknya. Istri muslimah shalihah harus berusaha menyelesaikan persoalan keluarganya dengan standar Islam.
Peran ibu dalam mewujudkan keluarga pelaksana syari‘at Islam sangat penting. Untuk itu setiap muslimah harus menjadikan masalah pendidikan anak-anak sebagai prioritas utama.
Walaupun tanggung jawab atas pendidikan anak-anak berada di pundak kedua orang tua. Namun, ibu merupakan sosok yang sangat dekat dengan anak. Untuk itu sentuhan lembut seorang ibu sangat dibutuhkan bagi perkembangan kepribadian anak.
Nah, dari pemaparan di atas, mencuci piring, mengepel lantai, mencuci dan menyetrika baju, apalagi memasak, bukanlah kewajiban seorang istri. Hal tersebut, termasuk mencari nafkah, adalah tugas suami.
Tugas istri justru hanyalah satu, yakni taat.
Jadi, ketika ada cucian menumpuk, lantai yang kotor, dan hidangan di meja makan yang kosong, lalu suami meminta istrinya yang shalihah untuk mencuci, menyapu lantai, dan memasak, ya seorang istri yang shalihah harus taat dengan permintaan itu.
Lebih bagus lagi, kalau tanpa diminta, seorang istri sudah membereskan hal-hal tersebut.
Sungguh, dari sanalah bibit-bibit keluarga sakinah mawaddah warahmah akan mewangi, hingga ke surga ….
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!