Keutamaan Haji dan Umrah – Haji ke tanah suci merupakan salah satu rukun Islam. Allah telah mewajibkan kepada manusia melaksanakan haji bagi orang yang mampu. Allah janjikan kepadanya pahala dan akan dimasukkan dalam naungan-Nya. Banyak keutamaan di dalamnya, besar pahalanya, dan amalan mulia para hamba. Allah SWT berfirman:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ …. (28)
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka .…” (QS al-Haj [22]: 27–28)
Hasan mengatakan bahwa seruan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. saat Haji Wada’. Adapun yang lainnya mengatakan bahwa ayat itu ditujukan untuk Nabi Ibrahim a.s. Namun, dua pendapat tersebut bisa dipadukan bahwa ayat itu bisa sama-sama ditujukan kepada mereka berdua.
Qatadah menceritakan bahwa ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. melaksanakan haji beliau pun memanggil kepada yang lain.
“Wahai para manusia, sesungguhnya Allah telah mendirikan Ka‘bah maka pergunakanlah untuk berhaji. Dengarkan panggilan-Nya bagi siapa pun yang ingin berhaji untuk semua keturunanku sampai hari Kiamat.”
Dari Ibnu Abbas r.a. ketika Nabi Ibrahim a.s. membangun Ka‘bah, Allah mewahyukan kepadanya, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji ….”
ia mengatakan bahwa Ibrahim berkata, “Ketahuilah sesungguhnya Tuhan kalian telah mendirikan Ka‘bah dan memerintahkan kalian untuk berhaji. Dia akan menjawab panggilan semua makhluk-Nya; bebatuan, pohon, bukit, dan debu yang berdoa, “Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu.”
Dari Mujahid menjelaskan firman Allah, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji …”
Ibrahim berkata, “Apa yang saya harus katakan, wahai Tuhanku?”
“Katakanlah wahai manusia, penuhilah panggilan Tuhanmu.”
Aku pun menjawab, “Aku hormati setiap hati orang yang beriman.”
Dari Mujahid berkata bahwa seusai Nabi Ibrahim a.s. diperintahkan untuk mengerjakan haji, berdirilah ia di atas maqamnya lalu berkata, ”Wahai hamba Allah, penuhilah panggilan Allah!”
Mereka menjawab, “Aku penuhi panggilan-Mu ya Tuhan, aku penuhi panggilan-Mu. Barang siapa pergi berhaji berarti ia telah menjawab panggilan Nabi Ibrahim a.s.” (HR Baihaqi)
Keutamaan Haji dan Umrah
Konon, seusai membangung Ka‘bah, Nabi Ibrahim a.s. berkata, “Tuhan, aku sudah selesai membangun.” Lalu, Allah berfirman, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki ….” (QS al-Hajj [22]: 27). Ibrahim bertanya, “Wahai Tuhanku, sampaikah suara doaku kepada-Mu?” Allah menjawab, “Serulah manusia, dan Aku akan sampaikan kepada mereka.”
Ibrahim naik di atas maqam, menempelkan jari-jarinya di daun telinganya sambil menghadapkan wajahnya ke kanan, ke kiri, dank e timur sambil menyeru, “Wahai manusia, diwajibkan atas kalian berkunjung ke tanah suci maka penuhilah panggilan Tuhan kalian. Allah mendengar panggilan orang yang hendak pergi haji dari semua anak keturunan Adam sampai hari Kiamat nanti. Setiap orang yang berhaji berarti ia telah memenuhi panggilan Nabi Ibrahim a.s. Semua ibadah mereka sesuai jumlah haji mereka. Barang siapa berhaji dua kali berarti ia telah memenuhi panggilan-Nya dua kali. Demikian juga selanjutnya.”
Adapun firman Allah yang berbunyi, “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka ....” (QS al-Hajj [22]: 27-28), Mujahid menjelaskan bahwa manfaat itu adalah manfaat keduniawiaan dan keakhiratan. Dunia, seperti profit dari perdagangan dan bisnis, sedangkan akhirat adalah pahala.
Allah berfirman:
… وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)
“… Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS Āli ‘Imrān [3]: 97)
Ibnu Abbas r.a. menjelaskan bahwa barang siapa mengingkari haji maka ia tidak akan bisa berhaji. Adapun al-Halimi memaparkan bahwa maksud dari “Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji,” bisa jadi mengandung makna: ia sama halnya dengan melakukan perbuatan yang dikerjakan oleh orang-orang kafir, yaitu ia hanya suka duduk-duduk dan tidak ingin berangkat haji.
Adapun Imam Ali r.a. terkait firman Allah, “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah ….”, Sahal bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasul, apakah kewajiban itu setiap tahun?” Nabi terdiam. Kemudian, Sahal mengulanginya, “Apakah setiap tahun?” Nabi saw. menjawab, “Tidak. Seandainya aku katakan iya maka akan menjadi kewajiban.” Kemudian, turunlah ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (justru) menyusahkan kamu ….“ (QS al-Māidah [5]: 101) (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Aqra’ bin Habis bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasul, apakah haji diwajibkan setiap tahun atau sekali seumur hidup?” Nabi saw. menjawab, “Satu kali, tetapi bagi yang hendak menambahnya maka itu sebagai ibadah sunnah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang haji, demikian juga hadits Nabi saw. Berikut kami sajikan beberapa hadits yang berkaitan tentang manasik haji untuk menambah wawasan dan meraih keutamaan.
Dari Abu Hurairah r.a. bertanya kepada Rasulullah saw.,
أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Amalan apakah yang paling utama? Nabi saw. menjawab, ‘Percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.‘ Lalu apa? ‘Jihad di jalan Allah.‘ Kemudian apa? ‘Haji yang mabrur’.” (HR Muttafaq Alaih)
Apa itu mabrur? Mabrur artinya ibadah yang tidak tercampur dengan perbuatan dosa. Adapun kata mabrur spesifik dalam haji adalah meninggalkan semua perbuatan yang dilarang selama ihram. Demikianlah yang dikatakan Imam Nawawi.
Pendapat lain menyatakan bahwa mabrur artinya maqbul atau diterima. Tanda-tandanya adalah seseorang mengulang-ulang perbuatan terpuji yang ia lakukan. Sebaliknya, ia tidak mengulangi perbuatan tercela yang pernah ia lakukan. Adapun dalam sebuah hadits seperti yang dinukil Imam Mawardi menyatakan bahwa tanda-tanda haji mabrur adalah seseorong melakukan kebaikan lebih baik daripada kebaikan yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Al-Farra’ mengatakan bahwa mabrur adalah tidak melaksanakan kemaksiatan setelahnya. Ada juga yang mengatakan mabrur adalah tidak riya, dan sum’ah, berkata kotor, dan maksiat. Hasan al-Bashri menjelaskan bahwa mabrur maksudnya adalah zuhud dalam urusan dunia dan cinta urusan akhirat.
Baca Juga: Biaya Haji Plus
Dari Jabir diceritakan bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya, “Apa kebaikan dalam berhaji?” Beliau menjawab, “Memberi makan dan menebar salam.” (HR Ahmad dan Hakim). Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa mabrur adalah “memberi makan dan berucap yang terpuji.”
Abu Hanifah memaparkan bahwa beliau selalu menimbang keutamaan ibadah yang satu terhadap ibadah yang lain. Namun, setelah melaksanakan ibadah haji beliau mengutamakan ibadah haji dibanding ibadah-ibadah yang lain karena melihat keutamaan yang dimilikinya.
Ketika Imam Malik ditanya, “Wahai Imam, manakah yang paling engkau suka, perang ataukah berhaji?” Beliau menjawab, “Berhaji, kecuali pada tahun itu adalah tahun yang diinstruksikan perang atau dalam kondisi berada di tengah lautan.”
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Demi jiwa yang jiwaku ada di tangan-Nya bahwa tidak ada sesuatu amalan di antara langit dan bumi yang lebih utama daripada jihad di jalan Allah atau haji yang mabrur yang tidak disertai perkataan kotor, maksiat, dan berdebat.”
Riwayat dari Ibnu Abbas r.a., ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Berhaji bagi yang belum pernah berangkat haji lebih utama daripada empat puluh kali berperang. Berperang bagi yang berhaji lebih utama daripada empat puluh kali haji.” (HR Halimi)
Riwayat dari Ibnu Umar, Rasulullah saw. bersabda, “Berhaji bagi yang belum pernah berangkat haji lebih utama daripada lima puluh kali berperang. Berperang setelah berhaji lebih utama daripada lima puluh kali haji.” (HR Abu Naim seperti yang terkandung dalam Hilyatul Aulia.)
Riwayat dari Abu Hurairah r.a., ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa berhaji karena Allah, tidak berkata kotor, tidak maksiat, maka akan pulang tanpa dosa seperti seorang bayi yang baru terlahir dari ibunya.” (HR Muttafaq ‘Alaih)
Redaksi menurut riwayat Bukhari. Adapun dalam redaksi riwayat Muslim berbunyi, “Barang siapa datang ke Makkah, tidak berkata kotor, tidak maksiat maka akan pulang seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya.” Adapun dalam redaksi Nasa’i mengggunakan kalimat, “Barang siapa berhaji dan umrah .…”
Ibnu Abbas r.a. berpendapat bahwa rafats adalah melakukan hubungan intim. Namun, ada juga berpendapat hal itu adalah perbuatan yang tidak bermanfaat, kotor, dan dosa. Adapun fusuq, masih menurut Ibnu Abbas r.a., maksudnya adalah perbuatan maksiat. Sementara jidal dalam firman Allah “… dan tidak bertengkar dalam melakukan haji .…” diriwayatkan dari Ibnu Abbas maksudnya adalah perselisihan dan perdebatan yang membuat marah orang lain.
Adapun menurut Ibnu Umar, maksudnya adalah mencaci dan berselisih. Dalam hadits diperintahkan, “Hajilah karena ia dapat menghilangkan dosa seperti halnya air yang menghilangkan kotoran badan.” (HR Thabrani)
Riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا خَرَجَ الْحَاجُّ مِنْ أَهْلِهِ فَسَارَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ ثَلَاثَ لَيَالٍ خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ وَكَانَ سَائِرُ أَيَّامِهِ دَرَجَاتٌ
“Apabila seorang keluar rumah meninggalkan keluarganya untuk berhaji, berjalan selama tiga hari tiga malam maka akan keluar dosanya seperti seorang bayi yang baru lahir dari ibunya. Dalam hari-harinya memiliki derajat.” (HR Baihaqi)
Dari Ibnu Abbas dikisahkan bahwa ketika ia bersama Rasulullah saw. di Mina mereka bertemu dengan sekelompok orang dari Yaman, kemudian mereka bertanya, “Demi dirimu, ibu, dan bapakmu, ceritakanlah kepada kami keutamaan ibadah haji?” Rasulullah saw. kemudian menjawab, “Begini. Setiap orang yang keluar dari rumahnya untuk menunaikan haji atau umrah setiap kakinya menginjak ke tanah dan diangkat maka akan berguguran dosa-dosanya dari dirinya seperti bergugurannya daun-daun dari pepohonan.” (HR al-Faqih Abu al-Laits as-Samarqandi)
Seorang dari kalangan Anshar datang menghadap Rasul, kemudian beliau bersabda kepadanya, “Bukankah kamu datang untuk bertanya perihal kepergianmu ke tanah haram, wukuf di Arafah, melontar jamrah, mencukur rambut, dan thawaf? Begini. Sesungguhnya kepergianmu ke tanah suci setiap langkah yang engkau lewati semuanya Allah tulis sebagai kebaikan. Menggugurkan setiap kesalahan. Meninggikan derajatmu. Adapun terkait wukufmu di Arafah, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia dan membanggakanmu di depan para malaikat. Allah SWT berfirman kepada mereka, ‘Lihatlah kepada hamba-hamba-Ku yang datang dengan kusut berdebu dari segenap penjuru yang jauh. Seandainya mereka datang seperti gundukan pasir, busa di lautan, tetesan air dari langit, dan sejumlah hari dalam hitungan hari-hari dunia dosa maka akan Aku ampuni mereka.‘ Adapun cukur rambutmu maka sesungguhnya setiap helai rambut yang jatuh dari kepalamu akan menjadi cahaya di akhirat. Adapun lontaran jamrahmu maka akan menjadi simpanan kamu di sisi Allah yang akan dibayarkan pada saat kamu sangat membutuhkan. Adapun thawafmu di Ka‘bah dan berlari di antara Shafa dan Marwah maka akan menjadikan dosan-dosamu keluar hingga engkau seperti bayi yang baru lahir.” (HR Thabrani)
Suatu ketika datanglah seorang asing kepada Rasulullah lalu bertanya, “Wahai Rasul, saya adalah lelaki yang kaya, perintahkan kepadaku terkait harta yang aku miliki sehingga saya dapat mendapatkan pahala orang yang berhaji?” Kemudian, Rasulullah saw. menoleh kepadanya sambil bersabda, “Lihatlah Abu Qubais, seandainya ia adalah bukit emas berwarna merah dan engkau menginfakkannya di jalan Allah, itu pun tidak cukup menggantikan pahala haji.” Kemudian, beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seorang yang hendak haji dan menyiapkan peralatannya tidak mengangkat kakinya dan juga tidak meletakkannya, kecuali Allah tuliskan baginya sepuluh kebaikan, menghapus sepuluh kesalahan, mengangkat sepuluh derajatnya, dan apabil thawaf di Ka‘bah maka dia seperti bayi yang baru keluar dari perut ibunya.” Kemudian, Nabi saw. melanjutkan, “Bagaimana akan sampai setinggi tingkat pahala haji?”
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Umrah ke umrah yang lain dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya, kecuali surga.” (HR Bukhari dan Muslim)
Barang siapa dijanjikan surga maka dosa yang telah lalu demikian juga yang akan datang tidak akan memengaruhinya. Itulah ungkapan ‘Keluar seperti bayi yang baru lahir dari perut ibunya,’ mengungkapkan bahwa ibadah haji menghapus dosa-dosa yang telah lalu. Selanjutnya, ungkapan mabrur menunjukkan bahwa haji menghapus dosa-dosa yang telah lalu, sedangkan ungkapan ‘tidak ada pahala baginya, kecuali surga’ menunjukkan bahwa ibadah itu menghapus dosa yang akan datang.’ Hal itu ditunjukkan dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Haji mabrur menghapus dosa dalam setahun.” (HR Ibnu Hibban)
Hadis lain berbunyi, “Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya atau pahala, kecuali surga.” (HR Baihaqi)
Dari Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Iringilah ibadah haji dan umrah karena sesungguhnya iring-iringan itu menghilangkan kefakiran dan dosa, seperti ubupan api menghilangkan kerak besi.” (HR Ibnu Majah)
Dari Ibnu Mas’ud dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iringilah ibadah haji dan umrah karena sesungguhnya iring-iringan itu menghilangkan kefakiran dan dosa, seperti ubupan api menghilangkan kerak besi, emas, dan perak. Haji mabrur tidak ada pahala baginya, kecuali surga” (HR Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Hibban, dengan redaksi Nasa’i)
Dari Amir bin Rabi’ah Nabi saw. bersabda, “Iringilah ibadah haji dan umrah karena sesungguhnya iring-iringan itu memperpanjang usia dan menambah rezeki.” (HR Thabrani)
Dari Umar r.a. Nabi saw. bersabda, “Iringilah ibadah haji dan umrah karena sesungguhnya iring-iringan itu memperpanjang usia, menghilangkan kefakiran, seperti ubupan besi menghilangkan keraknya.” (HR Baihaqi)
Maksud dari kata ‘iringi-iringan’, sebagaimana yang dijelaskan Muhib Ath-Thabari adalah melaksanakan ibadah satu diiringi dengan ibadah itu lagi tanpa ada jeda dalam waktu satu tahun. Makna lain adalah berdasarkan pada ‘tradisi’, seseorang memiliki perhatian tertentu pada ibadah itu meski tidak harus setiap tahun melaksanakannya.
Dari Abu Musa al-Asy’ari r.a. berkata bahwa sesungguhnya orang yang berhaji memberi syafaat empat ratus anggota keluarganya, memberi berkah pada empat puluh unta yang pernah mengandungnya, dan menjadikannya seperti bayi yang baru terlahir dari perut ibunya. Kemudian, seorang laki-laki berkata kepadanya, “Wahai Abu Musa, bagaimana aku bisa mengganti ibadah haji, aku sudah tua adakah pahala yang menyamai ibadah haji?” Ia menjawab, ”Bisakah kamu memerdekakan tujuh puluh orang dari keturunan anak Ismail? Sungguh, tidak ada yang menyamai pahala ‘ritual tahallul’ dan perjalanannya.”
Diriwayatkan dari Sa’id bin Mansur dan Abdur Razaq bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. bertanya, “Wahai Nabi, saya ingin pergi berperang di jalan Allah. Kemudian, Nabi bertanya, “Maukah aku tunjukkan kepadamu perang yang tidak memanggul senjata?” Ia menjawab, “Iya wahai Nabi saw.,” Nabi menjawab, “Haji ke tanah suci.”
Redaksi lain dari Abdurrazaq berbunyi, “Maukah aku tunjukkan kepadamu jihad tanpa peperangan, yaitu haji dan umrah.”
Riwayat dari Aisyah r.a., ia bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, tidakkah kami berperang dan berjihad bersamamu?” Nabi menjawab, “Bagi kalian jihad terbaik adalah melaksanakan haji, yaitu haji yang mabrur.” Aisyah kemudian berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan ibadah itu setelah mendengar sabda Nabi saw. itu.” (HR Nasa’i)
Dalam hadits lain Nabi saw. bersabda, “Jihad orang tua, anak-anak, orang yang lemah, dan perempuan adalah haji dan umrah.” (HR Nasa’i)
Dari Sa’id al-Khudri bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT berfirman, ‘Seorang hamba yang Aku sehatkan badannya, Aku lapangkan rezekinya, yaitu yang melaksanakan ibadah ke rumah-Ku selama lima tahun.'” (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hibban)
Berpegang pada dalil tersebut, para ulama mewajibkan ibadah haji bagi orang yang mampu setiap lima tahun dan pendapat itulah yang dipegang penganut Mazhab Syafi’i. Namun, pendapat lain lebih memaknainya sebagai ‘peneguhan’ semata, hal itu dibuktikan dengan adanya dalil-dalil lain:
Dari Abu hurairah r.a. bahwa Rasulullah ketika berkhotbah berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian berhaji maka berhajilah!” Kemudian, datanglah seorang laki-laki bertanya, “Apakah setiap tahun, wahai Rasul?” Rasul terdiam hingga orang itu mengucapkannya tiga kali. Kemudian, Rasulullah menjawab, “Andai aku katakan iya, tentu akan menjadi kewajiban dan kamu tidak akan mampu.” Lalu, beliau bersabda, “Tinggalkan apa yang aku tinggalkan sebab hancurnya orang-orang sebelum kalian karena banyak bertanya dan berselesih dengan para nabinya. Jika aku perintahkan kepada kalian sesuatu hal maka lakukan semampunya, sebaliknya jika aku larang maka tinggalkan!” (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tamu Allah itu ada tiga; orang yang berperang, haji, dan umrah.” (HR Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Hakim). Dalam redaksi Ibnu Hibban berbunyi, “ … jika mengimbau kalian maka penuhilah. Mintalah maka akan dipenuhi.” Sedangkan redaksi Ibnu Majah berbunyi, “Orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu Allah. Jika kalian berdoa maka akan diijabahi dan jika beristigfar maka akan diampuni.”
Riwayat lain adalah dari Abu Umamah berbunyi, “Orang yang berhaji dalam jaminan Allah, baik ketika berangkat maupun pulang.” (HR Ad-Dailami)
Memohon Doa kepada Orang yang Berhaji
Dari Abu Huraira r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah ampunilah dosa orang yang berhaji dan bagi orang yang didoakannya.” (HR Baihaqi)
Jika kita memperhatikan hadits tersebut, bagaimana mungkin kita tidak memohon doa orang yang berhaji. Untuk itulah, suatu ketika Rasul pernah memohon kepada Umar r.a. untuk didoakannya. Suatu ketika Umar meminta izin beliau untuk melaksanakan umrah, kemudian Nabi saw. mengizinkannya, lalu beliau bersabda kepadanya, “Wahai saudaraku, jangan lupa doakan kami!”
Dalam redaksi lain berbunyi, “Tidak ada kata yang paling aku cintai sejak matahari terbit, melebihi kata ‘wahai saudaraku.'” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi)
Hadits lain berbunyi, “Jika kamu bertemu dengan orang yang pulang haji maka salamilah, ucapkan salam kepadanya, dan mintalah ia memohonkan ampunan kepadamu sebelum ia masuk ke rumahnya karena orang yang pulang haji diampuni dosanya.” (HR Ahmad)
Hadits lain, “Dikabulkan doa orang yang pulang haji sejak masuk Kota Makkah hingga pulang dan bertemu keluarganya sampai empat puluh hari.”
Dari Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ada lima doa yang tidak ditolak, doa orang yang sepulang haji, doa orang yang berperang hingga sampai ke rumah, doa orang yang dizalimi hingga ia ditolong, doa orang yang sakit hingga sembuh, dan doa orang lain yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dan yang terakhir itu adalah doa yang paling cepat dikabulkan.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Jauzi dikatakan:
“Sesungguhnya doa orang yang pulang haji akan senantiasa dikabulkan hingga ia sampai di rumah.”
Ongkos Orang yang Berhaji
Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang berhaji dan umrah adalah tamu Allah SWT. Dia akan beri apa yang mereka minta, akan diijabahi setiap doa yang dipanjatkan, dan akan mengganti biaya yang ia keluarkan. Satu dirham dengan seribu dan seribu.” (HR Baihaqi)
Dari Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda saat Haji Wada’ di Makkah, “Orang yang berhaji dan umrah adalah tamu Allah SWT. Dia akan beri apa yang mereka minta, akan diijabahi setiap doa yang dipanjatkan, dan akan mengganti biaya yang ia keluarkan. Satu dirham dengan seribu dan seribu.” (HR Baihaqi)
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. saat Haji Wada’ bersabda, “Orang yang berhaji dan umrah adalah tamu Allah SWT. Dia akan beri apa yang mereka minta, akan diijabahi setiap doa yang dipanjatkan, dan akan mengganti biaya yang ia keluarkan. Dia akan lipat gandakan satu dirham dengan seribu dan seribu. Demi Dzat yang yang mengutusku dengan hak. Sungguh, satu dirham lebih berat daripada gunung kalian ini sambil menunggu Abu Qubaisy.” (HR al-Faqihi)
Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang yang hendak berhaji keluar dari rumahnya maka ia dalam lindungan Allah. Jika ia meninggal sebelum menjalankan ibadahnya maka pahalanya pada Allah. Jika berhasil ia rampungkan manasiknya maka ia akan diampuni dosanya. Mengeluarkan ongkos satu dirham demi tujuan ibadah itu sepadan dengan 40.000 dibandingkan dengan ibadah lainnya.” (HR al-Mundziri)
Dari Buraidah r.a. Rasulullah saw. bersabda, “Keutamaan mengeluarkan biaya untuk berhaji laksana mengeluarkan pembiayaan fi sabilillah, yaitu satu dirham dilipatkan menjadi tujuh ratus lipat.” (HR Ahmad)
Dari Umar bin Sy’aib dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang berhaji dan umrah adalah tamu Allah SWT. Apabia meminta maka mereka akan diberi, apabila berdoa maka akan diijabahi, apabila mereka berinfak maka akan dibalas. Demi jiwa Abu Al-Qasim di tangan-Nya, tidak ada yang mengumandangkan takbir di tempat dataran yang tinggi, demikian juga melantunkan tahlil, kecuali ada orang yang bertahlil dan bertakbir di sisinya hingga terputus ….” (HR Baihaqi)
Baca Juga: ONH Plus
Haji Berjalan Kaki
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada yang paling menyedihkan di dunia ini karena tidak bisa aku punyai melebihi kesedihanku tidak sempat haji dengan berjalan kaki sehingga kesombongan itu hilang setelah mendengar firman Allah yang berbunyi, “… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang ….” (QS al-Hajj [22]: 27) (HR Baihaqi)
Seseorang ada yang mengatakan bahwa kata ‘orang yang berjalan kaki’ didahulukan daripada ‘orang yang berkendara’ di dalam ayat Al-Qur’an itu bertujuan untuk menghibur keletihan dan beratnya berjalan kaki.
Ketika Ibnu Abbas r.a. sakit ia mengundang anak-anaknya, lalu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ حَجَّ مِنْ مَكَّةَ مَاشِيًا حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهَا كَتَبَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ سَبْعُمِائَةِ حَسَنَةٍ مِنْ حَسَنَاتِ الْحَرَمِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ وَمَا حَسَنَاتُ الْحَرَمِ قَالَ كُلُّ حَسَنَةٍ بِمِائَةِ اَلْفِ حَسَنَةٍ
‘Barang siapa berhaji dari Makkah dengan berjalan kaki maka Allah akan menuliskan setiap langkah dengan tujuh ratus kebaikan dari kebaikan yang dimiliki tanah haram.’
Sebagian dari mereka bertanya, ‘Apa kebaikan tanah haram itu?‘ Beliau menjawab, ‘Setiap kebaikan dibalas dengan seratus ribu kebaikan.‘” (HR Hakim dan ditashhih oleh Baihaqi)
Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata kepada anaknya, “Wahai Anakku, pergilah berhaji ke Kota Makkah dengan berjalan kaki karena saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ لِلْحَاجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خُطْوَةٍ تَخْطُوهَا رَاحِلَتُهُ سَبْعِينَ حَسَنَةً , وَالْمَاشِي بِكُلِّ خُطْوَةٍ سَبْعَ مِائَةِ حَسَنَةٍ
‘Orang yang berhaji dengan berkendara maka akan diganjar setiap langkah kendaraannya dengan tujuh puluh kebaikan, sedangkan bagi orang yang berjalan kaki setiap langkahnya diganjar dengan tujuh ratus kebaikan.’” (HR Thabrani)
Dari Abu Darda’, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, Allah tidak akan menyiksa dua kaki seseorang yang digunakan berjalan kaki ke tanah haram.”
Dari Sa’id al-Khudri r.a. berkata, “Rasulullah saw. berhaji bersama para sahabat dengan berjalan kaki dari Madinah ke Makkah.“ (HR Hakim dan Ibnu Majah)
Namun, Ad-Damiri menilai bahwa hadits ini lemah dan mungkar.
Ibnu Jamaah berkata, “Belum ditemukan Hakim mencoba memberi penilaian shahihnya hadits itu. Akan tetapi, yang jelas Nabi saw. tidak pernah berhaji lagi seusai hijrah, kecuali hanya Haji Wada’, ketika itu Nabi berkendara.
Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada satu pun riwayat yang menepis bahwa Nabi tidak pernah berjalan kaki saat berhaji. Kadang beliau berkendara. Hanya saja, kadang saat menggunakan tunggangan beliau turun dari kendaraaannya dan diikuti oleh para sahabat untuk mengistirahatkan tunggangannya. Itu mungkin yang dipahami bahwa Nabi saw. memilih berjalan kaki. Terlebih lagi ada penjelasan lain yang menyatakan bahwa Nabi saw. berjalan kaki setelah shalat Fajar hingga terik matahari. Itulah yang dipahami perawi bahwa tidak melihat Nabi berhaji, kecuali dengan berjalan kaki.
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Imam Nasa’i, dan Ibnu Majah dalam sebuah hadits yang panjang dari Jabir bahwa Nabi saw. datang ke Dzul Hulaifah. Kemudian, beliau shalat di masjid, lalu naik unta hingga ketika untanya tepat menghadap Sahara aku melihat sejauh pandangan mataku orang yang berkendara dan berjalan. Di sebelah kanan seperti itu, di sebelah kiri demikian, dan juga dari belakang.
Jadi, hadits tersebut memberi penjelasan bahwa perawi hadits melihat Nabi sedang berjalan dan hanya melihat Nabi saw. berjalan dalam manasiknya. Bisa jadi perawi juga menyaksikan orang yang menunggang kendaraan, tetapi ia tidak meriwayatkan hadits tersebut karena melihat Nabi saw. lebih banyak berjalan kaki, demikian juga para sahabat.
Jika dikatakan, bukankah para ulama sepakat bahwa naik kendaraan lebih utama daripada berjalan kaki, padahal bukankah keutamaan didasarkan pada upaya dan usaha atas sesuatu itu. Oleh karena itu, dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas diterangkan bahwa pahala orang yang berjalan kaki lebih banyak daripada orang yang berkendara.
Jawaban atas pertanyaan itu sebetulnya berjalan pada dasarnya lebih utama daripada berkendara karena berjalan itu sendiri membutuhkan tenaga yang lebih besar. Hal itu sejalan dengan yang disabdakan Nabi saw. kepada Aisyah ketika berumrah. Nabi bersabda kepadanya, “Bagimu pahala sesuai bagian pengeluaranmu.” (HR Ibnu Mundzir) Riwayat yang lain berbunyi, “… sesuai bagian dan jerih payahmu.”
Jadi, alasan berkendara lebih utama dalam melaksanakan haji karena meneladani Nabi yang berhaji dengan berkendara. Itulah pendapat para ulama.
Haji Badal (Atas Mayit)
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mengggantikan haji orang yang meninggal maka ditulis bagi si mayit satu haji dan bagi orang yang menggantikan tujuh haji.” (HR al-Harawi)
Dari Jabir diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
مَنْ حَجَّ عَنْ أَبِيهِ أَوْ أُمِّهِ فَقَدْ قَضَى عَنْهُ حَجَّهُ وَكَانَ لَهُ فَضْلُ عَشْرِ حِجَجٍ
“Barang siapa menggantikan haji bapaknya atau ibunya maka ia telah menunaikan hajinya dan baginya keutamaan sepuluh haji.” (HR Daruquthni)
Dari Zaid bin Arqam mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ تُقُبِّلَ مِنْهُ وَمِنْهُمَا وَاسْتَبْشَرَتْ أَرْوَاحُهُمَا فِى السَّمَاءِ وَكُتِبَ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى بَرًّا
“Apabila seseorang menggantikan haji kedua orang tuanya maka akan diterima hajinya dan untuk kedua orang tuanya. Arwah keduanya akan gembira di langit dan ditulis bagi anaknya sebagai kebaikan di sisi Allah.” (HR Daruquthni)
Maksud dari kata ‘diterima’ menurut Thabrani adalah ditulis baginya pahala haji dan gugur kewajiban haji kedua orang tuanya.
Imam Hasan al-Bashri dalam Risalah-nya meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Umrah di bulan Ramadan menyamai haji bersamaku.” (HR Bukhari)
Ditambahkan lagi dalam riwayat yang lain, “Tidaklah seseorang berwasiat untuk haji kecuali ditulis baginya tiga haji. Pertama, haji yang dia diwasiatkan, kedua, haji orang yang menyampaikan wasiat itu, ketiga, haji orang yang menggantikannya.” “Barang siapa mewasiatkan haji untuk orang lain, sedangkan orang itu tidak mewasiatkan kepadanya maka akan ditulis baginya satu kali haji, sedangkan orang yang melaksanakan haji itu ditulis tujuh puluh haji.”
Dari Ibnu Abbas r.a., Nabi saw. bersabda:
مَنْ حَجَّ عَنْ أَبَوَيْهِ أَوْ قَضَى عَنْهُمَا مَغْرَمًا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الأَبْرَارِ
“Barang siapa menggantikan haji kedua orang tuanya atau melunasi utangnya maka Allah akan membangkitkannya termasuk orang-orang yang abrar pada hari Kiamat.” (HR Daruquthni)
Diriwayatkan dari Ali bin Muwaffiq yang telah bermimpi menggantikan haji Rasulullah saw. ia berkata, “Aku bermimpi menghajikan Rasulullah. Kemudian, Rasulullah saw. bertanya, ‘Wahai Ibnu Muwaffiq, apakah kamu menghajikan aku?’ ‘Iya,’ aku jawab demikian. ‘Apakah engkau bertalbiyah untukku,’ tanya Nabi saw. ‘Iya,’ jawabku. ‘Sungguh, aku akan membalas kebaikanmu pada hari Kiamat, aku pegang tanganmu kemudian aku masukkan kamu ke dalam surga, saat semua makhluk dalam kegalauan di hari Hisab.'” Hal itu tercantum dalam Ihya-nya al-Ghazali.
Meninggal Waktu Haji
Dari Hasan al-Bashri berkata dalam Risalah-nya bahwa Nabi saw. bersabda:
مَنْ مَاتَ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ لَمْ يُعْرَضْ وَلَمْ يُحَاسَبْ وَقِيلَ لَهُ ادْخُلِ الْجَنَّةَ
“Barang siapa meninggal pada waktu haji atau umrah maka ia tidak akan dibariskan dan tidak juga dihisab. Dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke dalam surga.‘” (HR Baihaqi)
Dalam redaksi yang lain,
مَنْ مَاتَ فِى هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ لَمْ يُعْرَضْ وَلَمْ يُحَاسَبْ وَقِيلَ لَهُ ادْخُلِ الْجَنَّةَ
“Barang siapa berniat berhaji dan umrah lalu meninggal maka ia tidak akan dibariskan dan juga tidak dihisab. Dikatakan kepadanya, “Masuklah ke dalam surga.” (HR Baihaqi)
Dalam redaksi lain, “Barang siapa meninggal saat perjalanan ke Makkah maka tidak akan dibariskan dan tidak dihisab.” (HR Baihaqi)
Redaksi yang lain dari Daruquthni berbunyi, “Barang siapa berniat berhaji dan umrah lalu meninggal maka ia tidak akan dibariskan dan juga tidak dihisab. Dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke dalam surga.’”
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa keluar rumah untuk berjuang lalu meninggal maka Allah akan menulis kebaikannya hingga hari Kiamat. Dan barang siapa keluar rumah untuk umrah lalu meninggal maka Allah akan menulis kebaikannya hingga hari Kiamat.” (HR Abu Ya’la)
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Rumah ini adalah tiang Islam, barang siapa keluar rumah memimpin untuk tujuan haji, umrah, atau berkunjung maka akan dijamin oleh Allah. Apabila ia meninggal maka akan masuk surga. Dan apabila kembali maka akan kembali dengan membawa pahala atau harta ghanimah.” (HR al-Azraqi)
Jabir r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa meninggal di Makkah atau di jalan saat menuju Makkah maka akan dibangkitkan termasuk orang yang aman.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa meninggal saat jalan menuju atau balik dari Makkah maka Allah akan mengampuninya dan memberi syafaat tujuh puluh orang dari anggota keluarganya.”
Jabir r.a. juga mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mati dalam perjalanan menuju Makkah atau pulang darinya maka ia tidak akan dibariskan dan dihisab.”
Dalam dua kitab shahih, Nabi saw. bersabda terkait seseorang yang sedang ihram kemudian jatuh dari untanya lalu meninggal. “Jangan usap ia dengan wewangian, jangan tutupi kepalanya karena ia akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” (HR Bukhari)
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa meninggal ketika sedang berihram maka akan dikumpulkan dalam keadaan bertalbiyah.” (HR al-Khathib)
Dari Jabir r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang mengumandangkan azan dan bertalbiyah akan dikeluarkan dari kubur mereka pada hari kiamat, yang ahli azan akan mengumandangkan azan dan ahli talbiyah akan bertalbiyah.” (HR al-Ashbahani)
Dari Jabir r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mati karena sesuatu maka ia akan dibangkitkan seperti itu.” (HR Ahmad dan Hakim)
Dari sebagian tulisan yang ditulis Nabi Muhammad saw. tertulis, “Sesungguhnya umrah adalah haji kecil.” (HR Daruquthni)
Wahab mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Umrah pada bulan Ramadan sepadan dengan ibadah haji.” (HR Ibnu Majah dan Nasa’i)
Dalam dua kitab shahih bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada seorang wanita Anshar. “Apa yang membuatmu tidak ikut berhaji bersama kami?” tanya Nabi saw. “Kami tidak memiliki kendaraan, kecuali hanya dua unta. Yang satu dipakai berhaji suami dan anak saya, sedangkan yang satu ditinggalkan untuk saya,” jawab wanita itu. Kemudian, Nabi saw. bersabda, “Apabila bulan Ramadan telah datang maka berumrahlah. Sesungguhnya umrah di bulan Ramadan sepadan dengan ibadah haji.” Adapun dalam redaksi Muslim, Nabi saw. bersabda, “Umrah di bulan Ramadan sama dengan melaksanakan haji satu kali atau haji bersamaku.”
Riwayat lain dari Abu Daud, Thabrani, dan Hakim yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. berbunyi, “Sama dengan melaksanakan haji.” Maksudnya ‘sama’ adalah pahala yang didapatkannya sama dengan pahala melaksanakan haji.
Dari Ummu Salamah, Nabi saw. bersabda, “Barang siapa bertalbiyah untuk haji dan umrah berangkat dari Masjidil Aqsha menuju Masjidil Haram maka akan diampuni dosanya yang telah lalu dan akan datang serta baginya pahala surga.” (HR Abu Dawud) Adapun redaksi Baihaqi berbunyi, “Barang siapa bertalbiyah untuk haji dan umrah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu dan akan datang dan baginya pahala surga.”
Dari Ummu Salamah, Nabi saw. bersabda, ”Barang siapa bertalbiyah untuk umrah dari Baitul Maqdis maka pahalanya akan menghapus dosanya yang telah lalu.” (HR Ibnu Majah)
Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa bertalbiyah untuk umrah dari Baitul Maqdis maka akan diampuni dosanya yang telah lalu dan akan datang.” (HR Ibnu Hibban).
Adapun dalam redaksi Daruquthni ditambah kalimat, “Wajib baginya pahala surga.”
Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah saw. bersabda, “Haji dan umrah adalah sebuah kewajiban, terserah mana yang akan kamu kerjakan dahulu.” (HR Hakim)
Sebuah kisah dari Abdullah bin Mubarak, ia berkata, “Orang-orang dahulu sangat mencintai berhaji hingga aku mendapat sebuah cerita. Ketika musim haji, aku pun hendak menunaikan haji bersama para jamaah yang lain. Aku persiapkan perbekalanku lima ratus dinar. Tiba-tiba, saat aku pergi ke pasar ingin membeli perlengkapan haji, aku jumpai seorang wanita di jalan. Orang itu berkata kepadaku, ‘Semoga Tuhan merahamatimu, wahai fulan. Kenalkan aku adalah wanita terhormat, tetapi aku punya anak perempuan yang sekarang tidak memiliki pakaian. Pada hari keempat aku tidak bisa makan apa pun.’ Cerita wanita itu pun membuat hatiku terenyuh. Kemudian, aku berikan kepadanya lima ratus dinar yang aku miliki itu. Aku pun berkata kepadanya, ‘Pulanglah kalau begitu dengan uang yang aku berikan ini.’ Ia pun kemudian memuji kepada Allah dan berpaling pulang. Akhirnya, aku tidak jadi pergi menunaikan haji pada tahun itu bersama orang-orang. Saat jamaah haji sudah pulang dari tanah suci, aku pun sempatkan berkunjung kepada mereka untuk mengucapkan salam. Setiap aku bertemu kepada mereka aku pun ucapkan kepada mereka, ‘Semoga Allah menerima hajimu dan usahamu.’ Namun, mereka pun merespons yang sama. Mengucapkan kepadaku, ‘Semoga Allah menerima hajimu dan usahamu,’ begitu terus. Hingga pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw., beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai fulan, janganlah kamu bangga karena orang-orang telah mengucapkan selamat berhaji kepadamu. Engkau bantu orang yang membutuhkan. Engkau tolong orang yang lemah. Aku telah mintakan kepada Allah hingga Dia menciptakan malaikat dalam bentukmu yang berhaji untukmu setiap tahun. Jadi, jika kamu ingin berhaji, hajilah. Akan tetapi, jika tidak, tidak apa-apa.’”
Diceritakan oleh Abu Sa’ad Abdullah bin Abu Utsman al-Wa’izh bahwa Abdullah bin Mubarak lewat Kota Kufah untuk menunaikan haji. Tiba-tiba ia menyaksikan seorang wanita duduk di atas tempat sampah sambil mencabuti bulu ayam. Ia tahu jika ayam itu telah mati. Ia pun bertanya kepada wanita itu, “Apakah itu ayam bangkai ataukah sudah disembelih?”
Wanita itu menjawab, “Bangkai, tetapi aku tetap ingin memakannya bersama keluargaku.”
Abdullah bin Mubarak pun menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan makan bangkai.”
Wanita itu berkata lagi, “Sudahlah, pergi saja kamu!”
Baca Juga: Keutamaan Air Zam-Zam
Orang itu pun mengulang-ulang perkataannya hingga akhirnya Abdullah bin Mubarak tahu alamat rumahnya.
Pada hari yang lain Abdullah bin Mubarak mendatangi rumah wanita itu dengan membawa keledai lengkap dengan berbagai kebutuhan. Ia mengetuk pintu rumah wanita itu. Wanita itu pun membukakan pintu untuknya.
Kemudian, Abdullah bin Mubarak turun dari keledai dan berkata kepada wanita itu, “Keledai ini dan apa yang ada dipunggungnya semua untukmu.”
Setelah kejadian itu dan jamaah haji telah datang dari tanah suci, mereka pun datang ke rumah Abdullah bin Mubarak untuk mengucapkan salam.
Abdullah bin Mubarak menjawab, “Aku tidak berangkat haji tahun ini.”
“Mahasuci Allah, tidakkah kamu yang mencukupi kebutuhanku saat kita bersama berjalan menuju Arafah?” kata salah seorang jamaah.
“Bukankah kamu yang memberi minum aku di tempat itu?” kata yang lainnya.
“Bukankah kamu yang membelikan aku barang itu?” sambung yang lainnya.
Abdullah bin Mubarak tidak paham apa yang mereka katakan. Ia tidak pergi haji pada tahun itu.
Hingga pada suatu malam Abdullah bin Mubarak bermimpi. Ada yang berkata kepadaku, “Wahai Abdullah bin Mubarak, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan Dia telah mengutus malaikat dalam bentukmu untuk melaksanakan haji.”
Demikianlah kisah itu diceritakan oleh Ibnu Jauzi.
Salah seorang dari jamaah orang-orang salaf mengisahkan bahwa ia berniat untuk melaksanakan haji dengan perbekalan yang dimilikinya sebesar delapan ratus dirham. Namun, tiba-tiba muncul suatu keperluan ketika anaknya pulang mengunjungi tetangganya. Anak itu menangis.
Orang itu bertanya kepada anaknya, “Ada apa anakku?”
Anak itu menjawab, “Aku pergi ke rumah tetangga yang kebetulan ia memiliki makanan. Saat aku lapar dan meminta makan, ia tidak mau memberikannya.
Orang itu pun mendatangi tetangganya dan memarahinya. Akhirnya, tetangga itu pun menangis dan berkata, “Kamu membuatku harus membuka keadaanku yang sebenarnya. Ketahuilah, sejak lima hari kami tidak makan sehingga kami terpaksa memasak bangkai dan memakannya. Aku tahu bahwa anakmu tidak halal makan seperti yang kami makan.”
Menyaksikan kondisi tetangganya tersebut orang itu tertegun dan berkata kepada dirinya, “Bagaimana ini bisa terjadi, tetanggamu dalam kondisi seperti ini sementara kamu ingin berhaji?”
Kemudian, orang itu pulang ke rumah dan membawa delapan ratus dirham untuk diberikan kepada tetangganya. Demikianlah kisahnya hingga suatu ketika Dzun Nun pada suatu sore saat berada di Padang Arafah bermimpi seakan ada orang yang berkata kepadanya, “Wahai Dzun Nun, apakah kamu menyaksikan keramaian di tempat ini?”
Dzun Nun menjawab, “Iya.”
Orang itu berkata lagi, “Ketahuilah, tidak ada yang diterima haji semua jamaah itu, kecuali orang yang tertinggal mengerjakan wukuf. Allah mengaruniakan kepada orang yang tertinggal itu pahala wukuf.”
Kemudian, Dzun Nun bertanya, “Siapa ia?”
“Ia adalah seseorang yang tinggal di Kota Damaskus,” jawab orang itu. Lalu, Dzun Nun menyempatkan pergi ke Damaskus mencari orang yang dimaksud hingga menemukannya dan mengucapkan salam kepadanya.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!