Istri-Istri Rasulullah Muhammad Saw – Nabi Muhammad saw bukan saja pemimpin agama yang baik namun juga kepala keluarga yang berhasil. Beliau tidak hanya kondang dan pandai berceramah di luar rumah, tetapi sosok suami dan ayah yang layak pula menjadi teladan bagi istri dan anaknya di dalam rumah. Beliau mendidik istri-istri dan anak-anaknya sama baiknya dengan pendidikan yang beliau berikan bagi umat. Dengan seabrek pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin keagamaan dan kemasyarakatan di luar rumah, beliau tetap punya waktu untuk keluarga. Istri-istri dan anak-anak beliau pun menjadi orang-orang saleh dan salehah yang berguna bagi agama dan masyarakat. Mereka menjadi hamba Allah yang taat dan rajin beribadah. Mereka merupakan bukti hasil sebuah didikan terbaik yang melibatkan segala macam aspeknya.
Rasulullah Muhammad saw membentuk istri-istri dan anak-anaknya dengan landasan iman. Beliau mendidik mereka dengan pola didik yang berbasiskan keseimbangan urusan ukhrawi dan duniawi. Beliau membesarkan dan membelai mereka dengan sentuhan cinta dan kasih sayang nan tulus. Beliau berikan perhatian yang proporsional pada masing-masing istri dan anaknya sehingga mereka merasa dihargai dan hak-hak mereka terpenuhi. Lantas mereka pun menjadi penyejuk mata beliau yang memberikan energi dan motivasi tersendiri bagi beliau dalam mengarungi perjalanan dakwah.
Nabi Muhammad saw mulai membina sebuah rumah tangga ketika beliau berusia 25 tahun. Beliau menikahi seorang janda berumur 40 tahun, Khadijah binti Khuwailid. Selama kurang lebih 25 tahun pula mereka hidup bersama, hingga akhirnya Khadijah meninggal dunia ketika umur Nabi saw menginjak 50 tahun. Setelah itu setahun atau dua tahun kemudian barulah Nabi saw menikah lagi dengan Saudah binti Zam‘ah yang disusul dengan Aisyah binti Abu Bakr, lalu beberapa wanita lain dalam bentang masa selama 11 atau 12 tahun.
Dari periodeisasi rumah tangga Nabi saw secara global tersebut dapat dilihat bahwa beliau menjalani rumah tangga secara monogami selama 25 tahun lamanya dengan seorang janda. Sedangkan kehidupan berpoligami beliau jalani hanya 11 atau 12 tahun. Itupun beliau jalani setelah meninggalnya istri pertama beliau dan karena alasan penting bagi kepentingan dakwah. Artinya, bukan atas keinginan Nabi saw semata, tapi merupakan perintah Allah swt. Dengan demikian tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis dan para pembenci Muhammad saw yang menyebutkan beliau memiliki syahwat berlebihan terhadap wanita sehingga mendorong beliau untuk beristri banyak, merupakan tuduhan yang sangat tidak berdasar.
Alasan-alasan yang mendasari beliau untuk menikahi beberapa wanita lebih kepada kepentingan agama daripada memenuhi keinginan beliau. Beliau dihadapkan pada sejumlah situasi yang mengharuskannya menikahi wanita-wanita tersebut demi kebaikan bagi jalan dakwah. Alasan-alasan ini dapat ditemukan dengan mengupas satu per satu potret istri-istri Nabi saw.
Khadijah binti Khuwailid
Khadijah merupakan wanita pertama yang dinikahi Nabi Muhammad saw. Rasulullah menjalani pernikahan ini ketika usia beliau masih pemuda, 25 tahun, 15 tahun sebelum kenabian. Selama 25 tahun pula Rasulullah dan Khadijah mengarungi bahtera rumah tangga mereka hingga Khadijah meninggal dunia. Selama menjalani rumah tangga dengan Khadijah, Rasulullah saw tidak menikahi wanita lain.
Nabi saw menikahi Khadijah atas bimbingan Allah swt karena kemudian terbukti Khadijah adalah sosok penting yang mendukung dakwah beliau baik secara moril maupun finansial. Fakta ini mematahkan tuduhan para pengkritik beliau yang menyebut beliau memiliki syahwat berlebihan terhadap wanita. Sebab, sebagai seorang pemuda, jika memang beliau memperturutkan syahwatnya, beliau bisa saja menikahi wanita gadis yang secara fisik dapat memberikan kepuasan lebih daripada seorang janda. Atau, kalau memang tuduhan itu benar, sekalipun beliau terpaksa menikahi Khadijah karena kepentingan material, beliau masih bisa melakukan poligami dengan menikahi wanita lain ketika Khadijah masih hidup. Spekulasi-spekulasi ini nyatanya tidak pernah terjadi. Fakta yang tersaji justru menunjukkan bahwa Rasulullah saw adalah pribadi yang hanif, menjalani pernikahan bukan atas dasar dorongan syahwat. Beliau mau berumah tangga dengan seorang janda berusia 15 tahun lebih tua dari beliau sampai janda tersebut meninggal dunia.
Dari pernikahannya dengan Khadijah, Rasulullah saw dikaruniai 6 orang anak: 2 laki-laki dan 4 perempuan. Putra lelakinya, Qasim dan Abdullah, meninggal ketika umur mereka masih kecil. Qasim meninggal sebelum menginjak usia 2 tahun, dan Abdullah meninggal di usia lebih muda lagi dibandingkan Qasim. Hikmah di balik meninggalnya dua putra laki-laki Muhammad saw ini bisa jadi agar keduanya tidak dijadikan pewaris garis kepemimpinan ayahanda mereka dalam bidang keagamaan maupun kemasyarakatan. Pola yang berlaku pada masa itu adalah jika seorang pemimpin meninggal dunia dan memiliki anak laki-laki, maka anak tersebut diangkat menjadi penggantinya atas dasar garis keturunan tanpa memandang kemampuan dan kapabilitasnya. Dengan tidak adanya anak laki-laki maka kepemimpinan Muhammad saw atas umat diserahkan pada musyawarah diantara para sahabat sehingga yang terpilih adalah orang yang paling layak dan paling mampu mengemban amanah tersebut saat itu, yakni Abu Bakr al-Shiddiq.
Khadijah merupakan sosok istri yang menguatkan dakwah Nabi Muhammad saw di masa-masa sulit. Dia pula orang pertama yang mengimani kebenaran risalah yang dibawa Nabi saw. Kontribusinya bagi perjuangan dakwah terlampau besar hingga tiada mampu ditandingi oleh istri-istri Nabi yang lain. Inilah yang membuat Nabi Muhammad saw selalu mengenangnya. Bahkan jauh setelah ia meninggal, Nabi Muhammad masih sering menyebut-nyebut namanya. Aisyah ra, istri tercinta Nabi saw setelah meninggalnya Khadijah, sampai dibuat cemburu oleh tindakan beliau tersebut. Pernah ia menegur Nabi saw atas tindakan tersebut seakan-akan di dunia tidak ada wanita selain Khadijah. Nabi saw menyikapinya dengan menyebut kontribusi-kontribusi Khadijah bagi dakwah Islam. Setelah itu Aisyah tidak lagi merasa cemburu. Dia maklum atas apa yang dilakukan oleh Nabi saw.
Saudah binti Zam‘ah
Saudah adalah janda dari seorang pria bernama Sakran ibn Amr. Saudah dan suaminya itu termasuk orang yang pernah berhijrah ke Habasyah. Sepulang dari Habasyah, Sakran meninggal dunia. Maka Rasulullah saw berinisiatif menjadikan Saudah sebagai istrinya untuk memberikan perlindungan kepadanya dan penghargaan pada Sakran. Sekaligus juga upaya untuk memberikan pengayoman pada anak-anak Saudah yang berjumlah 12 dari pernikahan sebelumnya.
Apalagi Rasulullah saw baru saja ditinggal oleh Khadijah. Bukan rahasia bahwa dalam menggerakkan roda dakwah, Rasulullah saw tidak bisa bekerja sendiri. Beliau perlu pendamping yang menyokong, membantu keperluannya, dan memudahkan jalan dakwahnya. Beliau butuh pasangan yang dapat menguatkan di saat beliau kendor. Maka pernikahan antara Nabi Muhammad saw dan Saudah binti Zam‘ah merupakan sebuah prosesi ikatan yang saling menguatkan satu sama lain.
Aisyah binti Abu Bakr
Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi Muhammad yang masih gadis saat dinikahi. Putri Abu Bakr al-Shiddiq ini disunting Nabi tidak lama setelah pernikahan beliau dengan Saudah binti Zam‘ah. Umur Aisyah saat dinikahi Nabi saw menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama; ada yang menyebut 6 tahun, ada juga yang menyebut 7, 8, bahkan 9 tahun.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mengapa Nabi saw menikahi Aisyah padahal beliau baru saja menikahi Saudah sebagai pengganti Khadijah. Saat dinikahi Nabi, umur Saudah sudah sangat tua, 70 tahun. Ia tidak mampu menjalankan peran yang optimal sebagai seorang istri. Ada banyak keterbatasan pada dirinya terutama dalam hal kemampuan fisik. Hal itu terbukti setelah Nabi menikahi Aisyah, jatah hubungan suami-istri yang tidak mampu dijalani oleh Saudah itu diberikan pada Aisyah.
Untuk menanggulangi keterbatasan fisik Saudah itu Nabi saw memerlukan istri yang bisa menyokong beliau sepenuhnya secara hati dan fisik. Apalagi penawaran untuk menikah lagi datang dari sahabatnya yang paling beliau cintai, Abu Bakr al-Shiddiq, yang menawarkan sendiri putrinya kepada beliau. Nyaris tidak mungkin menolak penawaran sahabat yang dicintainya itu.
Pernikahan Nabi saw dengan Aisyah ra ini juga tidak lepas dari petunjuk Allah swt. Tidak lama setelah menikah dengan Aisyah, Nabi berhijrah ke Madinah. Dalam fase dakwah di Madinah inilah materi-materi syariah dan fikih mulai diajarkan Nabi saw. Ada banyak hadits terucap dari lisan beliau menerangkan hal-hal yang tidak memungkinkan termuat dalam al-Quran. Terkhusus lagi hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan kewanitaan; tidak mungkin Nabi menyampaikannya langsung di hadapan para wanita karena ada hal-hal yang sensitif. Juga, tidak mungkin pula para wanita itu langsung mengadukan persoalan kewanitaan mereka di depan mata Nabi saw karena mereka pastinya mempunyai rasa malu. Disinilah peran penting seorang Aisyah yang cerdas dan kuat hafalannya terasa.
Aisyah menjadi jembatan yang menghubungkan antara persoalan kaum wanita itu dengan sumber fatwa. Para wanita mengadukan permasalahan kewanitaan yang mereka hadapi melalui Aisyah. Dan melalui Aisyah pula Nabi saw menjawab dan memberi fatwa atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan demikian permasalahan terjawab dengan tuntas; tidak tersekat oleh rasa malu dan sebagainya.
Pernikahan Nabi saw dengan Aisyah ra ini juga menjadi berkah bagi perbendaharaan keilmuan Islam. Ratusan ribu pernyataan yang meluncur dari lisan Nabi saw –terutamanya yang disampaikan di dalam rumah— dihafal oleh Aisyah ra yang cerdas itu. Dirinya bahkan dinyatakan sebagai wanita penghafal hadits terbanyak dalam Islam. Kuantitas hafalan haditsnya hanya kalah dari kaum pria seperti Abu Hurairah dan lainnya. Dengan perannya ini, sabda-sabda Nabi saw dapat terjaga keutuhannya dan terus menjadi pegangan bagi umat Islam sampai hari kiamat.
Hafshah binti Umar ibn Khathab
Hafshah adalah seorang janda yang ditinggal mati syahid oleh suaminya, Khunais ibn Hudzafah al-Sahmy, dalam perang Badar. Melihat putrinya yang menjanda, Umar ibn Khathab berupaya mencarikannya suami agar ada yang bisa melindungi dan menjaga kehormatannya. Umar sempat meminta Abu Bakr al-Shiddiq untuk menikahi Hafshah tetapi yang diminta tidak memberikan jawaban apapun. Bingung atas sikap Abu Bakr, Umar menemui Rasulullah Muhammad saw dan menyampaikan permasalahan yang dihadapinya pada beliau.
Tanggap terhadap persoalan yang sedang terjadi, Rasulullah saw bersedia menikahi Hafshah. Hati Umar tentunya lega, bahkan lebih bahagia karena akhirnya Hafshah dinikahi oleh orang yang maqamnya lebih tinggi.
Pernikahan ini mendatangkan hikmah yang besar. Hafshah memang sudah lama memiliki minat dan perhatian terhadap al-Quran. Ia rajin dan teliti menyimpan tulisan al-Quran yang terdapat pada kulit, tulang, dan pelepah kurma hingga menjadi kumpulan kalam Allah yang lengkap. Bukan hanya menguasai penulisan al-Quran, Hafshah juga hafal 30 juz al-Quran dengan hafalan yang sangat kuat dan akurat. Keberadaan Hafshah di sisi Rasulullah saw membantu beliau dalam mengakurasi dan memantapkan hafalan al-Quran.
Ummu Salamah binti Abu Umayyah
Ummu Salamah yang bernama asli Hindun ini ialah seorang janda tua beranak empat dari hasil pernikahan dengan suami pertamanya bernama Abdullah ibn Abd al-Asad. Suaminya itu syahid dalam perang Uhud. Berempatik kepada Ummu Salamah, Nabi saw melamarnya. Mulanya lamaran tersebut ditolak karena menyadari usianya yang sudah tua. Alasan umur juga digunakannya ketika menolak lamaran Abu Bakr dan Umar ibn Khathab.
Namun tatkala Nabi Muhammad saw mengajukan lamaran kepadanya untuk kedua kalinya, ia tidak lagi menolak. Melalui pernikahan ini, kehormatan dan akidah Ummu Salamah terjaga sekaligus ada yang mengayominya.
Ummu Salamah merupakan wanita yang pandai berpidato dan berdialog. Ia dikenal cerdik dalam mencari metode tepat untuk menyampaikan sebuah pengajaran. Semenjak menikah dengan Rasulullah saw, Ummu Salamah menjalankah peran sangat penting dalam hal pengajaran Islam kepada kaum wanita. Bahkan, dengan pernikahan tersebut, ia bisa langsung menimba fatwa dari sumber primernya tanpa perantara untuk disampaikan kepada kaum wanita. Dia bahu-membahu bersama Aisyah ra mencerdaskan umat –khususnya para wanita.
Baca juga: Menjadi Muslimah yang Disayang Rasulullah
Ummu Habibah binti Abu Sufyan
Ummu Habibah yang bernama asli Ramlah ini merupakan putri Abu Sufyan yang semenjak memeluk Islam berhijrah bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, ke Habasyah. Ia lantas bercerai dari suaminya itu tatkala sang suami pindah agama Nasrani. Melihat salah seorang rakyatnya terlantar, al-Najasyi, Raja Habasyah, berinisiatif menawarkan Ummu Habibah kepada Nabi Muhammad saw. Oleh sang Rasul, tawaran tersebut diterima.
Pernikahan ini lebih didorong oleh motivasi Rasulullah saw menyelamatkan dan mengayomi seorang muslimah agar terjaga keimanannya. Sekaligus memberikan bukti bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk secara aktif menjaga sesama muslim agar tidak termurtadkan.
Juwairiyah binti al-Harits al-Khuzaiyah
Juwairiyah yang bernama asli Barrah adalah putri kepala suku Bani Mustaliq yang mengobarkan perang terhadap Nabi Muhammad saw dalam pertempuran Muraisi‘. Setelah Bani Mustaliq diberangus dan ayahnya tewas, Juwairiyah dijadikan budak oleh Tsabit ibn Qais.
Berada dalam perbudakan seorang muslim, Juwairiyah mempunyai peluang untuk merdeka jika bisa melakukan pembayaran mukatabah (salah satu sistem pembayaran yang berlaku saat itu untuk pembebasan budak). Menjadi merdeka sangat penting artinya bagi Juwairiyah karena ia memiliki 17 anak. Karena tidak mempunyai jumlah uang yang cukup, Juwairiyah mengadu kepada Nabi saw. Oleh Nabi saw, beban mukatabah Juwairiyah dibayar sekaligus Juwairiyah dinikahinya.
Tindakan yang dilakukan Nabi saw ini merupakan upaya merealisasikan rahmat Islam bagi seluruh alam. Umat muslim boleh berperang dengan kaum yang merongrongnya, namun anak-anak kaum tersebut tidak semestinya mendapatkan hukuman seperti orangtua mereka. Anak-anak tersebut pantas mendapatkan perlakuan yang manusiawi, juga hak-hak yang sebagaimana mestinya melalui cara-cara yang dibenarkan syariat.
Shafiyah binti Huyai Akhtab
Shafiyah adalah putri Huyai, seorang kepala suku Bani Nadhir, salah satu suku Bani Israel yang berdiam di sekitar Madinah. Pada perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya, Kinanah ibn Abdul Huqaiq tertawan. Dalam sebuah perundingan pembebasan, Shafiyah memilih menjadi istri Nabi Muhammad dan berpisah dari Kinanah.
Shafiyah yang berkulit putih dan berparas cantik itu membuat cemburu istri-istri Nabi yang lain. Bahkan ada istri Nabi Muhammad dengan nada mengejek mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy, sedangkan Shafiyah adalah Yahudi. Hafshah-lah yang “keceplosan” hingga mengeluarkan kata-kata, “Kamu anak Yahudi,” yang membuat Shafiyah menangis.
Mendapati hal itu, Nabi Muhammad saw menghiburnya, “Kamu adalah putri (keturunan) seorang Nabi (Harun). Pamanmu (Musa) adalah seorang Nabi. Dan suamimu (Muhammad) pun seorang Nabi.” Lalu kepada Hafshah Nabi menasehati, “Beristighfar dan bertakwalah pada Allah, Hafshah!”
Tatkala Shafiyah mendengarkan ejekan serupa dilontarkan oleh istri-istri Nabi yang lain, ia bertanya keheranan, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku? Suamiku adalah Muhammad. Ayahku (leluhurku) adalah Harun. Dan pamanku adalah Musa.” Mendengar itu istri-istri Nabi terdiam dan setelah itu mereka tidak lagi mengejek Shafiyah.
Melalui pernikahan ini, Rasulullah saw melindungi keimanan Shafiyah. Shafiyah yang memeluk Islam sejak dibebaskan dari penawanan memang dikucilkan bahkan diboikot oleh kaumnya. Jika masih tetap berada di tengah-tengah Bani Nadhir dalam kondisi dikucilkan begitu rupa, ia pasti hidup sengsara. Bukan tidak mungkin bila tidak kuat menahan kesengsaraan ia bisa berbalik kembali ke agama Yahudi. Sebab itulah Rasulullah menawarkan diri untuk menikahinya lalu ia dibawa untuk tinggal di kediaman beliau saw.
Zainab binti Jahsy
Zainab binti Jahsy adalah mantan istri Zaid ibn Haritsah, budak yang kemudian dimerdekakan oleh Nabi saw. Hubungan suami-istri antara Zainab dan Zaid tidak berlangsung langgeng karena Zainab yang berasal dari keluarga terpandang tidak mudah patuh pada Zaid yang tidak selevel dengan dia. Padahal kepatuhan istri pada suami merupakan fondasi asasi bagi berdirinya rumah tangga muslim.
Perceraian mereka pun tidak terelakkan. Zaid tidak ingin melanjutkan rumah tangga yang secara asasi sudah tidak berimbang. Sedangkan Zainab juga membutuhkan sosok suami yang memiliki pengaruh lebih kuat untuk bisa membuatnya patuh dan bersama-sama mengarungi rumah tangga lebih baik.
Setelah perceraiannya dengan Zaid, wanita muslimah yang “agak rewel” ini “ditangani” (dinikahi) oleh Nabi saw. Itu dilakukan karena secara potensi Zainab adalah muslimah yang cukup penting perannya bagi Islam. Namun dalam hal kekufuan dia memang tidak mudah tunduk pada suami yang “lemah”. Dengan hadirnya Nabi saw menjadi suaminya, Zainab mulai terdidik untuk benar-benar menjadi seorang wanita salehah.
Zainab binti Khuzaimah ibn Harits
Zainab binti Khuzaimah merupakan janda dari Ubaidah ibn al-Harits yang mati syahid dalam perang Badar. Zainab adalah wanita yang dikenal suka menyantuni fakir miskin sehingga dijuluki ummu al-masakin (ibu golongan miskin). Karena keluhuran akhlaknya dan sebagai bentuk penghormatan pada Ubaidah ibn al-Harits, Nabi saw menikahinya.
Semenjak menikah dengan Nabi saw sifat kedermawanan Zainab semakin tinggi. Dia pula istri Nabi yang mempunyai waktu khusus untuk memelihara anak-anak yatim dan orang-orang dhuafa di rumahnya. Dengan demikian rumah Nabi saw berubah seketika menjadi pusat pelayanan kaum dhuafa semenjak ditangani oleh Zainab binti Khuzaimah.
Maimunah binti al-Harits
Maimunah ialah mantan istri Abu Ruham ibn Abd al-‘Uzza. Ia berasal dari Yahudi keturunan Bani Kinanah. Tidak seperti Shafiyah yang tidak memiliki pengaruh bagi kaumnya sehingga keislamannya dikucilkan, Maimunah adalah wanita terpandang di tengah kaumnya. Keislamannya memberikan keuntungan tersendiri bagi perjalanan roda dakwah. Melalui pengaruhnya, Maimunah diandalkan oleh Nabi saw untuk melakukan pendekatan dakwah terhadap Bani Kinanah dan Bani Nadhir.
Mariyah al-Qibthiyah
Mariyah al-Qibthiyah adalah satu-satunya istri Nabi saw yang berasal dari Mesir. Sebelumnya ia adalah seorang budak yang lantas dimerdekakan dan dinikahi oleh Nabi saw. Maka alasan Nabi saw menikahinya sama dengan alasan beliau menikahi Juwairiyah, untuk membebaskannya dari perbudakan sehingga keimanannya dapat tetap memancang kokoh di dada.
Dari pernikahan dengan Mariyah al-Qibthiyah, Rasulullah saw dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim. Rasulullah saw sangat bahagia dengan keberadaan Ibrahim sebab dua anak laki-lakinya dari Khadijah, Qasim dan Abdullah, meninggal di usia masih kecil. Akan tetapi kebahagiaan itu berganti dengan kesabaran karena Ibrahim kemudian juga meninggal dunia.[]
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!