Menjadi Muslimah yang Disayang Rasulullah – Cintailah Allah dan Rasulullah dengan segenap hati dan jiwa. Meletakkannya melebihi cinta kita kepada apapun di dunia ini. Secara mudahnya, cinta kita kepada Allah dan Rasulullah melebihi cinta kita kepada segala-galanya di dunia ini.
Tutuplah aurat sesuai aturan syari’at, tidak berhias laksana cara wanita-wanita jahiliyah berhias. Secara mudahnya, memahami betul bagaimana Islam mengatur seorang wanita dalam berpenampilan.
Duhai, inilah tanda, betapa agama ini begitu sempurnanya, hingga urusan penampilan pun ada banyak dalilnya.
Gerakkan dirimu untuk beramaliah yang mampu menghantarkanmu ke surga, meski itu amaliah yang sepele seperti tersenyum dengan penuh ketulusan kepada sesama. Ataupun bersedekah, menyingkirkan barang-barang berbahaya di jalan, hingga melakukan amaliah besar seperti berjuang dengan menggunakan pena untuk menuliskan kebenaran.
Bersikap terbaiklah dalam kehidupan sosial. Untuk ini, silahkan dipelajari bagaimana caranya istri-istri Rasulullah, puteri beliau, dan juga para shahabiyah beliau dalam membina pergaulan dengan masyarakat.
Tak perlu terlalu berlebihan dengan menjadikan diri kita begitu eksklusif. Masak hanya gara-gara kita berjilbab dan tetangga kita belum, kemudian dengan sangat angkuhnya kita tidak mempergauli mereka dengan baik.
Merasa tak pantas bergaul mereka hanya karena mereka tak pernah ikut kajian, dan kita rutin. Termasuk menyapanya pun menjadi aktivitas langka kita.
Ah, itu keterlaluan namanya. Di samping nggak bener juga .…
Maka buatlah mereka iri. Buatlah para bidadari itu begitu dengan sangat amat mencemburuimu. Di antara godaan dunia, engkau begitu tabah untuk terus menumbuhkembangkan imanmu menuju kemuliaan hamba.
Tentu saja para bidadari itu mencemburuimu.
Buatlah para bidadari itu begitu dengan sangat amat mencemburuimu. Dengan apa? Dengan ketabahan. Di antara godaan dunia yang begitu derasnya, engkau begitu tabah untuk terus menumbuh-kembangkan imanmu menuju kemuliaan hamba.
Tentu saja para bidadari itu akan mencemburuimu.
Di antara propaganda sesat dari setan asli dan yang manusia tapi berperilaku setan, engkau tetap menjaga iman. Engkau tetap berpegang pada Islam. Engkau tetap mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan-Nya.
“Jika seseorang dari mereka dikabari dengan (kelahiran) anak perempuan, merah-padamlah mukanya, dan ia sangat marah. Ia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dan menanggung kehinaan atau menguburkannya ke dalam tanah hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl [16]: 58-59)
Sebelum Islam datang, kerak karat jahiliyah selalu menyia-nyiakan sosok perempuan. Pola masyarakat jahiliyah berujung pada satu tradisi yang memilukan: mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru dilahirkan atau pewarisan istri ayah kepada anak laki-lakinya.
Islam kemudian datang membebaskan. Islam datang untuk memuliakan. Menghargai kemanusiaan, dan melesatkan perempuan menjadi sosok yang berperan. Bahwa semua bisa menikmati kehidupan.
Dan celaan terhadap pola jahiliyah itu sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl tersebut. Celaan tersebut tentu saja menunjukkan poin penting: Islam sangat memuliakan dan meninggikan derajat kaum wanita.
Rasulullah juga bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah RA, “Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Siapa orang yang paling berhak diperlakukan dengan baik?’ Rasul menjawab, ‘Ibumu, ibumu, ibumu, lalu bapakmu, baru kemudian kepada orang yang lebih dekat dan seterusnya’.” (HR. Muslim)
Hadits di atas bahkan sebuah bukti, bahwa muslimah menempati posisi demikian istimewa dalam Islam. Penyebutannya bahkan harus diulang tiga kali.
Ustadz Faisal Maulawi, seorang Mufti Libanon menyatakan, “Saatnya sekarang kondisi umat sedang dalam keadaan bahaya, para wanita muslimah yang shalihah terjun untuk terlibat aktif dalam membentengi dan memperbaiki umat.”
Lalu, bagaimana agar menjadi muslimah yang disayang oleh Rasulullah?
Faqihah Lidiiniha
Seorang muslimah hendaknya faqih (paham) terhadap din (agamanya). Selayaknya ia dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dalam arti pas tajwid dan makharijul huruf-nya.
Kemudian dapat membaca hadits dan selalu pula menjadi bacaan hariannya, karena dengan itu ia memahami keinginan Rasul untuk kemudian berusaha menyesuaikan kehidupannya sesuai dengan cara hidup Rasulullah SAW.
Setelah itu ia berusaha menyesuaikan kehidupannya sesuai dengan cara hidup Rasulullah SAW.
Ia juga harus berusaha memperkaya diri dan wawasannya melalui belajar kepada seorang guru yang jujur dalam menyampaikan ilmunya, dan berusaha banyak membaca buku agama lainnya seperti tentang aqidah, akhlaq, fiqh, sirah, fiqh dakwah, tarikh Islam, sejarah dunia dan ilmu kontemporer lainnya.
Contoh muslimah yang menguasai ilmu-ilmu ini adalah Aisyah.
Najihah fi Tarbiyyati Auladiha
Seorang aktivis muslimah yang telah berkeluarga hendaknya mengupayakan kesuksesan dalam mendidik anaknya, bahkan bagi seorang aktivis yang belum berkeluarga pun seharusnya mempelajari bagaimana cara mendidik anak dalam Islam, karena ilmu tersebut fardhu ‘ain, sehingga mempelajarinya sama dengan mempelajari wudhu, shalat, shaum, dan yang lainnya.
Sehingga, ia tahu betul cara mendidik anak dalam Islam yang nantinya anak-anak tersebut akan ia persembahkan untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin. Insya Allah kelak ia akan menjadi ibu yang sukses seperti Hajar dan Khadijah.
Muayyidah fi Da’wati Zaujiha
Sebagai aktivis amal Islami, kepedulian kita bukan hanya kepada masalah eksternal, mengupayakan pelaksanaan amal Islam terhadap orang lain, akan tetapi kepedulian terhadap aktivitas keluarga harus lebih diutamakan, misalnya memberikan motivasi amal Islami kepada anak, pembantu, juga suami.
Ia menjadi muslimah yang senantiasa menjadi motivator kebaikan suaminya, seperti Ummu Sulaim yang menikah dengan Abu Thalhah dengan mahar syahadat. Namun ketika Abu Thalhah wafat Rasulullah menshalatkannya sampai sembilan kali takbir, saking sayangnya Rasulullah kepada beliau karena tidak pernah absen dalam beramal dan berjihad bersama Rasulullah. Hal ini ia lakukan karena selalu mendapat motivasi dari Ummu Sulaim, istrinya.
Naafi’ah Fi Tagyiiri Biiatiha
Ia selalu peduli terhadap lingkungannya, selalu membuka mata dan telinga untuk mengetahui kondisi lingkungannya, berusaha menjadi anashir taghyiir (unsur perubah) dalam lingkungannya, selalu mengupayakan lingkungannya menjadi lebih baik. Contohnya Ummu Syuraik yang selalu mengelilingi pasar bila saat shalat tiba untuk mengingatkan penghuni pasar agar segera melaksanakan shalat dengan kalimatnya yang terkenal, “As-shalah, As-shalah!”
Islam merupakan agama yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapan pun. Allah SWT telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan itu, seluruh masalah hidup makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apa pun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satu pun yang dirugikan.
Aturan-aturan Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia; Dia Maha Tahu atas hakikat makhluk yang diciptakan-Nya. Karenanya, Islam sangat mendorong para wanita untuk senantiasa tanggap lingkungan, tanggap sosial, hingga tanggap politik. Senantiasa didorong untuk membekali diri dengan pemahaman Islam sampai mampu menyelesaikan seluruh masalah yang ada di sekelilingnya dengan benar.
Ingatlah betapa Rasulullah SAW tidaklah pernah membedakan para wanita dalam mendapatkan ilmu. Rasulullah SAW bahkan menyediakan waktu dan tempat tersendiri untuk kajian kaum wanita atau mengutus orang-orang tertentu untuk mengajari para wanita bersama mahram-nya.
Dengan begitu, kita semakin mendapatkan gambaran yang begitu jelas, dan juga detail. Islam mencerdaskan kaum wanita. Yah, bukankah laki-laki dan perempuan sama-sama dituntut untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik?
Baca juga: Melestari Ilmu Agama
Dr. Yusuf Qaradhawi pernah melontarkan keheranannya saat melihat fenomena maraknya upaya menjauhkan para muslimah dari majelis ilmu.
Begini kata beliau dalam bukunya Prioritas Gerakan Islam:
“Tahun 70-an, saya terus menghadiri muktamar tahunan Asiosasi Mahasiswa Islam Amerika dan Kanada selama beberapa tahun, di mana ikhwan dan muslimah hadir menyaksikan jalannya ceramah. Muslimah yang hadir di situ ikut mendengar komentar, pertanyaan, jawaban dan diskusi tentang masalah-masalah Islam yang besar, baik menyangkut fikrah, ilmiyah, sosial, pendidikan dan politik. Tapi tahun delapan puluhan, suasana menjadi berubah. Ketika saya menghadiri beberapa muktamar di Eropa dan Amerika, saya temukan pemisahan total dua jenis kelamin itu. Saya lihat para muslimah tidak dapat menghadiri sebagian besar ceramah-ceramah, diskusi dan seminar yang dikelola oleh laki-laki. Padahal, forum itu begitu penting bagi wanita. Di antara muslimah ada yang mengadu pada saya tentang kebosanan mereka mengikuti ceramah-ceramah yang hanya seputar kewanitaan saja, seperti hak-hak, kewajiban dan kedudukan wanita dalam Islam.”
Dan kasus yang lain pun mengikut. Seperti ketabuan masalah wanita dilarang keras menolak calon suami. Belum lagi masalah menuntu ilmu, yang seharusnya berpotensi dan melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi menjadi tabu, karena seorang wanita itu justru harus di rumah, membantu pekerjaan rumah, yang kemudian dipaksa masuk ke dalam istilah “berbakti pada orang tua”.
Hingga, banyak muslimah cerdas yang tak bisa mengenyam perguruan tinggi. Padahal, ilmu itulah yang akan ikut memperkuat barisan dakwah Islam. Itu belum lagi berbagai kekhawatiran setelah lulus mau pergi ke mana. Menjadi wanita berjilbab tidaklah mudah mendapatkan pekerjaan. Jadi, lebih baik di rumah saja, membantu orang tua, dan menunggu sang jodoh datang melamar.
Padahal, agama Islam tak pernah memandang dan menilai muslimah sebagai masyarakat kelas dua dengan hak dan tanggung jawab yang lebih rendah dari kaum pria. Padahal, agama Islam mewajibkan menuntut ilmu bagi wanita dan pria, bukankah Nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan kepada para orangtua mengutamakan pendidikan anak perempuannya, “Barang siapa mempunyai anak perempuan, kemudian mendidiknya, berbuat baik kepadanya, dan mengawinkannya, baginya surga.” (HR. Ibnu Hibban)
Padahal, sejarang telah merekam dengan gemilangnya bahwa parade keagungan Islam jelas sekali telah banyak melibatkan peran aktif para muslimah di berbagai bidang.
Lihatlah bagaimana Sumayyah berkorban nyawa. Dan ia pun menjadi umat Nabi Muhammad yang pertama kali menyumbangkan nyawanya demi keimanan. Hingga gelar syahadah pun diperolehnya. Dan bukankah, sosok manusia pertama yang menyambut da’wah Islam yang bahkan sebegitu banyak menopangnya juga dari sosok muslimah. Ialah sosok muslimah yang bernama Khadijah binti Khuwailid.
Bahkan, dalam dunia ilmu hadits, lbnu Asakir telah menyebutkan bahwa lebih dari delapan puluh wanita yang menjadi ahli hadits. Di antaranya adalah Aliyah binti Hasan, sang pemimpin Bani Syaiban, yaitu seorang yang cerdik lagi terhormat yang sering dikunjungi oleh Shaleh Al-Marwi dan tokoh-tokoh ulama fiqih Bashrah untuk dimintai pendapatnya tentang berbagai masalah.
Bahkan, Zainab binti Ummi Salamah, telah dilukiskan oleh lbnu Katsir sebagai salah seorang yang paling dalam ilmu agamanya di kota Madinah saat itu. Selain itu, ada di antara para sahabat yang sering membacakan catatannya di hadapan seorang sahabiyah yang bernama Ummu Sa’ad binti Rabi’. Kerennya, mereka pun mohon dikoreksi bila terdapat kesalahan-kesalahan dalam catatannya.
Baca juga: Menyala Lagi Cahaya Cordoba
Dalam dunia medis, bahkan tercatat nama indah: Ka’biyyah binti Saad Al-Aslamiyyah, ia adalah salah seorang dokter wanita. Beliau mendirikan tenda poliklinik yang bersebelahan dengan masjid Nabawi, memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Islam. Atas jasa jihad dan sosialnya itu, Rasulullah memberinya hadiah sebuah anak panah di waktu perang Khaibar.
Rasul juga pernah menunjuk Asy-Syafa’ binti Abdullah untuk mengajarkan tulis-baca kepada kaum muslimin. Asy-Syafa’ pun digelar “guru wanita pertama dalam Islam”.
Bukankah itu semua menunjukkan bahwa Islam tak pernah membatasi apalagi mempersempit ruang gerak wanita khususnya untuk menuntut ilmu dan juga menunaikan kewajiban mereka membangun peradaban masyarakat Islam.
Karena para sahabiyat tahu bahwa kedudukan dan peranan yang mereka emban dalam mengusung pembangunan sebuah masyarakat Islam. Tahu di mana seharusnya berposisi. Maka kemudian, berlomba-lomba merengkuh amal yang paling maksimal untuk berkontribusi dalam kejayaan Islam.[]
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!