marifatullah

Apa yang Akan Terjadi Saat Kita Mengenal Allah?

“Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya. Tenangkanlah dirimu bila takdir telah menetapkan. Jangan pernah sedih dengan cobaan dunia, karena tak ada cobaan dunia yang kekal abadi. Tapi, jadilah orang yang tegar menghadapi berbagai kesulitan. Dengan perilakumu yang lembut nan dermawan,” wejang imam Asy-Syafi’i suatu kali.

Hati adalah rumah ketenteraman. Tempat kebahagiaan. Markas kebeningan. Dengan keshalihan dan kebaikan yang dihasilkannya, maka seluruh tubuh akan menunjukkan kebaikannya. Sebegitu pula saat hati menjadi buruk, kotor, dan kumuh. Seluruh tubuh pun akan menunjukkan kerusakannya.

Hati adalah tempat untuk berjernih-jernih mengenal-Nya, karena di sanalah tempat iman dan taqwa bersemayam. Sebagaimana Sang Nabi yang bersabda di suatu kali dengan menunjuk-nunjuk dadanya, “Taqwa itu ada di sini.” Maka, jangan biarkan hati menjadi pekat. Jangan biarkan ia terpenuhi noda maksiat. Jernihkanlah lagi. Kenalkanlah lagi dengan Rabbnya. Berbahagialah. Bershalih-shalihlah. Niscaya, hidup yang tak seberapa lama di dunia ini, akan terasa indah, tenteram, dan penuh dengan cahaya kebarakahan dari-Nya yang menyebar ke segala penjuru kehidupan kita.

Ma’rifatullah adalah mengenal Allah. Mengenal-Nya bukan untuk sekadar tahu, kemudian kita meninggalkannya begitu saja. Bukanlah seperti itu dalam mengenal Allah. Akan tetapi, mengenal-Nya agar diri semakin dekat dengan-Nya. Hati semakin bercahaya. Nurani semakin bening. Akhlak semakin indah. Dan setiap tutur pikir, hati, lisan dan tingkah laku menenteramkan seluruh penghuni semesta.

Maka, kenalilah Allah agar tujuan hidup menjadi lebih jelas dan jernih, serta tak jua tergoda rayuan mesra jerat cinta dunia. Oleh itulah, mengenal Allah adalah ilmu tertinggi, karena dengannya keimanan dan ketaqwaan kan meninggi. Bukankah tak ada yang lebih membahagiakan selain terkeluarnya diri dari kegelapan menuju cahaya-Nya? Maka, kenalilah Rabb kita.

 

Baca juga: Menjadi Muslimah yang Disayang Rasulullah

 

Berdekat-dekatlah dengan-Nya. Sungguh, keberuntungan dan ketenteraman akan senantiasa membersamai di hari-hari. Jika sudah begitu, tentu tak ada lagi yang perlu dirisau atas apa yang menimpa diri. Bilalah datang ujian, kita bisa bersabar. Dan di sana ada pahala menanti. Bilalah datang nikmat, kita pun bersyukur. Dan di sana, pahala juga menanti. Begitulah sisi hidup seorang mukmin. Senantiasa ada dalam kebaikan yang menenteramkan dan memberikan keberuntungan diri, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Dalam kitab Ghidza’ Al-Albab, As-Safarayani yang menukil dari Ibnul Jauzi menterakan kisah unik nan menarik. Ahli sejarah bernama Abdul Wahid berkisah bahwa ia dan teman-temannya pernah berlayar dengan sebuah kapal. Begitu tiba di tengah laut, tiba-tiba kapal pecah dan mereka terdampar ke sebuah pulau di tengah laut. Di sana mereka mendapati seorang lelaki yang sedang menyembah patung.

Bertanyalah mereka kepada lelaki tersebut, “Apa yang kamu sembah?”

Lelaki itu menunjuk ke patung, dan balik bertanya, “Lantas apa yang kalian sembah?”

Mereka menjawab, “Kami menyembah Allah, yang singgasana-Nya di langit, kekuasaan-Nya di bumi, dan keputusan-Nya berlaku untuk semua yang hidup dan yang mati.”

Lelaki itu bertanya penasaran, “Apa bukti kalian akan hal itu?”

“Dia telah mengutus seorang Rasul kepada kami,” jawab Abdul Wahid.

“Di mana utusan tersebut?” tanyanya lagi.

“Ia telah diwafatkan oleh Allah.”

“Lalu, apa bukti kalian yang menunjukkan Dia ada?”

“Ia wariskan sebuah kitab bersumber dari Allah, Sang Raja, untuk kami.”

“Perlihatkan kitab itu kepadaku!” pintanya.

Abdul Wahid berkisah, “Kami pun menyodorkan sebuah mushaf Al-Qur’an kepadanya.”

“Wah! Aku tidak bisa membaca tulisan seperti ini.”

 

Baca juga: Mengemas Baik Sangka kepada-Nya

 

Akhirnya, mereka membacakan kepadanya salah satu surat dalam Al-Qur’an. Begitu mendengarnya, ia menangis dan berujar, “Sungguh, yang perkataannya seperti ini tidak layak ditentang.”

Abdul Wahid melanjutkan, “Setelah itu, kami mengajarkan kepadanya syariat-syariat Islam. Kami juga shalat bersama, lalu beranjak tidur.”

“Apakah Tuhan yang kalian sembah itu tidur?” Tanya lelaki itu dengan polosnya.

“Tuhan kita Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri. Dia tidak tidur,” jawab kami.

“Sungguh, kalian adalah hamba yang kurang ajar. Tuhan kalian tidak tidur, sementara kalian malah tidur!”

Takjublah mereka dengan lelaki ini. Takjub setakjub-takjubnya.

Setelah beberapa lama, mereka berhasil sampai di sebuah tempat bernama Abadan. Mereka pun menggalang dana untuk diberikan kepada lelaki itu. Ketika dana tersebut hendak diberikan kepadanya, ia berkata, “Mahasuci Allah, kalian menunjukkan kepadaku jalan yang belum pernah aku tempuh! Dulu aku menyembah patung dan Allah tidak menelantarkanku! Maka, mana mungkin Ia akan menelantarkanku setelah aku mengenal-Nya?”

Sekali lagi mereka dibuat takjub. Hingga suatu ketika, orang ini jatuh sakit. Mereka pun pergi ke rumahnya untuk menjenguk.

“Apakah Anda butuh bantuan?”

“Tuhan yang kalian tunjukkan kepadaku sudah memenuhi semua kebutuhanku,” jawabnya dengan penuh ketenangan.

“Tak lama kemudian,” tutur Abdul Wahid, “lelaki itu meninggal. Dalam mimpi, aku melihatnya berada di sebuah tenda dan di sampingnya ada seorang wanita. Ia berkata, ‘Salam sejahtera untukmu karena kesabaranmu, sungguh itulah sebaik-baik negeri akhir’.”

Beginilah ma’rifatullah. Beginilah saat kita telah mengenal Allah. Bisa mengenal Allah adalah anugerah terindah. Tak semua manusia bisa merasainya. Tapi, saat seorang hamba telah merasainya, akan tenanglah jiwanya, beninglah nuraninya, dan jelaslah tujuan hidupnya. Begitu pula dengan setiap ayat-ayat yang terbaca jiwa, berbuah pada sikap dan cara hidup. Setiap anugerah yang menjejak, selalu meningkatkan rasa malu diri kepada-Nya.

Maka, kita kemudian mengerti bahwa ini bukanlah tentang maksiat yang kecil atau besar, tetapi kepada siapa kita melakukannya. Bilalah Allah telah menjadi tujuan hati, maka keadaan selalu terawasi akan senantiasa melekati diri. Di keadaan seperti itulah, setiap lelaku diri, baik rasa, kata, maupun yang terlintas di jiwa, adalah kehati-hatian yang harus terus dijaga.

Mengenal Allah, berarti tak ada lagi ceritanya bagi hati untuk tergantung dengan makhluk dalam mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Hamba-hamba yang senantiasa menjadikan-Nya satu-satunya pegangan, tidaklah akan pernah rugi ataulah terlantar; baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, sangat mungkin ia mampu mengungguli orang lain yang mungkin ikrar keislamannya lebih dulu. Yah, semua itu tak lain karena kedalaman dirinya dalam mengenal Allah. Hingga ia bersungguh-sungguh dalam beribadah, giat dalam beramal, dan selalu berusaha terdepan dalam setiap agenda ketaatan.[]


Bergabunglah bersama 5.357 pembelajar lainnya.




I agree to have my personal information transfered to MailChimp ( more information )

Dua pekan sekali, saya berikan informasi penting mengenai writerpreneurship. Wajib bagimu untuk bergabung dalam komunitas email saya ini kalau kamu ingin belajar menjadikan profesi penulis sebagai ikthiar utama dalam menjemput rezeki, seperti yang saya lakukan sekarang ini.

Kesempatan terbatas!


Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:

Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!


Bergabunglah bersama 5.357 pembelajar lainnya.
I agree to have my personal information transfered to MailChimp ( more information )
Dua pekan sekali, saya berikan informasi penting mengenai writerpreneurship. Wajib bagimu untuk bergabung dalam komunitas email saya ini kalau kamu ingin belajar menjadikan profesi penulis sebagai ikthiar utama dalam menjemput rezeki, seperti yang saya lakukan sekarang ini.
Kesempatan terbatas!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

error: Maaf, konten terlindungi. Tidak untuk disebarkan tanpa izin.