Saat engkau tegar mendekapi kebenaran, maka jiwamu menapaki langit tinggi. Tinggi sekali. Dan jika jiwamu telah tinggi menapaki langit, maka citamu akan tinggi. Mimpimu akan tinggi, dan azzammu untuk mewujudkannya pun akan meninggi. Jika sudah begitu, langkah tak terseok, arahmu jelas. Langit pun akan mencurahkan keberkahan di setiap episode hidupmu, walau aral memalang lintang.
Jika jiwamu telah tinggi menapaki langit, maka engkau akan tahu, mengapa Imam Ahmad bisa seperti ini.
“Aku mengenal banyak salaf. Lalu aku menyeleksi di antara mereka, mana orang-orang yang memiliki perpaduan antara ketinggian ilmu hingga menjadi mujtahid, dengan mereka yang memiliki banyak amal hingga ia menjadi contoh bagi ahli ibadah. Hasilnya, aku tidak mendapatkan lebih banyak dari tiga orang. Mereka adalah Hasan Al-Bashri, Sofyan Ats-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal.” Begitulah tulis Ibnul Jauzi dalam kitab Shaid Al-Khathir. Pujian yang tidak berlebihan yang harus disematkan kepada Imam yang juga murid Imam Syafi’i itu. Yah, karena dalam urusan ketulusan atapun kebersihan hati, Imam Ahmad adalah masternya. Beliau dikenal tulus, karena ia sangat tidak ingin dikenal dan tidak ingin kebaikannya dibicarakan orang. Maka tak heran, ketika ia mengadu, “Demi Allah, kalau aku bisa memperoleh jalan keluar dari kota ini, aku akan pergi jauh dari sini. Sehingga, aku tidak disebut-sebut oleh penduduk di sini atau mereka tidak mengingatku lagi.”
Yahya bin Main, muridnya, bahkan mengatakan, “Aku tidak melihat orang seperti Ahmad bin Hanbal. Aku menemaninya selama 50 tahun dan ia tidak menyebutkan sedikitpun pada kami kebaikan yang ia lakukan.” Kita, yang membersamai sahabat kita baru beberapa minggu saja, pastilah telah dapat mendapati celanya yang bejibun dan memenuh ember kata-kata celaan dari kita. Tapi ini, Yahya bin Main ini, bahkan melaporkan tidak demikian perihal Imam Ahmad.
Abu Bakar Marwazi pernah mengisahkan demikian. Aku pernah mendatangi Imam Ahmad suatu ketika dan aku bertanya kepadanya, “Bagaimana keadanmu pagi ini?”
“Bagaimana keadaan orang yang Rabbnya memintanya melakukan kewajiban, nabinya memintanya melakukan sunnah, malaikat memintanya untuk memperbaiki perilakunya, jiwanya memintanya untuk memenuhi keinginannya, iblis memintanya untuk melakukan kekejian, malaikat maut ingin mencabut ruhnya, dan keluarganya menginginkan nafkah darinya?” jawab Imam Ahmad.
Yah, jika jiwa telah menapaki langit, engkau akan bisa marasai bahwa hidup adalah kumpulan-kumpulan kewajiban yang harus kau tunaikan. Tidak dikatakan bahwa engkau harus menggurati hari-harimu dengan kebekuan dan kekakuan yang melalaikanmu dari kesenangan. Bukan. Tetapi, jika rasa senangmu sampai menghancurkan kewajiban-kewajiban yang harus kau tunaikan, maka jiwamu belumlah mampu merasai kedekatan dengan-Nya. Jika jiwa telah menapaki langit, maka sapaan-sapaan kelaraan yang menghebati hari-hari, adalah sarana kedekatan kepada-Nya.
Semua hal adalah sarana kedekatan kepada-Nya. Entah itu membahagia, ataupun melara. Semua sama saja. Di sini, kita belajar lagi dari Imam Ahmad. Ada satu peristiwa penting yang menjadikannya mampu menahan siksaan di penjara.
Suatu saat ia mengatakan, “Semoga Allah merahmati fulan ….”
“Siapa fulan …?” tanya murid-muridnya keheranan. “Ia adalah peminum khamr dan ia pernah bersamaku dalam penjara. Dan melihat betapa beratnya siksaanku saat dicambuk. Ia justru mengatakan, ‘Aku harus dihukum 100 kali cambukan di jalan setan. Tidakkah engkau cukup kuat menanggung 10 cambukan di jalan Allah?’ Dan aku, setelah itu, tidak merasakan apapun kecuali hanya pada cambukan pertama saja.”
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!