Ketinggian ilmu dan kerendahan hati memanglah harus selalu beriringan. Yang pertama meninggikan derajat kita di hadapan-Nya, yang kedua membumikan ketinggian derajat kita itu untuk kemashlahatan semesta; ia pun berbuah pahala pula.
Indah nian dua kombinasi ini. Celakanya, bila timpang salah satu, hanya akan menjadi pencelaka, tak hanya diri, juga orang-orang yang tak mengerti ilmu dan tak tahu bagaimana berendah hati.
Adalah kekhilafan kan selalu mengintai diri para pengilmu. Maka, kerendahan hati akan menyelamatkan diri dari kemusykilan dekapan kebenaran.
Abdullah ibn Wahab, Abdurrahman ibnul Qasim, dan Asyhab ibn Abdil Aziz Al-Qaisi adalah tiga alim nan faqih di Mesir. Suatu waktu, Asyhab dan Ibnul Qasim bersidebat hebat tentang satu persoalan pelik fiqih.
”Aku mendengar Imam Malik berkata begini,” kata Asyhab.
”Tidak, justru aku mendengar Imam Malik berkata begini, bukannya begitu,” bantah Ibnul Qasim.
”Aku bersumpah,” tantang Asyhab.
”Aku juga bersumpah!” ujar Ibnul Qasim tak kalah yakin.
Bilalah dua sosok alim, faqih, murid Imam Malik pula, tengah bersilang pendapat, tentu hujjah-hujjah bersikeluaran.
Lalu, siapa yang sanggup menengahi perkara pelik ini?
Ibn Wahab.
Tiga orang ini, adalah sama-sama murid Imam Malik. Sama-sama alim. Sama-sama faqih. Sama-sama menjadi rujukan umat tatkala sulit nan pelik hajat hidup mendera. Namun, Ibn Wahab mampu menjadi penengah karena memiliki satu kelebihan lain: kerendahan hati.
Baca juga: Atsar dan Peran Kita di Bumi-Nya
”Kalian berdua benar,” ujar Ibn Wahab menenangi dua kawan alimnya itu, ”tapi kalian berdua juga keliru, dan kalian berdua juga bersalah. Kalian berdua benar karena Malik pernah menyampaikan kedua pendapat itu pada kesempatan berbeda. Namun, kalian berdua keliru ketika saling menyalahkan. Dan kalian berdua bersalah atas sumpah yang kalian ucapkan dalam membenarkan diri mengelirukan rekannya.”
Permasalahan tuntaslah sudah.
Jawaban Ibn Wahab tak hanya menitikkan kesegaran dan meminggirkan kekhilafan, namun juga menyadarkan dua kawannya, bahwa sungguh bagi para pengilmu, kekhilafan kan selalu menanti. Di sanalah, ruang kerendah-hatian harus senantiasa menjadi tempat penyegar ulang napas perjalanan panjang menjaga keberkahan ilmu.
Mensyukuri atas karunia ilmu bukanlah dengan mengumbar kemampuan dengan berbanyak debat, namun menjejakkan kerendahan hati, namun melangitkan karya menebar kemanfaatan.[]
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!