Rezeki dalam Islam – Meyakini bahwa rezeki berada di tangan Allah SWT semata adalah bagian penting dari keimanan kepada-Nya. Allah menjamin rezeki seluruh makhluk bagaimana pun keadaannya dan di mana pun keberadaannya.
Jadi, Allah memberikan rezeki kepada siapa pun dia, baik muslim atau pun seorang kafir. Begitu juga manusia dan jin, burung-burung dan hewan lainnya, yang kuat dan yang lemah, serta yang mulia dan yang hina. Semua makhluk-Nya telah terjamin rezekinya.
Perhatikan beberapa ayat berikut ini.
”Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (QS Hûd [11]: 6)
”Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS adz-Dzâriyât [51]: 22)
”Katakanlah (Muhammad), ’Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?’ Katakanlah, ’Allah,’ dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (QS Saba’ [34]: 24)
”Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya? Bahkan mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri (dari kebenaran).” (QS al-Mulk [67]: 21)
Orang mukmin sejati adalah orang yang meyakini bahwa perbendaharaan Allah SWT tidak akan pernah berkurang walaupun para makhluk selalu memintanya dan perbendaraan tersebut tidak akan habis walaupun mereka telah mendapatkan apa yang diminta.
Allah SWT berfirman di dalam Hadits Qudsi, dari Abu Dzar, dari Nabi saw., dari apa yang diriwayatkan Allah, bahwasanya Dia berfirman,
”Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman bagi diri-Ku dan Aku telah menjadikan kezaliman tersebut di antara kalian haram, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku! Kalian semua tersesat kecuali yang Aku beri petunjuk (hidayah), maka mintalah hidayah kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian hidayah. Wahai hamba-Ku! Kalian semua lapar kecuali yang Aku beri makan, maka mintalah makan pada-Ku, niscaya Aku akan memberinya makan.
Wahai hamba-Ku! Kalian semua telanjang, kecuali yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian pada-Ku, niscaya Aku akan memberinya pakaian. Wahai hamba-Ku! Kalian melakukan kesalahan pada siang dan malam hari, sedangkan Aku mengampuni dosa seluruhnya, maka mintalah ampunan pada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian. Wahai hamba-Ku! Kalian sekali-kali tidak akan mampu memberikan mudarat dan manfaat pada-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang yang pertama dan yang terakhir dari kalian, baik umat manusia maupun golongan jin, kesemuanya, memiliki perangai seperti perangainya orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal tersebut tidak menambah sesuatu pun pada kerajaan-Ku.
Wahai hamba-Ku! Seandainya orang yang pertama dan yang terakhir dari kalian, baik dari golongan manusia dan jin, berdiri di salah satu bukit kemudian mereka berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan kepada mereka segala apa yang diminta, tanpa mengurangi segala apa yang ada pada diri-Ku, kecuali seperti berkurangnya air laut tatkala dimasukkannya jarum jahit ke dalam air laut tersebut. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku akan menghitung semua amalan kalian. Kemudian Aku akan memberikan ganjaran atas amalan tersebut secara sempurna. Maka, barang siapa yang mendapatkan kebaikan hendaknya dia bersyukur kepada Allah. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu (keburukan), maka janganlah dia sekali-kali mencela kecuali mencela dirinya sendiri.” (HR Muslim)
Nabi saw. telah memperingatkan kita, agar hati dan pikiran kita tidak terkuras dan fokus hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia semata serta hidup bergelimang harta. Jika keadaannya demikian maka kita akan lupa kepada Allah dan kampung akhirat. Juga kita akan terlalaikan dari beramal shalih. Sebab, kita sibuk mengumpulkan, mencari, menghitung-hitung, dan selalu memikirkan cara agar harta yang ada selalu bertambah.
Begitu pun, jika hati kita selalu gandrung untuk mengumpulkan harta maka boleh jadi akan timbul pada diri kita sifat kikir sehingga kita berat untuk menunaikan hak Allah berkenaan harta yang ada pada diri kita. Dan mungkin, kita akan berusaha mendapatkan harta dengan cara yang tidak halal sehingga kita menjadi seperti orang yang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang.
Kisah Semasa Harun Ar-Rasyid
Ada sebuah kisah yang terjadi saat pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Berikut ini kisahnya. Ada dua orang sedang duduk. Pandangan mereka berdua tertuju ke arah rumah yang dimiliki oleh seorang perempuan bernama Zubaidah al-Abasiyyah karena perempuan ini terkenal kedermawanannya.
Salah satu dari kedua orang itu berkata, ”Ya Allah, berikanlah aku rezeki dari kedermawanan-Mu!” Adapun yang satunya berkata, ”Ya Allah, berikanlah aku rezeki dari kedermawanan Ummu Ja‘far!” Meskipun keduanya berdoa kepada Allah agar memberikan rezeki, tetapi yang membedakan perkara keduanya adalah salah satunya masih menggantung rezekinya kepada manusia.
Pembantu Ummu Ja‘far mendengar ucapan mereka berdua, lalu dia pun memberitahukan kepada tuannya. Ummu Ja‘far pun mengirim uang sebanyak dua dirham kepada orang yang berdoa meminta kedermawanan Allah semata. Di samping itu, orang yang berdoa meminta kedermawanan Ummu Ja‘far mendapatkan ayam panggang yang di dalam perut ayam panggang tersebut terdapat uang sepuluh dinar.
Penerima ayam panggang itu tidak mengetahui bahwa di dalam perut ayam panggang yang dia terima terdapat uang sepuluh dinar. Maka, dia menjual ayam panggang tersebut kepada sahabatnya dengan harga dua dirham yang diterima sahabatnya dari Ummu Ja‘far. Kejadian ini berlangsung selama sepuluh hari berturut-turut.
Setelah berlalu sepuluh hari Ummu Ja‘far pun menemui keduanya dan dia pun berkata kepada orang yang berdoa kepada Allah agar diberi rezeki dari kedermawanannya, ”Bukankah kamu telah aku jadikan kaya berkat kedermawananku?” Orang tersebut bertanya, ”Dengan apa?”
Ummu Ja‘far berkata, ”Sepuluh dinar yang aku berikan kepadamu selama sepuluh hari berturut-turut.” Laki-laki itu berkata, ”Tidak, yang aku dapatkan darimu hanyalah ayam panggang dan aku menjualnya kepada temanku dengan harga dua dirham dari pemberianmu kepadanya.” Ummu Ja‘far berkata, ”Orang ini meminta rezeki dari kedermawanku, maka Allah pun menahan rezekinya. Adapun orang itu meminta rezeki dari kedermawanan Allah dan Allah pun memberinya serta mengkayakannya.” (Hamisah, Badr Abdul Hamid: 5-6)
Rezeki yang Memang Telah Terjamin
Dikisahkan bahwa kekasih Allah, Nabi Ibrahim a.s., suatu ketika kedatangan seorang tamu pada malam hari dan dia ingin bertamu ke rumahnya. Maka Nabi Ibrahim a.s. pun bertanya mengenai agama yang dianut orang tersebut. Orang tersebut menjawab bahwa agamanya adalah Majusi.
Nabi Ibrahim a.s. pun menolak orang tersebut bertamu ke rumahnya, lalu dia masuk ke dalam rumah, meninggalkan orang tersebut.
Tak berapa lama, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim berupa teguran atas sikapnya terhadap tamunya itu, ”Wahai Ibrahim, sungguh Aku telah memberikan orang yang kamu tolak itu berupa kelapangan rezeki di Makkah bertahun-tahun lamanya. Aku memberinya makan, minum, dan pakaian walaupun dia kafir (tidak beriman) kepada-Ku. Lantas, mengapa kamu menolak menjamunya. Bahkan, kamu pun ingin merubah agamanya?”
Menyadari kekeliruan yang dilakukannya, Nabi Ibrahim pun segera menyusul orang yang tadi ingin bertamu ke rumahnya. Dia pun menceritakan apa yang baru saja menimpanya kepada orang tersebut. Orang tersebut pun berkata, ”Sebaik-baik Rabb (Tuhan) adalah Rabb yang menegur kekasih-Nya atas kekeliruan yang dilakukan terhadap musuh-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi secara benar melainkan Allah dan Nabi Ibrahim adalah utusan Allah.” (Tafsir Sya‘rawi 22/2036)
Dikisahkan bahwasanya Hatim al-Asham adalah seseorang yang memiliki anak yang banyak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Dia sering tidak memiliki makanan walaupun hanya sebutir gandum, tetapi dia selalu bertawakal kepada Allah. Suatu malam dia duduk bercengkrama bersama para sahabatnya. Di dalam pembicaraan tersebut, terlontar pembahasan seputar penunaian haji ke Tanah Suci Makkah al-Mukarramah, maka terbesit pula pada hatinya kerinduan untuk menunaikan haji.
Saat pulang, dia pun berkumpul bersama istri dan anak-anaknya. Dalam kesempatan itu, dia bertanya kepada mereka, ”Apakah kalian berkenan untuk mengizinkanku, ayah kalian, untuk pergi haji ke Baitullah pada tahun ini. Harapannya di Baitullah aku mampu berdoa agar Allah SWT mengabulkan segala hajat kita. Itu jika kalian mengizinkan?”
Mendengar ucapan Hatim, istri dan anak-anaknya pun berkata, ”Apakah ayah ingin menunaikan haji dalam kondisi seperti ini, di mana ayah tidak memiliki sesuatu pun dan ayah pun tahu keadaan kita sangat kekurangan?”
Adapun, anak perempuannya yang paling kecil menanggapi apa yang diresahkan ibu, saudara, dan saudarinya, ”Ada apa dengan kalian? Ayah hanya meminta izin kepada kalian? Sesungguhnya, permohonannya tidak akan memberatkan kalian. Ayah mampu pergi ke mana pun ayah mau. Sebab, sesungguhnya ayah adalah perantara rezeki kalian bukan pemberi rezeki kalian.”
Mereka pun tersadar, lalu berkata, ”Demi Allah, kamu benar, wahai adik kecilku. Wahai ayah, berangkatlah kapan pun ayah mau! Maka, Hatim pun berangkat ke Baitullah untuk menunaikan haji. Setelah Hatim berangkat, para tetangga mereka pun mendatangi rumah Hatim, mencela istri dan anak-anaknya, seraya berkata, ”Bagaimana kalian bisa mengizinkannya menunaikan haji?”
Anak-anak Hatim merasa risi atas celaan orang terhadap mereka sehingga mereka pun menyalahkan si gadis kecil seraya berkata, ”Seandainya si kecil itu diam, maka kita pun tidak mengatakan apapun kepada ayah kita bahkan mengizinkannya.”
Mendengar ucapan saudara dan saudarinya, dia lantas mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ”Ya Allah, Tuhan dan Pelindungku, tunjukanlah kedermawanan-Mu pada mereka (keluargaku). Janganlah Engkau menyia-nyiakan dan membuat mereka kecewa serta janganlah Engkau mempermalukanku di hadapan mereka.”
Maka, tatkala mereka dalam keadaan demikian, pemimpin negeri mereka keluar dari tempat kediamannya untuk berburu. Tiba-tiba, raja tersebut terpisah dengan para pengawal dan para sahabatnya. Rasa haus yang sangat pun mendera dirinya. Saat dia melewati rumah seorang yang shalih, Hatim al-Asham, dia pun meminta minum kepada keluarga Hatim.
Dia pun mengetuk pintu rumah, maka keluarga Hatim bertanya, ”Siapakah Anda?” Dia menjawab, ”Aku pemimpin kalian, ada di depan pintu kalian, memohon agar kalian sudi memberinya minum.”
Mendengar jawaban tersebut, maka istri Hatim pun menengadahkan kepalanya ke langit seraya berdoa, ”Ya Allah, Rabb dan Tuhanku, Mahasuci Engkau. Tadi malam kami tidur dalam keadaan lapar sedangkan pada hari ini, pemimpin negeri kami berdiri di depan pintu rumah kami meminta agar kami memberinya minum.”
Kemudian dia pun mengambil kendi dan mengisinya dengan air. Kemudian dia berkata kepada sang raja, ”Maafkan kami, hanya ini yang bisa kami suguhkan!” Sang raja pun mengambil kendi tersebut lalu meminum air darinya. Dia merasakan bahwa air yang diminumnya itu sangat segar, hingga dia pun berujar, ”Rupanya rumah ini adalah rumah seorang raja.”
Orang-orang yang ikut bersamanya berkata, ”Demi Allah, bukan wahai raja. Rumah ini adalah rumah salah seorang hamba Allah yang shalih. Dikenal dengan nama Hatim Al-Asham.”
Sang raja pun kembali berkata, ”Aku pernah mendengar cerita mengenai dirinya.”
Sang menteri pun berkata, ”Wahai tuan, aku mendapat kabar bahwa tadi malam, Hatim berangkat menunaikan haji ke Baitullah. Dia tidak meninggalkan sesuatu pun untuk keluarganya. Dan aku mendapat kabar pula bahwasanya keluarga Hatim tidur tadi malam dalam kondisi kelaparan.” Sang raja berkata, ”Begitu pula kita pada hari ini, kita menambah beban mereka. Bukan merupakan sikap bijak, jika orang seperti kita membebani mereka.”
Kemudian sang raja pun melepaskan sabuk pelana dari kudanya dan menaruhnya di depan rumah Hatim. Lalu dia pun berkata kepada kawan-kawannya, ”Siapa saja yang sependapat dengan saya, maka hendaklah dia melepaskan sabuk pelana kudanya.” Maka, semua sahabatnya melepaskan sabuk pelana kuda-kuda mereka dan menaruhnya di depan rumah Hatim. Kemudian mereka pun meninggalkan rumah Hatim. Sang mentri berkata kepada keluarga Hatim, ”Assalamu‘alaikum wahai pemilik rumah, tidak lama kami akan kembali lagi membawa uang seharga sabuk-sabuk pelana yang kami tinggal ini.”
Saat sang raja tiba di kediamannya, maka dia pun mengutus sang menteri untuk kembali ke rumah Hatim dan memberikan uang seharga sabuk-sabuk pelana yang ditinggal di rumah Hatim. Mereka juga meminta kepada keluarga Hatim agar sabuk-sabuk pelana itu dikembalikan.
Saat anak perempuan Hatim yang paling kecil melihat kejadian itu, dia pun menangis dengan sekencang-kencangnya. Para saudaranya bertanya, ”Mengapa kamu menangis, wahai adikku? Bukankah kamu seharusnya senang karena Allah SWT telah melapangkan keadaan kita.”
Anak perempuan Hatim yang paling kecil pun berkata, ”Demi Allah, wahai saudara, saudari, dan ibuku, sesungguhnya tangisku ini tidak lain karena aku mengingat saat kita kelaparan tadi malam. Kemudian seorang makhluk merasa kasihan kepada kita, lalu dia pun menjadikan kita kaya setelah miskin. Bagaimana jika Yang Mahamulia, Sang Khaliq, Allah SWT memberikan kasih sayang-Nya kepada kita, niscaya kita tidak akan menyerahkan urusan kita kepada selain-Nya walau sekejap mata pun.” (al-Mustathrof 1/149 karya al-Ibsyihi)
Dikisahkan juga bahwa Ibrahim bin Adham rahimahullâh suatu hari duduk sembari meletakkan beberapa potongan daging panggang di hadapannya. Kemudian datanglah seekor kucing, mengambil potongan daging tersebut lalu kabur. Melihat kejadian itu, Ibrahim pun berdiri dan mengikuti kucing tersebut dari belakang dengan maksud memperhatikan apa yang dilakukan kucing tersebut.
Dia pun mendapati kucing tersebut meletakkan potongan daging di tempat yang sepi di depan sebuah lubang, lalu dia pun pergi dari tempat itu. Ibrahim bin Adham pun bertambah keheranan atas apa yang dilakukan oleh si kucing, sehingga dia pun terus memperhatikan lubang tersebut secara seksama.
Tiba-tiba keluarlah seekor ular yang matanya buta dari lubang dalam tanah lalu menarik potongan daging tersebut ke dalam lubang. Atas apa yang dilihatnya, Ibrahim bin Adham pun mengangkat kepalanya ke langit sambil berdoa, ”Ya Allah, Mahasuci Engkau yang telah menjadikan makhluk yang bermusuhan, memberikan rezeki satu sama lainnya.”
Hasan al-Bashari pernah ditanya, ”Apa rahasia kezuhudanmu terhadap dunia?” Dia pun menjawab, ”Aku mengetahui bahwa rezekiku tak akan diambil oleh orang lain, maka hatiku pun tenang. Aku pun mengetahui bahwa amalanku tidak.akan dikerjakan oleh orang lain, maka aku pun menyibukkan diri dengan amalan tersebut. Aku mengetahui bahwa Allah selalu mengawasiku, maka aku pun merasa malu jika aku menemui-Nya dalam keadaan bermaksiat. Dan Aku mengetahui bahwa kematian menungguku, maka aku pun mempersiapkan bekal untuk bertemu Allah.” (Hamisah, Badr Abdul Hamid: 7-8)
Rezeki Sudah Ditetapkan dan Ditentukan, Tak Perlu Risau
Sebagaimana kita ketahui bahwa rezeki tidak akan datang kecuali dari sisi Allah SWT semata. Oleh karena itu, rezeki sudah ditetapkan dan ditentukan jumlahnya sebelum manusia dilahirkan. Allah SWT berfirman,
”Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.” (QS ar-Ra‘d [13]: 26)
Allah SWT juga berfirman,
”Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali) ….” (QS ar-Rûm [30]: 40)
Diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim, dari hadits Abdullah bin Mas‘ud r.a., dia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda,
’Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Kemudian setelah itu jadilah dia segumpal darah dalam masa seperti itu pula (empat puluh hari). Kemudian setelah itu jadilah dia segumpal daging dalam masa seperti itu pula (empat puluh hari). Kemudian setelah itu (saat berumur 120 hari atau 4 bulan dalam kandungan), diutuslah malaikat, kemudian dia meniupkan ruh padanya. Lalu malaikat tersebut diperintahkan untuk menulis (takdirnya berkenaan dengan) rezekinya, ajalnya, dan amalnya. Begitu pula, dia diperintahkan untuk menulis takdirnya, apakah dia termasuk orang yang celaka atau bahagia.’“ (HR Bukhari dan Muslim)
Riwayat yang lain disebutkan, Jabir r.a. berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ’Seandainya anak Adam lari dari rezekinya sebagaimana dia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mendatanginya sebagaimana kematiannya akan mendatanginya.’” (HR Abu Nu‘aim dan Ibnu Asakir)
Sungguh Allah SWT telah memberitahukan perkara mengenai rezeki bahwa setiap makhluk hidup yang Dia ciptakan memiliki rezekinya sendiri-sendiri. Rezeki mereka sudah ditentukan sebelum mereka lahir ke dunia.
Maka dari itu, hendaklah mereka tidak risau dengan apa yang akan mereka makan esok hari karena yang menciptakan mereka adalah yang memberi rezeki mereka.
Sungguh, Allah SWT mencela orang-orang yang membunuh anak-anak mereka tanpa alasan yang dibenarkan kecuali karena takut. Anak-anak tersebut turut memakan makanan mereka sehingga rezeki mereka pun berkurang. Allah SWT berfirman,
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (QS al-Isrâ’ [17]: 31)
Allah SWT juga berfirman,
”Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS al-‘Ankabût [29]: 60)
Berkenaan dengan ayat di atas Imam Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya, ”Betapa banyak makhluk yang tidak mampu untuk mencari, mendapatkan, dan menyimpan sesuatu (untuk dimakan) untuk esok hari, maka Allahlah yang mengantarkan rezeki kepadanya karena kelemahannya dan memudahkannya dalam meraih rezekinya. Dia menyebarkan rezeki sesuai dengan kadar kebutuhan setiap makhluk, termasuk cacing di dalam tanah, burung di udara, dan ikan di air.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/292)
Sesungguhnya seseorang tidak akan mati sebelum sempurna rezekinya dan umur yang telah ditetapkan baginya. Dan sesungguhnya, manakala seorang hamba yakin bahwa ajal dan rezeki telah ditetapkan dan ditentukan, maka hatinya akan tenang. Sebab, kefakiran yang menimpanya dan bencana yang merenggut hartanya tidak akan membuatnya terasa sempit. Dan dia pun tidak akan menyibukkan dirinya dengan keduniaan yang dapat melupakannya dari amalan akhirat karena dia mengetahui bahwa setiap kali dia berusaha, bersungguh-sungguh, dan berkerja keras, maka dia sekali-sekali tidak akan mendapatkan apapun kecuali apa yang telah ditetapkan baginya.
Wahab bin Munabbaih berkata, ”Ada seorang ahli ibadah yang pernah menjalani hidup tidak memiliki apapun selama tujuh hari. Istrinya pun berkata, ’Mengapa kamu tidak keluar dan mencari sesuatu, lalu membawanya untuk kami.’ Maka, ahli ibadah itu pun keluar rumah dan bergabung bersama para kuli bayaran yang sedang menunggu orang yang mau memakai jasa tenaga mereka.
Pada hari itu, Allah SWT menahan rezeki sang ahli ibadah sehingga tidak ada seorang pun yang mau memberinya pekerjaan. Dia pun berkata, ’Demi Allah, pada hari ini aku benar-benar akan bekerja (beribadah) pada Rabbku.’ Maka, dia pun pergi ke tepi pantai lalu berwudhu. Dia tiada hentinya melaksanakan shalat sunnah hingga sore hari. Saat sore hari, ia pun pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, istrinya pun berkata, ’Apa yang kamu lakukan hari ini?’ Sang ahli ibadah menjawab, ’Sesungguhnya ustadzku telah menjanjikanku bahwa dia akan membayar upahku nanti sekaligus.’ Mendengar penyataan suaminya, sang istri merasa kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskannya. Pada malam itu, mereka sekeluarga tidur dalam kondisi kelaparan.
Keesokan harinya, dia pergi lagi ke pasar dan menawarkan jasa tenaganya. Akan tetapi, Allah masih menahan rezeki sang ahli ibadah sehingga tiada seorang pun yang mau memberinya pekerjaan. Dia pun berkata, ’Demi Allah, pada hari ini aku benar-benar akan bekerja (beribadah) pada Rabbku.’ Maka, dia pun pergi ke tepi pantai lalu berwudhu. Dia tiada hentinya melaksanakan shalat sunnah hingga sore hari. Saat akan pulang, dia pun berkata, ’Ke mana aku harus pergi? Padahal, aku telah meninggalkan keluargaku dalam keadaan lapar.’ Maka, dia pun pulang dalam keadaan menanggung beban yang sangat berat.
Saat dia berada di depan pintu rumahnya, dia mendengar suara tawa dan senang. Dia pun mencium bau asap dari masakan yang baru dipanggang. Dia pun memegang pelupuk matanya seraya berkata, ’Aku ini sedang tertidur atau dalam keadaan terjaga? Tadi pagi, aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan lapar. Saat ini, aku mencium bau asap dari masakan yang baru dipanggang. Dan aku pun mendengar tawa dan ekspresi senang.’ Maka, dia pun mendekati pintu rumahnya lalu mengetuk pintu. Istrinya pun keluar dalam keadaan tersenyum seraya berkata, ’Seorang utusan ustadzmu tadi datang memberikan uang beberapa dinar, pakaian, tepung, dan gandum. Dia berpesan, ’Jika suamimu pulang sampaikan salamku padanya dan katakanlah padanya, ’Sesungguhnya ustadzmu berkata, ’Aku telah melihat amalmu dan Aku telah meridhainya. Jika kamu menambah amalmu maka aku akan menambah upahmu.’” (Al-Muntazhim 1/179 karya Ibnul Jauzi)
Ada orang berkata kepada Abu Hazim r.a., ”Apa hartamu yang paling berharga?” Dia menjawab, ”Ada dua, yaitu Keridhaan Allah SWT dan (sikap) ketidakbutuhan kepada manusia.” Ada juga orang yang berkata kepadanya, ”Sesungguhnya kamu adalah orang yang benar-benar miskin.” Dia menjawab, ”Bagaimana aku miskin sedangkan Tuhanku memiliki segala apa yang ada di langit dan di bumi, serta apa yang ada di antara keduanya dan apa yang terkandung di dalamnya.”
Mauriq al-Ajaly berkata, ”Wahai anak adam! kamu didatangi oleh rezekimu setiap hari tetapi kamu masih saja bersedih. Adapun umurmu makin berkurang, kamu malah tidak bersedih. Kamu menuntut sesuatu yang berlebihan bagimu padahal kamu memiliki sesuatu yang mencukupimu.” (Hamisah, Badr Abdul Hamid hal 15)
Rezeki Bukan Hanya Harta Benda
Sebagian orang mengira bahwa rezeki hanya terbatas harta benda saja atau rezeki hanya sesuatu yang berkenaan dengan materi. Mereka lupa bahwa segala nikmat yang diberikan Allah merupakan rezeki. Kedua mata, yang dengannya seseorang melihat merupakan rezeki. Kedua telinga, yang dengannya seseorang mendengar merupakan rezeki. Lidah, yang dengannya seseorang berbicara merupakan rezeki. Hati, yang dengannya seseorang memiliki perasaan merupakan rezeki. Akal, yang dengannya seseorang berpikir adalah rezeki. Kedua tangan, yang dengannya seseorang makan merupakan rezeki. Kaki, yang dengannya seseorang berjalan merupakan rezeki.
Begitu juga istri yang shalihah atau suami yang shalih merupakan rezeki. Anak yang shalih merupakan rezeki. Kerabat yang selalu menyambung silaturahmi merupakan rezeki. Teman-teman yang shalih merupakan rezeki. Tetangga yang shalih merupakan rezeki. Tempat tinggal yang luas merupakan rezeki. Dan kendaraan yang nyaman merupakan rezeki. Adapun rezeki yang paling besar bagi kita sebagai hamba Allah adalah mendapatkan kenikmatan Islam dan iman.
Sungguh, di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah mengaitkan hubungan antara ibadah dan amal shalih, untuk menyadarkan kita bahwa setiap ibadah yang diterima adalah rezeki dan setiap amal shalih yang diganjar pahala adalah rezeki. Allah SWT berfirman, ”Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS Thâhâ [20]: 132)
Allah SWT juga berfirman,
”(Dengan mengutus) seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Allah kepadamu yang menerangkan (bermacam-macam hukum), agar Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dari kegelapan kepada cahaya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan mengerjakan kebajikan, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.” (QS ath-Thalâq [65]: 11)
Di dalam kamus Arab dikatakan bahwa rezeki bermakna ma yantafiu bihi, yaitu apa-apa yang bisa diambil manfaatnya (bermanfaat). Jadi, rezeki sejatinya adalah segala hal yang bermanfaat dan menyenangkan penerimanya.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Ibnu as-Samak menemui Khalifah Harun ar-Rasyid. Saat itu, Khalifah Harun ar-Rasyid meminta agar dibawakan segelas air. Saat dia ingin meminumnya, Ibnu as-Samak berkata, ”Tunggu sebentar, wahai Amirul Mukminin. Seandainya kamu dilarang untuk meminum segelas air ini, maka dengan harga berapa kamu akan membayar agar kamu bisa meminumnya?” Dia menjawab, ”Aku akan membayarnya dengan setengah kerajaanku.”
Ibnu as-Samak berkata, ”Minumlah semoga Allah menghilangkan dahagamu.” Setelah Harun ar-Rasyid meminumnya, Ibnu as-Samak berkata, ”Aku ingin bertanya kepadamu, seandainya kamu tidak bisa mengeluarkan air yang kamu minum dari badanmu, maka dengan harga berapa kamu akan membayarnya?” Dia menjawab, ”Aku akan membayarnya dengan seluruh kerajaanku.” Ibnu As-Samak berkata, ”Sesungguhnya kerajaan yang dengannya rela kamu berikan semata-mata agar kamu bisa minum dan buang air kecil, sudah sepatutnya kerajaan tersebut tidak kamu banggakan.” Maka Harun ar-Rasyid pun menangis dengan keras.
Seseorang datang menemui Yunus bin ‘Ubaid rahimahullâh, lalu dia pun mengadu kepada Yunus mengenai duka citanya dan kesulitan penghidupannya. Mendengar keluh kesah orang tersebut, Yunus bin ‘Ubaid pun bertanya, ”Apakah kamu mau menukar penglihatanmu dengan seratus ribu dinar?” Dia menjawab, ”Tidak!” Yunus bin ‘Ubaid kembali bertanya, ”Apakah kamu mau menukar uang tersebut dengan pendengaranmu?” Dia menjawab, ”Tidak!” Yunus bin ‘Ubaid kembali bertanya, ”Apakah kamu mau menukar uang tersebut dengan lisanmu?” Dia menjawab, ”Tidak!” Yunus kembali bertanya, ”Apakah kamu mau menukar uang tersebut dengan akalmu?” Dia menjawab, ”Tidak!” Kemudian Yunus bin ‘Ubaid pun mengingatkan atas berbagai kenikmatan yang telah Allah berikan atasnya. Setelah itu, Yunus bin ‘Ubaid pun berkata, ”Aku melihat bahwa kamu memiliki beratus-ratus ribu dinar, tetapi mengapa kamu masih mengeluh perihal kebutuhanmu?” (al-Asbahani, Abu Nu‘aim: 22)
Rezeki Hanya Bisa Diraih Bila Kita Taat kepada-Nya
Sesungguhnya rezeki akan berkah dengan ketaatan dan akan musnah serta hilang keberkahannya disebabkan kemaksiatan, walaupun secara zhahir terlihat memiliki banyak harta. Ketahuilah, sesungguhnya apa-apa yang ada di sisi Allah SWT tidak akan dapat diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya,
”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rûm [30]: 41)
Sebagaimana ketakwaan terhadap Allah dapat mendatangkan rezeki, maka menjauhi ketakwaan dapat menyebabkan kefakiran. Dan tidak ada amalan yang dapat menandingi ketakwaaan (meninggalkan kemaksiatan) dalam hal mendatangkan rezeki. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman, ”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-A‘râf [7]: 96)
Dan sesungguhnya Allah SWT memberikan beberapa permisalan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya, ”Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112)
Merupakan kebijaksanaan Allah SWT adalah Dia melapangkan rezeki kepada sebagian hamba-Nya dan juga menyempitkan rezeki sebagian hambanya agar mereka dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga bahwa jika di dalam kehidupan di dunia manusia berbeda-beda kedudukannya maka di akhirat pun kedudukan mereka akan berbeda-beda pula. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia berbeda-beda kedudukan di dalam kehidupan dunia sehingga ada yang tinggal di dalam istana yang megah, memiliki kendaraan yang mewah lagi mahal, bergelimangan harta, serta keluarganya dalam keadaan kecukupan dan kemapanan. Maka, sebagian manusia ada yang kedudukannya sebaliknya. Mereka tidak memiliki rumah, keluarga, harta, dan anak. Dan sesungguhnya kedudukan di akhirat lebih agung, besar, mulia, dan kekal.
Allah SWT berfirman,
”Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Dan kehidupan akhirat lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaan.” (QS al-Isrâ’ [17]: 21)
Dengan demikian, jika kedudukan dan keutamaan di akhirat lebih besar maka sudah sepatutnya kita saling berlomba-lomba agar dapat meraih kedudukan tinggi di akhirat. Dan sesungguhnya kehidupan akhirat yang kekal itu lebih baik.
Allah SWT berfirman, ”Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki, sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah ?” (QS an-Nahl [16]: 71)
Allah SWT juga berfirman, ”Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki); sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS al-Isrâ’ [17]: 30)
Adapun firman-Nya dalam Surah asy-Syûrâ Ayat 27 juga disebutkan, ”Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS asy-Syûrâ [42]: 27)
Sebagian manusia menjadikan lambatnya kedatangan rezeki yang diharapkan sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang diharamkan atau usaha mereka terdapat suatu kemaksiatan kepada Allah sebagai upaya mempercepat kedatangan rezeki yang diharapkan. Mereka lupa bahwa apa yang ada di sisi Allah (rezeki) tidak akan dapat diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda,
’Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Raihlah rezeki dengan cara yang baik. Sebab, sesungguhnya setiap jiwa tidak akan mati sehingga sempurna rezekinya. Jika dia (merasa) rezekinya datang kepadanya lambat maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan hendaknya dia meraih rezeki dengan cara yang baik. Ambilah segala apa yang dihalalkan dan tinggalkanlah segala apa yang diharamkan!’” (HR Ibnu Majah)
Di samping itu, Ibnu Mas‘ud meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak ada suatu amalan apapun yang dapat mendekatkan seseorang kepada surga kecuali sudah aku telah memerintahkan kalian untuk melakukannya. Dan tidak ada suatu amalan apapun yang dapat mendekatkan kalian kepada neraka kecuali aku telah melarang kalian untuk mengerjakannya. Maka dari itu, jangan sekali-kali seseorang dari kalian menganggap rezekinya datang terlambat. Sebab Malaikat Jibril telah membisikku bahwa seseorang di antara kalian tidak akan mati, sampai sempurna rezekinya. Maka dari itu, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Dan sesungguhnya, jika seseorang dari kalian mengganggap rezekinya datang terlambat maka janganlah kalian meraihnya dengan bermaksiat kepada Allah. Sebab, sesungguhnya karunia Allah tidak akan dapat diraih dengan bermaksiat kepada-Nya.” (HR al-Hakim)
Lapangnya rezeki bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi lapangnya rezeki adalah dengan keberkahan yang terdapat di dalamnya. Dan barang siapa yang berupaya mempercepat datang rezekinya dengan melakukan hal-hal yang diharamkan, maka Allah tidak akan memberinya rezeki yang halal.
Dikisahkan bahwa seorang wanita mendatangi Nabi Dawud a.s. seraya bertanya, ”Wahai Nabi Allah, apakah Rabb zalim atau adil?” Nabi Dawud a.s. menjawab, ”Celaka kamu, wahai wanita! Sesungguhnya Dia Maha Adil dan tidak berlaku zalim sedikit pun.” Kemudian Nabi Dawud a.s. bertanya kepadanya, ”Mengapa kamu bertanya demikian, apakah ada yang terjadi terhadap dirimu?”
Perempuan itu pun bercerita, ”Aku adalah seorang janda yang memiliki tiga putri. Untuk mencukupi kebutuhan mereka, aku menenun kain dengan tanganku. Pada waktu sore, aku menyimpan tenunanku di dalam kain merah, lalu aku berangkat menuju pasar untuk menjual tenunanku. Aku berharap hasil penjualan tenunanku dapat kugunakan untuk membesarkan anak-anakku. Tiba-tiba ada seekor burung menukik di atas kepalaku dan mengambil kain serbet merah yang ada di tanganku, lalu dia pun terbang. Sejak kejadian itu, aku merasa sangat sedih dan aku tidak memiliki sesuatu pun untuk membesarkan anak-anakku.”
Di saat perempuan tersebut bercerita kepada Nabi Dawud a.s., tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah Nabi Dawud. Nabi Dawud a.s. pun mempersilakan masuk. Ternyata ada sepuluh orang pedagang. Setiap orang dari mereka membawa seratus dinar. Mereka berkata, ”Wahai Nabi Allah, berikanlah uang ini kepada orang yang berhak menerimanya.” Nabi Dawud bertanya kepada mereka, ”Apa yang menyebabkan kalian menyedekahkan uang ini?” Mereka menjawab, ”Wahai Nabi Allah, ketika kami sedang berada di atas bahtera, tiba-tiba ada badai yang sangat besar menerpa bahtera kami hingga kami pun hampir tenggelam. Tiba-tiba ada seekor burung melemparkan tas kain berwarna merah yang di dalamnya terdapat tenunan. Maka, kami pun menutup bagian kapal yang retak.
Tiba-tiba angin pun kembali tenang dan bagian kapal yang retak dapat tertutup. Atas kejadian itu, maka setiap orang dari kami pun bernadzar untuk menyedekahkan seratus dinar. Terimalah semua harta yang ada dihadapanmu dan sedekahkanlah kepada siapapun yang kamu inginkan.” Nabi Dawud pun menoleh ke arah perempuan yang lebih dulu datang menemuinya. Lalu berkata kepadanya, ”Allah SWT telah bertransaksi bisnis denganmu baik di darat maupun di lautan, tetapi kamu malah menuduh-Nya berlaku zalim.” Setelah itu, Nabi Dawud menyerahkan seribu dinar kepadanya seraya berkata, ”Gunakanlah untuk membesarkan anak-anakmu.”
Terkadang, Allah SWT melapangkan rezeki kepada mereka yang melupakan dan jauh dari-Nya. Dan terkadang Dia menyempitkan rezeki kepada mereka yang selalu ingat dan dekat kepada-Nya. Perlu diketahui, sesungguhnya Allah SWT melapangkan rezeki kepada para pelaku kemaksiatan tidak lain adalah istidraj (fitnah yang akan menghancurkan) bagi mereka.
Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir, dari Nabi saw., beliau bersabda, ”Jika kamu melihat seorang hamba diberi oleh Allah suatu keduniaan yang disenanginya akibat kemaksiatan yang dilakukannya, ketahuilah sesungguhnya itu adalah istidraj. Kemudian Rasulullah saw. membaca Surah al-An‘âm Ayat 44 yang artinya, ’Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.’” (HR Ahmad)
Demikian pembahasan kita tentang rezeki, semoga membuka wawasan kita tentang bagaimana seharusnya bersikap mengenai keimanan, rezeki, dan segala ketentuan-Nya tentang diri kita.
Tak Perlu Khawatir Soal Rezeki
Di saat kita begitu dekat dengan-Nya, segala curahan rahmat dan barakah-Nya akan mengguyuri hari-hari. Kasih sayang-Nya akan benar-benar kita rasa tak bertepi. Rasa ketergantungan yang begitu besar akan segera kita berikan untuk-Nya. Hanya Allah sajalah tempat kita menghaturkan segala apa yang menjadi lara. Tempat kita butuh segala curahan kasih sayangnya. Tak peduli tempat, kondisi, ataupun situasi. Semua adalah episode-episode kedekatan dengan-Nya.
Dan jika Dia sudah memberi, takkan ada yang bisa menghalangi. Jika kita sudah dekat, maka ketenangan hidup menghampiri. Maka dalam kitab Mafatih Al-Ghaib, Syaikh Ar-Razi menceritakan kisah yang pernah disaksikan oleh Dzun Nun Al-Mishri ini, bisa menjadi inspirasinya.
“Suatu hari,” Dzun Nun memulai kisahnya, “aku merasa tidak enak di dalam rumah. Aku segera keluar. Lalu aku ikuti langkahku yang tidak pasti. Sampai kemudian aku tiba di tepi sungai Nil. Di sana tiba-tiba aku melihat seekor kalajengking yang cukup besar. Merangkak perlahan menuju sungai Nil. Aku ikuti arah jalannya. Dan ternyata di tepi sungai itu sudah ada seekor kodok yang seakan sedang menunggunya. Kalajengking itu langsung melompat ke atas punggung kodok tersebut. Kodok segera berang, berenang menggendong si kalajengking ke tepi sungai Nil yang lain. Aku segera mengikutinya dengan menaiki sebuah perahu kecil. Di sana aku menyaksikan kejadian yang sungguh mengagumkan. Aku melihat seorang anak muda yang sedang tidur di bawah rindangnya sebuah pohon. Di sampingnya ada seekor ular yang hendak menyerangnya. Namun, kemudian kalajengking itu melompat ke ular tersebut. Lalu, terjadilah pertarungan yang seru antara kedua makhluk itu, sampai keduanya sama-sama mati. Dan si anak muda tetap tidur nyenyak. Mahasuci Allah yang telah mengutus seekor kalajengking dan seekor kodok untuk menyelamatkan seorang hamba-Nya yang sedang tertidur nyenyak itu.”
Lalu, bagaimana mengemas ketenangan tersebut, agar menjadi ketergantungan yang tinggi dalam hidup kita kepada-Nya? Ada beberapa hal yang kita bisa mulai untuk meneguhkan jiwa. Dengan menyeksamai ayat-ayat ini. Agar ketenangan-ketenangan hidup menghampiri di hari-hari, membersamai di waktu-waktu, dan mendekapi di tiap masanya. Dan izinkan riwayat dari Amir bin Abdul Qais ini memberikan penjelasannya.
“Ada empat tanda dari kitabullah, jika aku membacanya, maka aku tidak peduli lagi apa yang terjadi padaku di waktu pagi atau sore. Pertama, firman Allah dalam surat Fathir ayat dua yang artinya, ‘Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup melepaskannya setelah itu ….’ Kedua, firman Allah dalam surat Al-An‘am ayat tujuh belas, ‘Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan padamu, maka Dia Mahakuasa atas Segala Sesuatu.’ Ketiga, firman Allah dalam surah At-Thalaq ayat tujuh, ‘Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.’ Dan keempat, firman Allah dalam surah Hud ayat enam, ‘Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi, melainkan semuanya dijamin Allah rejekinya ….’
Bergeraklah, Jemput Rezeki Hebatmu!
Bekerja dan mencari nafkah yang halal adalah sunnah. Para ulama pewaris Nabi banyak di antaranya adalah pengusaha sukses. Sebut saja Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah Al-Mubarak, Al-Junaid Al-Bahgdadi, Said Bin Al-Musayyib, Abu Hanifah, Laits Bin Sa’d dan lain-lain.
Mereka adalah orang-orang yang pandai bagaimana memanfaatkan kekayaan mereka. Dengan kekayaan yang ada di tangan mereka, membantu para ahli ilmu yang kekurangan, memberi makan fakir miskin, bersedekah untuk jihad dan tidak tunduk di bawah kezhaliman penguasa saat itu.
Merekalah para ulama yang memiliki harga diri, sehingga umat mencintainya lebih dari kecintaannya kepada penguasa saat itu. Sehingga, kata-kata mereka di dengar dan diikuti. Para ulama itu hanya bergantung kepada Ar-Razaq! Sang Maha Pemberi Rezeki, bukan para penguasa.
Sudah saatnya kita meniru jejak kesuksesan para ulama dahulu. Sukses dunia dan sukses akhirat. Tidakkah kita ingin mengamalkan sunnah ini. Sunnah yang begitu jelas, indah, dan kemuliannya terpancar hingga ke negeri akhirat.
Sungguh Allah tidak melihat betapa kasarnya pekerjaan kita. Tetapi ketaqwaanlah yang di nilai. Harga diri kita sebagai muslim. Dan hal itulah yang membedakan kita dari para peminta-minta.
Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa setiap muslim harus bekerja meskipun hasil pekerjaannya belum dapat dimanfaatkan olehnya, keluarganya atau oleh masyarakat. Juga meskipun tidak satupun dari makhluk Allah, termasuk hewan, dalam memanfaatkannya. Ia tetap wajib bekerja karena bekerja merupakan satu bentuk syukur kepada Allah dan salah satu cara mendekatkan diri kepada-Nya.
Sebagaimana kata Aidh Al-Qarni, ‘‘Rezeki burung itu tidak datang dengan sendirinya ketika ia diam di dalam sarang. Mangsa singa juga tidak akan datang dengan sendirinya saat dia berada di dalam sarang. Makanan semut tidak akan datang dengan sendirinya pada saat ia berada di dalam lubang. Semuanya memang harus berusaha dan mencari. Karena itu, berusahalah sebagaimana mereka, niscaya Anda akan mendapatkan seperti mereka!”
Setelah hidup mandiri. Setelah ada harta-harta halal yang kita punya. Mesti kita apakan harta tersebut?
Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat Nabi juga telah mempraktikkan tentang bagaimana menggunakan kekayaanya.
Beliau seorang pengusaha yang sukses, tetapi dia memandang kekayaannya hanyalah sebagai fasilitas untuk beramal shalih. Abdurrahman telah mensedekahkan separuh harta miliknya sebanyak 40.000 dinar pada Rasulullah, kemudian mensedekahkan lagi hartanya sebanyak 40.000 dinar, dan kembali bersedekah sebanyak 40.000 dinar. Semuanya itu berlangsung dalam jangka waktu yang berdekatan. Lalu, beliau menanggung 500 kuda untuk kepentingan jihad, dan setelah itu kembali menanggung 1.500 unta untuk kepentingan jihad. Sebagian besar harta milik Abdurrahman tersebut adalah yang dia peroleh murni dari hasil berbisnis. Subhanallah.
Semua itu dilakukan tidak lain karena tidak menjadikan kekayaan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai, melainkan hanya menggunakan kekayaan yang dimiliki untuk meraih janji Rabbnya dengan mendapatkan ganjaran yang luar biasa.
‘‘Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (At-Taubah: 111)
Said Nursi, ulama dari Turki, mengomentari ayat tersebut dan berkata, ‘‘Seandainya saya memiliki seribu nyawa, dengan senang hati saya akan mengorbankan semuanya demi kejayaan Islam. Bagaimana tidak? Karena sesungguhnya saya kini sedang menunggu di alam Barzakh (alam antara kematian dan kebangkitan), kereta yang akan membawa saya ke akhirat. Saya sudah ikhlas dan siap melakukan perjalanan ke dunia lain untuk bergabung bersama di tiang gantungan. Saya ingin sekali dan sudah tidak sabar untuk melihat akhirat. Cobalah Anda bayangkan keadaan pikiran seorang anak kampung dari sebuah dusun yang seumur hidupnya belum pernah melihat sebuah kota besar dengan berbagai kesenangan, kemewahan dan kemegahan. Maka, Anda akan tahu bagaimana ketidaksabaran saya untuk mencapai hari akhir itu.”
Berbisnis yang Diridhai oleh Allah
Seorang perempuan datang menemui Abu Hanifah. Ia ingin menjual kainnya. Sebagaimana sejarah mencatat, Abu Hanifah merupakan seorang ulama generasi tabi‘in yang susah dibedakan apakah dia ulama yang saudagar atau saudagar yang ulama.
‘‘Berapa kamu jual kain ini? tanya Abu Hanifah.
”Seratus dirham,” jawab perempuan itu.
Ternyata, usut punya usut, kain tersebut sangat bagus, bermutu, dan mahal. Namun, perempuan tersebut tidak tahu harga kain itu sebenarnya. Entah dari mana dulunya ia memperoleh kain itu. Ia lupa. Adapun Abu Hanifah seorang saudagar yang begitu menguasai dunia pasar, langsung mengetahui kualitas kain tersebut. Namun, hal itu tak menjadikan sang imam punya niat buruk untuk memanfaatkan kesempatan apalagi berlaku curang.
‘‘Harga kainmu ini jauh lebih mahal daripada seratus dirham. Coba kamu tawarkan dengan harga yang lebih tinggi,” ujar Abu Hanifah.
‘‘Bagaimana kalau dua ratus dirham?” tanpa perempuan itu.
‘‘Kainmu masih lebih bagus daripada dua ratus dirham,” sahut Abu Hanifah.
‘Tiga ratus dirham.” Jawab perempuan itu.
‘‘Kainmu masih lebih mahal dari harga itu.”
‘‘Kalau begitu belilah dengan harga empat ratus dirham.”
‘‘Kainmu sebenarnya masih lebih mahal dari empat ratus dirham, tapi aku akan membelinya dengan harga itu!” kata Abu Hanifah.
Transaksi pun berlangsung. Keduanya pun sepakat dengan harga itu.
Kini dialog tersebut sepertinya tak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Mungkin hanya akan kita dapatkan pada dunia cerita. Kini, sepertinya sangat mustahil ada seorang pedagang yang menawar harga barang melebihi harga yang diinginkan penjual, kini, tak mungkin kita temukan pedagang minta agar harga belinya dinaikkan. Namun tidak demikian dengan Abu Hanifah di atas. Kisah yang diriwayatkan oleh Al-Maqdisi ini memang betul-betul terjadi dan ada!
Selain jiwa suci dan kejujuran, banyak petikan hikmah yang bisa kita tuai dari sosok Abu Hanifah di atas. Tokoh tabi‘in yang hanya sempat bertemu dengan tujuh sahabat Nabi ini merupakan ulama peletak dasar mazhab Hanafi. Selain dikenal sebagai ulama, ia juga adalah seorang saudagar sukses.
Dunia bisnis adalah dunia yang memerlukan keimanan super tebal. Akan ada banyak kecurangan yang melintas di hadapan kita. Akan tetapi, selama kita tahu, bahwa bisnis hanyalah sarana dan bukan tujuan, kita akan sadar bahwa mencontoh Abu Hanifah di atas adalah tepat. Ridha-Nya adalah terpenting, agar setiap hasil yang kita peroleh berbalurkan keberkahan dan mendekatkan diri pada jannah-Nya.
Baca juga: Belajar Copywriting Terlengkap di Indonesia
Bangkitkan Jiwa Kemandirianmu
Allah telah menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggal sekaligus untuk mendapatkan mata pencaharian.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah sekali-kali seseorang makan suatu makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut berbicara tentang kemandirian. Mencari harta yang halal adalah ibadah dan dapat mendatangkan ampunan dosa. Dalam sebuah atsar di sebutkan, dari Abi Mansur Ad-Dailami, “Ibadah itu di bagi menjadi sepuluh bagian. Sembilan bagian berada dalam mencari rezeki yang halal.” Dan Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang sore hari merasa payah karena mencari harta yang halal maka malam hari ia akan di ampuni dosanya dan pada pagi harinya ia di ridhai oleh Allah SWT.” (HR. Thabrani)
Mencari nafkah untuk keluarga dan bersusah payah karena mencari maisyah mampu menghapus dosa-dosa yang tidak bisa dihapus oleh shalat, puasa, bahkan haji sekalipun. “Satu dinar yang dinafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang dinafkahkan untuk memerdekakan hamba sahaya. Satu dinar yang disedekahkan dan satu dinar yang dinafkahkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang dinafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Abu Hurairah)
“Wahai ahli qira’ah. Berlombalah dalam kebaikan, dan carilah karunia dari rezeki Allah. Janganlah kalian menjadi beban hidup orang lain.” kata Umar bin Khathab suatu kali.
Begitulah indahnya Islam. Ia juga menata sisi ekonomi pelakunya. Karena memang, hal tersebut mampu menjaga pelakunya dari meminta-minta tanpa harga diri sedikitpun. Mengiba mengharap pemberian, menggerutu pun datang saat pemberian tak sesuai harapan.
Sufyan Ats-Tsauri adalah salah seorang tabi’in yang kaya raya. Suatu hari, sambil menunjuk ke arah harta kekayaannya itu, ia berkata kepada anaknya, ‘‘Kalau bukan karena ini (seraya menunjuk hartanya), tentu kita akan dihina oleh mereka (Bani Umayyah).”
Ketika membaca Shaidul Khatir karya Imam Ibnul Jauzi kita akan mendapatkan bahwa Ibnul Jauzi telah membuat perbandingan antara ulama yang mendapatkan uangnya dari penguasa dan ulama yang mendapatkan uang dari hasil usahayanya sendiri. Ternyata keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terutama dalam derajat keshalihan dan keilmuan. Ulama yang kedua lebih shalih, lebih takwa, dan memiliki ilmu yang tinggi dibanding ulama pertama. Hal ini terjadi karena ulama yang kedua tidak ingin terikat dengan penguasa yang pada umumnya buruk pelakunya. Mereka juga tidak ingin menjilat penguasa itu sehingga akan runtuhlah kemuliaan diri mereka. Mereka hanya menggantungkan harapan mereka kepada Allah saja. Sedangkan ulama yang pertama, sedikit banyak tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari pengaruh para penguasa.
Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga adalah pebisnis yang andal. Rasulullah sendiri adalah pengusaha sukses. Sejak kecil beliau terbiasa hidup mandiri. Ketika remaja ikut perdagangan menuju Syam yang notabenenya adalah perdagangan internasional. Sewaktu menikah dengan Khadijah saja beliau memberikan seratus ekor unta merah sebagai mahar.
“Tidaklah sekali-kali seseorang makan suatu makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut berbicara tentang kemandirian. Mencari harta yang halal adalah ibadah dan dapat mendatangkan ampunan dosa. Dalam sebuah atsar di sebutkan, dari Abi Mansur Ad-Dailami, “Ibadah itu di bagi menjadi sepuluh bagian. Sembilan bagian berada dalam mencari rezeki yang halal.” Dan Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang sore hari merasa payah karena mencari harta yang halal maka malam hari ia akan di ampuni dosanya dan pada pagi harinya ia di ridhai oleh Allah.” (HR. Thabrani)
Bekerja untuk mendapatkan uang demi membayar utang adalah wajib ain. Rasulullah bersabda, “Hutang itu harus dibayar. Lewat kerja, hal itu bisa di selesaikan.”
Bekerja dengan tujuan memberi nafkah untuk anak, istri dan keluarga adalah fardhu ain. “Cukup besar dosa seseorang bila menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya,” kata Rasulullah. Mencari nafkah yang halal merupakan jalan menuju rahmat Allah. Rasulullah bersabda, “Allah akan melimpahkan rahmat pada seseorang yang bekerja mencari nafkah yang baik dan halal.”
“Wahai ahli qira’ah. Berlombalah dalam kebaikan, dan carilah karunia dari rezeki Allah. Janganlah kalian menjadi beban hidup orang lain.” kata Umar bin Khattab suatu kali.
Begitulah indahnya Islam. Ia juga menata sisi ekonomi pelakunya. Karena memang, hal tersebut mampu menjaga pelakunya dari meminta-minta tanpa harga diri sedikitpun. Mengiba mengharap pemberian, menggerutu pun datang saat pemberian tak sesuai harapan. Maka, nilai kelelahan, nilai kepenatan, nilai sedikit lagi dalam kefuturan. Sungguh, ia berbuah manis yang tumbuhnya mewangi. Lihatlah bagaimana Rasulullah memuji, “Sesungguhnya Allah senang melihat hamba-Nya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” Karena di sana mengurai indah tentang nilai harga diri. Sebagai seorang muslim tentunya.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!
