Sufyan Ats-Tsauri adalah salah seorang tabi’in yang kaya raya. Suatu hari, sambil menunjuk ke arah harta kekayaannya itu, ia berkata kepada anaknya, ‘‘Kalau bukan karena ini (seraya menunjuk hartanya, tentu kita akan dihina oleh mereka (Bani Umayyah).”
Ketika membaca Shaidul Khatir karya Imam Ibnul Jauzy kita akan mendapatkan bahwa Ibnul Jauzi telah membuat perbandingan antara ulama yang mendapatkan uangnya dari penguasa dan ulama yang mendapatkan uang dari hasil usahayanya sendiri. Ternyata keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok, terutama dalam derajat keshalihan dan keilmuan.
Ulama yang kedua lebih shalih, lebih takwa, dan memiliki ilmu yang tinggi dibanding ulama pertama. Hal ini terjadi karena ulama yang kedua tidak ingin terikat dengan penguasa yang pada umumnya buruk pelakunya. Mereka juga tidak ingin menjilat penguasa itu sehingga akan runtuhlah kemuliaan diri mereka. Mereka hanya menggantungkan harapan mereka kepada Allah saja. Sedangkan ulama yang pertama, sedikit banyak tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari pengaruh para penguasa.
Baca juga: Penulis Biografi Terbaik di Indonesia
Sembilan dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga adalah pebisnis yang handal. Rasulullah sendiri adalah pengusaha sukses. Sejak kecil beliau terbiasa hidup mandiri. Ketika remaja ikut perdagangan menuju Syam yang notabenenya adalah perdagangan internasional. Sewaktu menikah dengan Khadijah saja beliau memberikan seratus ekor unta merah sebagai mahar.
Bekerja dan mencari nafkah yang halal adalah sunnah. Para ulama pewaris Nabi banyak di antaranya adalah pengusaha sukses. Sebut saja Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah Al-Mubarak, Al-Junaid Al-Bahgdadi, Said Bin Al-Musayyib, Abu Hanifah, Laits Bin Sa’d dan lain-lain. Dan mereka adalah orang-orang yang pandai bagaimana memanfaatkan kekayaan mereka. Dengan kekayaan yang ada di tangan mereka, membantu para ahli ilmu yang kekurangan, memberi makan fakir miskin, bersedekah untuk jihad dan tidak tunduk di bawah kezhaliman penguasa saat itu. Merekalah para ulama yang memiliki harga diri, sehingga ummat mencintainya lebih dari kecintaanya kepada penguasa saat itu. Sehingga kata-kata mereka di dengar dan diikuti. Para ulama itu hanya bergantung kepada Ar-Razaq: Sang Maha Pemberi Rezeki.
Jadi, sudah saatnya kita meniru jejak kesuksesan para ulama dahulu. Sukses dunia dan sukses akhirat. Tidakkah kita ingin mengamalkan sunnah ini. Sunnah yang begitu jelas, indah, dan kemuliannya terpancar hingga ke negeri akhirat. Sungguh Allah tidak melihat betapa kasarnya pekerjaan kita. Tetapi ketaqwaanlah yang di nilai. Harga diri kita sebagai muslim. Dan hal itulah yang membedakan kita dari para peminta-minta. Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa setiap muslim harus bekerja meskipun hasil pekerjaannya belum dapat dimanfaatkan olehnya, keluarganya atau oleh masyarakat. Juga meskipun tidak satupun dari makhluk Allah, termasuk hewan, dalam memanfaatkannya. Ia tetap wajib bekerja karena bekerja merupakan satu bentuk syukur kepada Allah dan salah satu cara mendekatkan diri kepada-Nya.
Sebagaimana kata Aidh Al-Qarny, ‘‘Rezeki burung itu tidak datang dengan sendirinya ketika ia diam di dalam sarang. Mangsa singa juga tidak akan datang dengan sendirinya saat dia berada di dalam sarang. Makanan semut tidak akan datang dengan sendirinya pada saat ia berada di dalam lubang. Semuanya memang harus berusaha dan mencari. Karena itu, berusahalah sebagaimana mereka, niscaya Anda akan mendapatkan seperti mereka!”
Bekerja, untuk Apa dan Siapa?
Umar bin Khaththab biasa menghabiskan sebagian malamnya untuk meronda. Melihat kondisi umat yang dipimpinnya dari dekat.
Suatu hari, tak terasa malam terus beranjak. Fajar pun mulai terkuak. Ketika melewati sebuah gang, tiba-tiba ayunan langkahnya tertahan. Dari bilik sebuah rumah kecil, ia mendengar seorang ibu sedang bercakap dengan putrinya.
“Tidakkah engkau segera campur susumu? Cepatlah, hari sudah menjelang pagi,” perintah ibu sepuh itu kepada anaknya.
“Bagaimana mungkin aku mencampurnya. Amirul Mukminin melarang perbuatan itu,” sahut si anak.
Susu itu tak lagi murni. Mencampurnya, demi mendapatkan laba yang lebih banyak namun dengan cara yang bathil, membuat anak perempuan itu bergelisah hati.
“Orang-orang juga mencampurnya. Campurlah! Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” sang ibu makin meninggi suaranya.
“Jika Umar tidak melihatnya, Rabbnya Umar melihatnya. Aku tidak mau melakukan karena sudah dilarang,” jawab si anak.
Hati Umar tersentuh. Dinikahkannya kemudian gadis tersebut dengan putranya.
Peristiwa itu sederhana, namun kelak, dari rahim anak perempuan itu, terlahir Umar bin Abdul Aziz, yang sering disebut Khalifah Kelima setelah Ali bin Abi Thalib karena keadilannya.
Kisah di atas menegaskan kepada kita tentang dua hal: betapa berbedanya bekerja untuk mencari nafkah dengan bekerja untuk beribadah.
Yang pertama, akan cenderung menghalalkan segala cara dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sedang yang kedua, melihat hasil yang baik yang hanya diperoleh dengan cara yang baik, yakni cara-cara yang dibenarkan oleh Allah. Begitulah, kemudian keberkahan mengalir darinya.
Bekerja seharusnya menjadi sarana ibadah. Kita persembahkan yang terbaik dalam hidup. Prestasi adalah saat kita berhasil mempersembahkan yang terbaik, bukan mendapatkan yang terbaik. Karena menjadi ibadah, maka bekerja tak lagi sebatas karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tetapi, yang jauh lebih penting dari itu adalah meningkatkan kualitas pekerjaannya.
Seseorang yang beriman takkan asal-asalan menyelesaikan pekerjaannya apalagi berperilaku seenaknya.
Seringkali, pekerjaan yang sudah kita tunaikan tidak diapresiasi oleh pimpinan sebagaimana mestinya. Tak jarang, kedongkolan dan sumpah serapah langsung muncul. Akan tetapi, bagi seorang muslim hal itu takkan terjadi. Pimpinan mungkin saja lalai. Akan tetapi, Allah tak mungkin lalai setiap amal kebajikan kita walau sekecil apa pun itu. Orang Jawa bilang: gusti Allah mboten sare; Allah tidak pernah tidur. Allah akan membalas amal positif kita dengan yang setimpal, atau yang lebih besar. Ingat, selalu di balas Allah.
Khalid bin Walid, misalnya. Ketika ia dipecat Umar bin Khathab dari jabatan panglima, kata-katanya begitu indah meluncur, “Semoga Allah merahmati Umar yang telah membebaskanku dari beban ini. Ketika masih menjadi panglima, aku tak hanya berpikir tentang diriku, tapi juga pasukanku. Ini membuatku harus memilih untuk selalu tetap hidup dan meraih kemenangan bagi agama Allah. Kini aku adalah prajurit biasa. Aku bebas meraih cita-citaku untuk syahid!”
Gairah Khalid bin Walid adalah militer. Maka, kita selalu mendapati di setiap ia melewati gunung, lembah, serta segala keadaan alam, ia memikirkan strategi pertempuran apa yang akan dipakainya untuk mengalahkan musuh. Tercatat, 13 kali ia harus berganti pedang karena patah dalam Perang Mut’ah, karena super dahsyatnya dia harus memimpin 3000 pasukan melawan 200.000 tentara Romawi.
Perhatikan Makan dan Minummu
Ini adalah perkara penting yang sering terabaikan. Menjaga sumber makanan kita agar selalu halal. Padahal, secara jelas Allah telah memfirmankan:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (Al-Baqarah [2]: 168)
Para salafush shalih telah banyak memberikan periwayatan bahwa menjaga apa-apa yang masuk ke perut dengan terpilih yang halal sajalah yang bisa ikut menyokong kemudahan kita bangun malam untuk mengerjakan qiyamul lail. “Perbaikilah makananmu,” kata Ibrahim bin Adham, “jika tidak, engkau tidak akan mampu mengerjakan qiyamul lail dan berpuasa pada waktu siang.”
Bahkan, dua perbedaaan besar, yakni yang zuhud dan yang cinta dunia, dikategorikan oleh Wahab bin Munabbih hanya berdasarkan kategori halal tidak makanan yang dikonsumsinya.
“Orang yang paling zuhud terhadap dunia,” katanya, “adalah orang yang hanya mau mendapatkan harta yang halal dan baik, meskipun dia harus berusaha keras mencarinya. Sebaliknya, orang yang paling cinta terhadap dunia adalah orang yang tidak mau peduli apakah dia mendapatkan harta yang halal atau haram, meskipun dia berusaha menghindar darinya.”
Penjelasan paling apik, dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Fawaid, mengenai makanan yang halal ini. “Harta itu ada empat macam,” jelasnya, “pertama, harta yang didapatkan dengan menaati Allah dan digunakan untuk menunaikan hak Allah. Ini adalah harta yang paling baik. Kedua, harta yang didapat dengan mendurhakai Allah dan digunakan untuk mendurhakai Allah. Ini adalah harta yang paling buruk. Ketiga, harta yang didapat dengan mengganggu orang muslim dan digunakan untuk mengganggu orang Islam. Harta itu juga sama buruknya dengan yang kedua. Keempat, harta yang didapat dengan cara yang mubah dan digunakan untuk kesenangan yang mubah. Harta ini tidak bermanfaat dan juga tidak berbahaya. Keempat harta ini masih bisa dibagi dalam beberapa macam lainnya. Di antaranya adalah harta yang didapat dengan cara yang baik dan digunakan untuk keburukan. Harta yang didapat dengan cara yang buruk dan digunakan untuk kebaikan. Penggunaannya untuk kebaikan menebus keburukannya. Harta yang didapat dengan cara syubhat. Penebusnya adalah dengan menggunakannya dalam ketaatan. Pahala maupun hukuman serta pujian maupun celaan sangat berkaitan dengan bagaimana menggunakan harta dan dari mana mendapatkannya. Sumber pendapatan dan tempat penyaluran harta akan ditanyakan pada hari kiamat.”
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!