Review Film Soul Pixar – Saya terkena deadline menulis naskah kisah hidup sebanyak 20 bab hanya dalam waktu 15 hari. Akan tetapi, saya menyempatkan diri untuk menonton film yang, sekali lagi, Pixar berhasil menunjukkan kualitasnya menyajikan story.
Menonton film ini untuk pertama kalinya, tak akan memberikan efek apa pun. Menontonnya kali kedua, akan memberikan kita kesadaran penting tentang bagaimana lebih memaknai hidup. Paling tidak, itu yang saya rasakan.
Soul ini bukan tipikal film yang akan membuat kita terheran-kagum dengan drama yang memberantakkan perasaan, humor yang menggeleparkan pikiran, atau action yang membelalakkan imajinasi mata.
Film ini tak seperti itu.
Film ini memang bukan film tentang kehidupan, bukan pula film tentang akhirat, bukan tentang film passion, jazz, musik, atau menggapai impian.
Ini adalah film tentang kita semua. Tentang saya dan kamu, yang diwakili oleh Joe Gardner dan 22. Dua tokoh utama dalam film ini.
Joe Gardner, guru musik sebuah SMP, menempatkan makna hidupnya pada masa depan, di mana ia bisa mementaskan keahliannya bermusik jazz di depan audiens yang ramai. Ia selalu bermimpi akan hal itu. Karena itu yang akan membuatnya merasa ‘hidup’.
Hingga satu peristiwa hampir membuyarkan impiannya. Ia menuju ke alam akhirat, bertemu dengan 22. Di sinilah semua keseruan rangkaian cerita mulai menarik. Joe harus bertarung dengan waktu untuk bisa kembali ke badannya, demi memainkan gigs-nya, bersama Dorothea Williams, musisi jazz idolanya.
Akan tetapi, setelah mendapatkan apa yang diinginkan, pentas terlaksana lancar, Joe tak merasakan kebahagiaan berarti. Sepanjang hidupnya ia memimpikan momen itu, tetapi semuanya tak begitu memberikan ‘kepuasan-kebahagiaan’ berarti.
Joe memang menjalani hidupnya dengan bergerak maju dengan menghidupkan lentera jiwanya dan fokus menggapai impiannya. Akan tetapi, ada satu hal esensial yang terlewat dari semua itu, dan 22, memberikannya kesadaran sepenuhnya bahwa bagian lain dari jiwanya yang kosong itu, kini mulai menemukan jawabannya.
Joe—dan permasalahan kita semua—adalah selalu berada di ‘zona masa depan’. Terlalu fokus pada impiannya, hingga lupa untuk mencintai setiap prosesnya, sadar penuh dan hadir utuh pada setiap waktu dan hari yang ia lalui dalam kehidupan ini. Ia menempatkan makna hidupnya pada masa depan, bukan pada apa yang ada sekarang; menikmatinya dengan sepenuh hati, jiwa, dan juga raga dan pikiran.
Pada akhir film, Joe akhirnya bisa masuk ke dalam raganya secara permanen. Ia keluar dari pintu rumahnya, dan siap untuk: menikmati hidup setiap menitnya. Ia tak menunggu untuk ‘momen impian terwujud’. Ia memaknai hidup setiap saatnya. Sekarang, nanti, atau kapan pun juga. Ia menghargai apa pun yang hadir dalam hidupnya: hal-hal kecil, hal-hal familiar. Dia siap nge-jazz (jazz-ing, kata 22), bahkan tanpa bermain musik jazz.
Sejatinya, ini adalah film yang begitu pas menutup tahun 2020 yang menyisakan begitu banyak hal mengagetkan dalam hidup kita karena gempuran pandemi. Untuk bersiap diri menghadapi 2021 agar lebih menikmati hidup dan menghargai segala yang hadir dalam hidup kita.
Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi kita selalu tahu tentang hal-hal sederhana dalam hidup yang terus terjadi setiap hari: cara daun jatuh, sensasi embusan angin, suara ringan ranting yang patah, bau tanah yang basah sehabis hujan, dan sebagainya.
Hidup terus mengalami ha-hal wajarnya: naik-turun, senang-sedih, masalah-solusi. Semua berkejaran tak kenal henti, menjebak kita dalam kubangan umur yang terus bergerak habis dan menemui titik usai kehidupan. Di sinilah film Soul datang, untuk memberikan satu pelajaran esensial: untuk menghargai setiap menit dalam hidup. Karena pada akhirnya, yang paling berharga, sejatinya adalah waktu dan bagaimana kita memaknainya setiap saat.
Sebagai penutup, ini scene paling memorable.
I heard this story about a fish, he swims up to an older fish and says: “I’m trying to find this thing they call the ocean.”
“The ocean?” the older fish says, “that’s what you’re in right now.”
“This”, says the young fish, “this is water. What I want is the ocean!”
Dorothea Williams
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!