Dalam sirah nabawiyah, kita bisa menyaksikan ketaatan yang luar biasa dari beliau dalam melaksanakan perintah dan contoh kedisplinan beliau dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah di tetapkan oleh Allah. Yah, karena beliau adalah the living qur’an. Sebagaimana komentar Aisyah, “Sesungguhnya akhlaq beliau adalah Al-Qur’an.”
Dikisahkan, Ibnu Taimiyah selalu mendapatkan gangguan dari seseorang. Ketika orang ini meninggal, salah seorang temannya memberitahukan kabar gembira itu kepada beliau. Tetapi beliau malah bersedih dan bersegera menuju rumah musuhnya itu seraya meminta kepada keluarganya agar menjadikan diri beliau sebagai pengganti orang yang telah meninggal. Wajar saja bila teman yang memberitahukan kabar itu segera berkomentar, ‘‘Saya ingin memperlakukan teman-teman saya sebagaimana Ibnu Taimiyah memperlakukan musuh-musuhnya.”
Dikisahkan pula, bahwa pernah terjadi perdebatan yang seru dan berlangsung sangat lama antara Imam Malik dengan Imam Abu Hanifah. Sehingga ketika Imam Malik kembali kepada murid-muridnya dalam keadaan kelelahan, ia ditanya, ‘‘Mengapa keadaan Anda seperti itu wahai Syeikh?”
Beliau menjawab, ‘‘Sungguh, Abu Hanifah itu ilmunya sangat luas.” Keadaan yang sama juga terjadi pada Abu Hanifah, ketika ditanya murid-muridnya ia menjawab, ‘‘Imam Malik itu ulama yang sangat luas ilmunya!”
Jagalah Bangunan Imanmu
Segala yang baik janganlah sampai dirusak kembali. Semua yang telah kita bersihkan dari kerak-kerak jahiliyah, jangan di kotori lagi.
Demikian pula, segala kebiasaan baik yang telah terbentuk janganlah di rusak. Sungguh, proses pembangunannya sangatlah susah nan berat. Sedang penghancurannya, sangatlah mudah.
Begitulah sesungguhnya kewajiban kita menjaga amal dan pahala perolehannya. Tak saja perhatian tatkala akan dan sedang menjalaninya, bahkan juga ketika sesudahnya.
Janganlah berperilaku seperti tukang bangunan yang kembali memugar satu per satu batu bata yang telah susah payah di susunnya, apalagi menghancurkannya.
Bukan pula seperti para penjahit baju yang telah susah payah menyatukan potongan pola, ia lepaskan lagi sampai ke pintalan-pintalan benangnya, apalagi membakarnya.
Jaga bangunan imanmu, agar tetap tegap berdiri, kukuh menjulang, hingga ke surga.
Dahulu, ketika kaum muslimin sedang melawan bangsa Romawi, peperangan berlangsung cukup lama. Kaum muslimin kesulitan menembus sebuah masalah yang selama ini membuat peperangan menjadi sangat lama. Masalah tersebut adalah adanya sebuah benteng yang sangat kukuh milik bangsa Romawi. Susah ditembus, susah pula ditaklukkan.
Tanpa dinyana, di tengah berkecamuknya perang yang menegang seluruh emosi kedua belah pasukan, ada sesosok mujahid yang dengan gigihnya berusaha melubangi benteng.
Tak ada yang tahu siapa dia. Karena seluruh mukanya bertutupkan kain, dan hanya mata yang tampak di muka. Dengan usaha yang sangat keras hingga tak kan pernah ada kata ataupun suara yang mampu melukiskan usaha sang mujahid. Dengan izin Allah, sang mujahid tersebut berhasil melubangi benteng dan menembusnya. Sontak saja, terpekiklah takbir ekstra keras dan membahana.
“Alla … hu akba … r!” beriringan, berbarengan dari seluruh pasukan.
Singkat cerita, pasukan Islam lainnya pun kemudian merangsek masuk ke dalam benteng mengikuti apa yang telah dilakukan oleh sang mujahid tadi. Maka, takluklah benteng Rowami yang terkenal kukuh dan sulit ditembus tersebut. Pada saat-saat itu, pekikan takbir tak henti-hentinya mengiang dan menggaung di udara. Dengan begitu, semakin ciutlah nyali pasukan Romawi. Akhirnya, benteng tersebut dapat ditaklukkan.
Baca juga: Penulis Biografi Terbaik di Indonesia
Lalu, peperangan pun berakhir. Sang panglima, Maslamah bin Abdul Malik angkat bicara, “Siapa di antara kalian tadi yang telah melubangi benteng tersebut?”
Hening. Tak ada sesuara pun dari pasukan Islam yang mengaku. Sepi. Benar-benar sepi. Sang panglima pun mengulangi pertanyaannya untuk kali kedua. Tetapi, suasana pun tetap sama. Hening. Sepi. Tak ada yang bersuara apalagi mengaku. Lalu, diulangilah pertanyaan yang sama untuk kali ketiga. Dan keheningan pun kembali melanda.
Dengan sedikit geram, sang panglima kemudian berseru, “Saya bersumpah dengan nama Allah, tunjukkanlah raut wajahnya kepada saya! Saya bersumpah dengan nama Allah, perkenalkanlah dirinya kepada saya!”
Akan tetapi, suasana tetap hening. Dari pasukan Islam, tak satu pun yang mengaku. Hingga akhirnya sang panglima pergi, seraya diam membisu. Ada seraut kebingungan yang menggelayut di kepalanya.
Bingung, benar-benar bingung ….
Malam pun beranjak naik. Pekat benar-benar menggelap seluruh jagad. Pasukan Islam pun khusyuk menikmati munajat. Karena memang, pasukan Islam adalah para rahib yang senantiasa khusyuk bermunajat di malam hari, tetapi bak singa ketika siang hari untuk membumi hanguskan para pembela kemunkaran. Di saat itulah, sang mujahid yang melubangi benteng tadi menemui sang komandan. Dia pun angkat bicara, “Apakah tuan panglima ingin mengetahui siapa yang telah membuat lubang di benteng tadi?”
“Ya, tentu saja!” jawab sang panglima.
Antusias sekali panglima kita ini menanti jawaban dari sang mujahid tersebut.
Sang mujahid pun kemudian berkata, “Jika saya memberitahukannya kepada tuan, ada syaratnya. Yaitu, jangan pernah menanyakan kepadanya siapa nama aslinya, nama bapaknya, kakeknya, atapun ibunya.”
Sang panglima pun kemudian menyepakati syarat tersebut. Lalu, sang mujahid tadi pun kemudian membuka kain yang membalut wajahnya kemudian berkata, “Sayalah sang pembuat lubang itu.”
Seketika itu, sang panglima menangis hebat. Yah, menangis! Ia begitu terharu. Bagaimana sang mujahid itu justru tak ingin dikenal namanya. Nasabnya, asal muasalnya. Sang panglima menangis, bagaimana sang mujahid tak ingin dikenang sosoknya
Kemudian, ia pun melantunkan sebuah doa, “Ya Allah, kumpulkanlah aku bersama si pembuat lubang itu ….”
Dan sampai sekarang. Sang mujahid itu, tak pernah diketahui namanya, nasabnya, apalagi tempat ia berasal.
Sungguh, Iman Perlu Pembuktian
Telah banyak kenikmatan, karunia dan cinta-Nya yang dengan derasnya tercurah kepada kita. Tapi, alih-alih mengetahui bagaimana harus menyikapi karunai tersebut. Banyak hal yang seharusnya di kerjakan, dilanggar.
“Bukanlah sesuatu yang menakjubkan, apabila seseorang hamba tunduk dan beribadah kepada Allah dan tidak pernah jemu untuk berkhidmat kepada-Nya, sementara ia selalu merasa butuh kepada-Nya. Yang aneh adalah, Sang Raja menanamkan cinta kepada hamba dengan selalu menganugerahi aneka ragam karunia dan ihsan-Nya, padahal Ia tidak membutuhkannya.” Kata Ibnu Qayyim mengingatkan kita.
Di sinilah ujian status ‘orang beriman’ yang kita sandang diuji oleh Allah. Bukan hanya dalam bentuk kesusahan, kesenangan pula. Mungkin, kita akan tegar kala menghadapi rasa sakit, kelaparan, dan ujian kesusahan lainnya. Tapi, kalau ujiannya adalah kekayaan yang melimpah, syahwat yang membara, dan kesehatan yang prima?
Atas dasar pembuktian pulalah mengapa kita mendapati Abu Bakar Ash-Shiddiq yang selalu mendahului sahabat yang lain dalam hal kebaikan. Sampai-sampai Umar bin Khathab pun mengakuinya, “Aku takkan pernah mendahului Abu Bakar dalam hal kebaikan.”
Selama 30-an tahun Umar bin Khathab hidup dalam keadaan jahiliyah. Kesenangan syahwati adalah kegiatannya sehari-hari. Perangainya yang keras adalah ciri khasnya. Namun, saat kemarahan itu telah sampai ke ubun-ubun demi mendengar salah satu keluarganya ada yang menjadi pengikut Muhammad, cahaya Allah menghampirinya lewat surat Thaha. Semuanya pun berubah. Yang dulu paling keras menentang dakwah, kini yang paling keras menentang kezhaliman. Dan Umar pun: reborn!
Perangai, gaya hidup, dan semua pernak-pernik jahiliyah luluh lantak karena cahaya iman yang terpatri di jiwanya. Maka, tak heran bila Atikah, istri Umar berkata, “Jika malam menjelang, Umar menuju pembaringan. Dia meletakkan secawan air. Ketika terbangun, dia mengambil air dan membasuh mukanya seraya berucap, ‘Tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa dan tak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,’ Kemudian beliau bangun untuk shalat fajar.”
Cahaya-Nya telah menerangi jalan tak berpelita. Cahaya-Nya telah menjelma menjadi kekuatan syukur. Ketaatan dan kerinduan untuk berjumpa dengan wajah-Nya telah mejadi hiasan hati yang penuh gelora.
“Beristirahatlah wahai Amirul Mukminin,” pinta Atikah suatu kali. “Jika aku beristirahat di siang hari, urusan rakyat akan terbengkalai. Jika aku beristirahat di malam hari, urusan dengan Tuhanku yang terbengkalai,” jawab Umar.
Petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang benderang menerangi alam semesta. Ia terang. Cahaya-Nya adalah jejak yang mengejawantah karunia, nikmat, dan berkah.
Petunjuk Allah memang tak bisa dibeli. Bahkan, iman tak bisa diturunkan kepada keturunan. Ia adalah hak-Nya, untuk diberikan kepada siapa. Tugas kita, adalah menyebar sebanyak-banyaknya ajaran-Nya, hingga kesempatan orang-orang untuk kembali kepada-Nya makin terbuka lebar. Makin dengan aqidah yang lurus, hingga rahmat menyebar ke seluruh alam.
Mengokohkan Jiwa Imani
Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, gerakan penaklukan yang digencarkan kaum muslimin tidak pernah berhenti. Bahkan pergerakannya dibagi ke dalam dua kekuatan yang seimbang: menaklukkan bangsa Romawi, dan juga menaklukkan bangsa Persia. Dalam setiap penaklukan yang digencarkan selalu dipenuhi dengan berbagai keajaiban dan kepahlawanan yang ditunjukkan oleh barisan mujahidin, sedangkan karamah yang menyinari mereka laksana panji yang menjulang tinggi. Kisah kita kali ini adalah tentang kepahlawanan sang sahabat mulia, Abdullah bin Hudzaifah As-Sahmi. Beliau adalah orang yang memiliki selera humor tinggi dan suka melucu.
Dalam suatu pertempuran, Abdullah bersama beberapa kaum muslimin tertawan, berita tertawannya Abdullah pun sampai kepada sang Kaisar Romawi yang sangat ingin untuk mengetahui kondisi kaum muslimin dan para tawanan perangnya. Dia akan sangat bangga dan gembira kalau saja ada salah seorang dari kaum muslimin yang murtad dan keluar dari agamanya.
Akhirnya, kaisar Romawi ingin memainkan permainan yang kotor untuk memperdaya Abdullah beserta saudaranya. Dan sang kaisar tidak tahu, kalau ia tengah berhadapan dengan pahlawan yang unik. Pada kesempatan itu, tawaran yang dipertaruhkan sangat besar, karena sang Kaisar mengetahui bahwa salah seoarang yang tertawan itu adalah sahabat baginda Nabi. Kaisar itu pun menawarkan setengah kerajaannya. Dan hendak menikahkannya dengan putri sang Kaisar jika saja Abdullah berkenan murtad. Namun, dengan sangat lantang dan tenang, Abdullah mengatakan, “Sekali-kali tidak, Demi Allah! Saya tidak akan meningggalkan agama Muhammad sekalipun engkau berikan semua kerajaanmu, semua kerajaan bangsa Arab, dan seluruh kerajaan negara-negara lainnya!”
Kemudian, kaisar beralih ke senjata pamungkas, yaitu wanita. Kaisar mendatangkan seoarang putri kerjaaan yang tercantik dan terindah tubuhnya. Di kala itu, mereka menempatkan Abdullah di sebuah kamar. Mereka pun memasukkan putri cantik ini ke dalam kamar Abdullah dalam keadaan tak bersehelaipun ada pakaian. Selanjutnya, sang penjaga menunggu berita bahwa Abdullah telah berzina dengan wanita tersebut.
Tidak lama kemudian, perempuan pezina itu keluar sambil berteriak dan mengatakan, “Keluarkan saya dari sini, demi Allah, kalau sekiranya saya berbicara dengan batu, niscaya dia akan berbicara. Tapi lelaki ini, sama sekali tidak tahu apa itu lelaki dan apa itu perempuan!” Kemudian kaisar beralih ke senjata ketiga, yaitu membiarkan berada dalam kelaparan dan kehausan yang membunuh. Dan beberapa hari kemudian, mereka memberikan khamr dan daging babi kepadanya, barangkali dia akan memakannya, karena kondisinya yang darurat itu. Akan tetapi, Abdullah tetap kokoh memegang prinsip agamanya yang lurus. Meskipun urat leherhnya sangat lemah, sehingga kepalanya condong di atas pundaknya karena sangat lapar dan dahaganya. Meski demikian, dia sama sekali tidak ingin menyenangkan dan melegakan hati musuh-musuh Islam. Akhirnya, sang Raja pun tidak kuasa berbuat apa-apa lagi selain membebaskannya. Namun, ia mensyaratkan kepada Abdullah untuk mencium kepalanya. Akan tetapi, Abdullah juga mensyaratkan agar dia membebaskan semua tawanan perang kaum muslimin. Akhirnya, sang Kaisar pun setuju.
Ketika Abdullah kembali ke Madinah, Umar langsung mencium kepalanya dan berkata, “Sudah semestinya setiap muslim mencium kepala Abdullah bin Hudzaifah.” Maka ia berkata, “Demi Allah wahai Umar, saya sama sekali tidak mencium kepala Sang Kaisar, tetapi yang saya lakukan adalah meludahi keningnya!” Kontan saja, kaum muslimin langsung dibuat tertawa geli oleh ulah kreatifnya. Benar-benar kreatif caranya untuk menghinakan sang pengusung kebatilan. Lalu, dari manakah kita dapat mengkreatifkan diri dalam menyampahkan kebatilan? Sepertinya, jawaban paling mungkin dan paling mendekati, adalah menggesa diri untuk menggabungkan jiwa, ruhani, ragawi, dan segala yang ada di diri ini, ke dalam barisan kafilah kebenaran.
Penjelasan yang apik, tersajikan dalam tuturan DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam Min Akhlâqin Nash fî Jîlis Shahâbah-nya, “Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa perkumpulan, organisasi, atau jamaah mempunyai peranan yang amat besar dalam kehidupan seorang muslim. Bersatu dalam organisasi membantu seorang muslim mengetahui dimensi-dimensi kepribadiannya serta nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif yang dikandungnya. Pengetahuan ini akan membuatnya mudah melakukan pemeliharaan dan pengembangan nilai-nilai positifnya serta menghilangkan nilai-nilai negatifnya.
Bersatu dalam organisasi membuat seorang muslim memiliki bermacam-macam pengalaman, terutama dalam kondisi-kondisi darurat. Dia mengisi seluruh sudut kehidupannya, sehingga ia tidak punya sedikit pun waktu luang yang bisa dimanfaatkan setan bangsa jin dan bangsa manusia. Dia membukakan pintu untuk-Nya untuk memperoleh ganjaran dan pahala. Dia merupakan sebab turunnya rahmat dan lenyapnya kebosanan serta kejenuhan dari diri seorang muslim. Lebih hebat lagi, ia memperbarui jiwanya. Ia juga membantu seorang muslim memelihara dirinya, kebebasannya, kehidupannya dan kemuliaannya, serta manfaat-manfaat lainnya.”
Kali ini, kita akan berbicara tentang pentingnya bergabung dengan komunitas sesama aktivis. Bergabung dengan mereka yang semisi, seruhani, sejiwa, dan seaksi, akan menjagai di setiap waktu dan di setiap hari-hari yang kita geluti dengan penuh lebih barakah. Karena di sana, kita bekerja secara jama‘i. Merancang segala peran-peran untuk diaksikan bersama, serta berbaris rapi untuk mendapatkan spirit keteguhan dalam balutan militansi; itulah persatuan. Dengan bersatu, kita akan lebih mudah menyampahkan kebatilan. Maka kita mendapati, bahwa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman di awal-awal kekhalifahannya mengerjakan shalat dua rakaat di Mekah dan di Mina. Tapi kemudian Utsman mengerjakannya empat rakaat. Ibnu Mas‘ud mendengarnya dan mengucapkan kalimat tarji‘. Namun, kemudian dia berdiri dan mengerjakannya empat rakaat. Terheran-heran, ada seseorang yang kemudian menanyainya, “Anda mengucapkan innâ lillâh, tetapi Anda mengerjakannya empat rekaat?” “Perselisihan adalah sesuatu yang buruk,” jawabnya mantap.
Ibnul Kawwa’ menanyai Ali tentang sunnah dan bid‘ah serta persatuan dan perpecahan. Beliau menjawab, “Ibnul Kawwa’, engkau telah bertanya dengan baik. Karena itu, pahamilah jawabannya. Demi Allah, sunnah adalah sunnah Rasulullah. Dan bid‘ah adalah sesuatu yang menyelisihinya. Persatuan adalah bergabung dengan pengikut kebenaran walaupun mereka sedikit. Sedangkan perpecahan adalah bergabung dengan pengikut kebatilan meskipun mereka banyak.” Begitulah para pewaris nabi, selalu berada di barisan orang-orang yang sama-sama ingin menumpas habis kebatilan. Bukan bergerak sendiri dan sok hebat sendiri. Tapi selalu beraksi jama‘i, dan berkarya dengan penuh keteraturan bersama saudara-saudaranya. Mengutamakan persatuan, menjauhi perbedaan. Walau terkadang perbedaan memang terhadirkan, tapi prinsipnya selalu sederhana: bekerja dalam hal-hal yang disepakati, bersalam hormat dalam hal-hal yang ada perbedaan di dalamnya.
Maka setelah kebersamaan kita dapatkan, taut-mesra iman kita raihkan, kemenangan-kemenangan kehidupan, akan mampir dalam perjalanan. Oleh itulah, kita mendapati sekian banyak berita kemenangan kaum muslimin alam menumpas kebatilan. Salah satunya, seperti dialami oleh Utbah bin Ghazwan yang berangkat ke medan jihad bersama pasukan kaum muslimin yang jumlahnya hanya mencapai seratus orang. Sedikit sekali. Tapi tunggu dulu. Kekuatan iman, selalu menghadirkan energi berjuta-juta. Nah, di tengah jalan mereka dihadang oleh pasukan tentara Persia yang jumlahnya mencapai delapan ribu prajurit siap tempur, dan mereka semua dilengkapi dengan persenjataan. Selanjutnya, panglima Persia berkata dengan penuh congkaknya kepada tentaranya, “Binasakanlah mereka semua, dan ikatlah pemimpin mereka dengan tali lalu seretlah ke hadapan saya!”
Utbah pun berkata kepada pasukan kaum muslimin, “Wahai segenap mujahidin, sesungguhnya saya telah menyaksikan kebenaran bersama baginda Rasulullah. Jika matahari telah terbenam, dan angin berhembus, shalat maghrib pun telah didirikan, maka seranglah musuh-musuh kalian dan perangilah mereka hingga Allah memberikan pertolongan kepada kalian!” Kemudian, pasukan mujahidin memasuki arena pertempuran yang –secara matematis– sangat tidak berimbang melawan pasukan Persia. Beberapa saat setelah debu peperangan mereda, ternyata semua pasukan Persia telah binasa kecuali panglima mereka. Akhirnya, kaum muslimin mengikatnya dengan tali serta menyeretnya. Persis sebagaimana keinginan sang panglima Persia terhadap panglima mujahidin, namun Allah justru membalikkan keadaan.
Subhanallah. Selalu begitu kawan, betapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan kehendak Allah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar. Pasukan mukmin terpenuhi dengan kekokohan imani, pasukan musuh terpenuhi dengan kobaran syahwati.
Menikmati Kelezatan Penghambaan
“Barangsiapa yang takut kepada Allah dalam lintasan-lintasan hatinya, Allah akan menjaganya dalam gerakan-gerakan anggota badannya.”
—Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Masruq Ath-Thusi
“Satu malam pengantin yang dihadiahkan kepadaku,” kata Khalid bin Walid sebagaimana tertera dalam Siyaru A’lamin Nubala’-nya Imam Adz-Dzahabi, “tidak lebih aku sukai daripada satu malam yang dingin mencekam sementara aku berada dalam barisan yang esok harinya hendak berjihad fi sabilillah.”
Pertanyaan sementara kita adalah: bagaimana mungkin berlelah-lelah dalam jihad bisa mengalahkan nikmatnya malam pengantin? Seperti kita menanyakan tentang bagaimana bisa seorang Abu Sulaiman Ad-Darani bisa bernikmat-nikmat dengan ibadah qiyamul lailnya di malam-malam nan sepi jua dingin. “Kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang beribadah di malam hari,” katanya, “lebih hebat daripada hiburan orang-orang yang berfoya-foya di siang hari. Jika bukan karena waktu malam, maka aku tidak suka berlama-lama hidup di dunia.
Tak jauh berbeda, Amir bin Abdil Qais, saat sakit menjelang sakitnya justru mengucapkan kalimat mencengangkan bagi para kerabatnya, “Sungguh aku menangis bukan karena takut mati, bukan pula karena ambisi untuk hidup lama di dunia, tapi aku menangis karena tak lagi bisa shaum di siang yang panas dan shalat di malam yang dingin.”
Pertanyaan terakhir kita adalah: bagaimana bisa seorang hamba bisa mendapatkan kelezatan beribadah hingga sebegitunya?
Jawabannya sederhana. Allah mencipta kita untuk beribadah kepada-Nya. Tentu saja, Allah jua menganugerahkan kenikmatan dalam proses peribadahan tersebut. Sehingga, dua nikmat akan dirasai seorang hamba ketika melakukan ibadah kepada-Nya: kenikmatan saat melakukan ibadah tersebut, dan pahala yang menanti panennya di akhirat.
Kelezatan dalam beribadah tidak akan pernah diketahui rasa kelezatan itu kecuali oleh pelakunya sendiri. Jadi, kita tak bisa mengecap kelezatan tersebut hingga kita melakukannya sendiri ibadah tersebut secara terus menerus hingga Allah menganugerahi kelezatan tersebut pada kita.
“Segala kelezatan itu hanya dirasakan sekali, yakni saat Anda tengah menikmati,” kata Abdullah bin Wahab, “kecuali kelezatan ibadah. Ia bisa dirasai tiga kali: saat Anda menikmati, saat Anda mengingati dan saat Anda menerima ganjarannya nanti.”
Ketaatan tak hanya berupa melaksanakan perintah (fi’lul ma’mur), namun juga meninggalkan maksiat (tarkul mahdzur). Maka, rahasia terbesar agar dapat merasakan kelezatan dalam beribadah adalah terpatri kuatnya dalam diri rasa ta’zhim (pengagungan) kepada Allah. Semakin besar, dalam, dan kuatnya ta’zhim diri pada-Nya, tentu akan semakin besar, dalam dan kuat pula kelezatan ibadah yang kita rasai. Sehingga, secara otomotis, momen-momen beribadah adalah penantian yang mengasyikkan. Sebegitu juga momen-momen meninggalkan maksiat, menjadi momen yang begitu mudah nan menyenangkan. Godaan syahwat memang berat. Penangkal utamanya hanyalah kedekatan rasa pada-Nya. Selalu merasa diawasi oleh Allah tentu akan membuat diri merasa lebih tenteram, nyaman, dan tak tertarik untuk berdekat-dekat dengan apa-apa yang telah dilarang oleh-Nya. Karena suatu kali Wuhaib bin Al-Warad pernah ditanya, “Apakah ahlul makisat dapat merasakan nikmatnya beribadah?” “Jangankan ahlul maksiat,” jawab beliau, “orang yang baru berkeinginan bermaksiat pun sudah tidak bisa merasakan kenikmatan beribadah.”
“Dan bagi-Nya lah keagungan di langit dan di bumi. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Jatsiyah [45]: 37)
Itulah ta’zhim. Itulah pengagungan kepada Allah. Energi ta’zhim begitu hebat. Taat didapat, maksiat pun kita babat. Insya Allah. Karena memang hanya Allah lah yang berhak dengan segala pengagungan.
Incoming search terms:
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!