Suatu ketika, seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah seraya menanyakan tentang hari kiamat.
Rasulullah bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?”
Orang Badui itu berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki apa-apa, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Mendengar itu, Rasulullah menjawab, “Anta ma‘a man ahbabta: engkau bersama orang yang kau cintai.” (HR Bukhari)
Ah, betapa melegakannya…
Kita akan bersama orang yang kita cintai. Bilalah kita mencintai Rasulullah, mengambil sumber keteladanan darinya, terus berusaha menjagai sunnah-sunnah-Nya, tentulah kita juga akan mendapatkan janji Rasulullah itu.
Ah, betapa melegakannya ….
Kita memang akan bersama yang kita cintai. Rasa cinta amatlah berpengaruh besar terhadap tindak-laku dalam keseharian. Jikalah seseorang mencintai sesuatu, tentulah tindak-lakunya akan sesuai dengan yang dicintainya itu. Begitu pula saat mencintai Rasulullah.
Alkisah, suatu hari salah seorang sahabat Nabi Isa melakukan perjalanan dakwah di sebuah kota kecil. Penduduk kota itu berkumpul di hadapannya. Mereka meminta sahabat Nabi Isa untuk memperlihatkan mukjizatnya, yaitu menghidupkan orang mati, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Isa. Demi membuktikan kebenarannya, sahabat Nabi Isa menuruti permintaan orang-orang itu. Maka pergilah mereka berbondong-bondong ke pemakaman dan berhenti di sebuah kuburan. Sahabat Nabi Isa itu pun lalu berdoa kepada Allah agar mayat yang berada di dalam kuburan tersebut dapat hidup kembali.
Tidak lama kemudian, atas izin Allah, mayat itu bangkit dari kuburnya, melihat ke sekeliling, lalu berteriak-teriak, “Keledaiku! Keledaiku! Mana keledaiku!?” Informasi dari mereka yang mengenalnya menyatakan bahwa semasa hidupnya orang itu sangat miskin dan harta satu-satunya yang paling ia cintai adalah keledainya.
Sahabat Nabi Isa lalu berkata kepada orang-orang yang menyertainya, “Wahai saudaraku sekalian! Ketahuilah, bahwasanya kalian pun kelak seperti itu. Pada hari kiamat, kalian akan terbangun dan mencari-cari apa yang selama ini kalian cintai di dunia. Apa yang kalian cintai di dunia ini akan menentukan apa yang akan terjadi dengan kalian pada saat kalian dibangkitkan.”
Mari kita memandang cinta kepada Rasullah dari tiga dimensi. Dari segi psikologis, cinta kepada Rasulullah akan berimplikasi pada munculnya semangat untuk mengikuti sunnah dan meneladani akhlak beliau.
Dari segi sosiologis, kecintaan kepada Rasulullah menjadi simbol kebersamaan dan kesatuan umat Islam. Sedangkan dari segi eskatologis, cinta kepada Rasulullah akan membawa keberuntungan di akhirat kelak.
Kecintaan tumbuh karena kita mengenal. Untuk mengenal Rasulullah kita harus memulai dengan membaca riwayat hidupnya, akhlak, dan perjuangannya. Untuk mengambil keteladanan dalam meraih kesuksesan, berarti kita mencerna-cerna perjalanan hidup beliau berpadu dengan manajerial-manajerialnya dalam banyak hal di episode kehidupan. Di sanalah, lautan hikmah, melangit ibrah, bisa kita ambil dengan leluasa untuk semakin melesatkan kita ke arah yang seharusnya kita berada.
Berbekal manhaj rabbani yang diwahyukan kepada beliau, Rasulullah mampu membangun kesatuan umat dan menegakkan kokoh pilar peradaban yang dibangun di atas akhlak termulia. Persis, sebagaimana beliau diutus oleh Allah, “Aku ini,” sabdanya suatu kali sebagaimana riwayat Hakim dan Baihaqi, “diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Di antara kaumnya saat itu pun, Rasulullah memanglah terkenal sejak mulanya sebagai sosok yang memiliki akhlak mulia. Beliau masyhur sebagai anak muda yang jujur dan tepercaya. Saat beliau diangkat menjadi Rasul dan menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya, mereka pun tak punya lagi alasan untuk menyematkan pendusta, pengkhianat, ataupun tukang tipu, karena tak ada celah untuk itu sejak mulanya. Diadakanlah sebutan-sebutan lain yang sangat tidak masuk akal, yang tak pernah ada kelakuan atau keseharian seperti itu pada diri Rasulullah Muhammad walaupun sejak kecil, yaitu sebutan sebagai penyihir, orang gila, dan lain sebagainya. Sebutan terbodoh, yang sebenarnya mereka pun mengingkarinya sendiri. Akan tetapi, di lain sisi, banyak pula yang masuk Islam dengan berpintu gerbang kemuliaan akhlak beliau.
Dalam Asy-Syifa’ milik Fudhail bin Iyadh, tertuturkan tentang raja Oman kala itu, yaitu Al-Julandi—yang Amr bin Ash diutus untuk mengajaknya masuk Islam—sebegitu terpesona dengan kesempurnaan akhlak Rasulullah dengan pernyataan, “Demi Allah, Nabi yang ummiy ini tidaklah memerintahkan sesuatu, kecuali ia pasti yang pertama kali melakukannya. Dan tidaklah ia melarang sesuatu kecuali ia menang, ia tidak merendahkan dan jika ia kalah, ia tidak gelisah. Ia penuhi semua perjanjian dan ia lakukan semua yang dijanjikan. Dan aku mengakui bahwa ia adalah seorang Nabi.”
Kesempurnaan akhlak Rasulullah terbukti dengan keseimbangan dan integralitas kualitasnya. Jadi, antara kedermawanan, keberanian, kebelaskasihan, kesantunan, dan segala sifat mulia lainnya semua saling seimbang, dan sama besarnya. Semua sifat tersebut tidak saling bersaing lebih tinggi. Akhlak yang serasi dan harmoni seperti ini tidak ada yang memilikinya selain Rasulullah sendiri, hingga pengarang Syamsyul Arab Tasthi’u Alal Gharb menggaransi, “Saya mencari di dalam sejarah contoh ideal seorang manusia, maka saya mendapatkannya pada seorang Muhammad.”
Dari manakah sumber utama akhlak Rasulullah? Pertanyaan ini terjawab dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim saat Aisyah berkata, “Sesungguhnya akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.” Rasulullah lah yang menjadikan apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an berjalan di atas muka bumi, menebarkan manfaatnya melalui tiap tutur, pikir, dan tindak lakunya. Sangat selaras dengan sabdanya di suatu waktu, “Sesungguhnya mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lembut kepada keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Rasulullah selalu menebar akhlak sempurnanya di mana pun beliau berada: dalam pergaulan bersama sahabat-sahabat dan kaumnya; bersama orang yang fakir maupun miskin; menjenguk yang sakit, melayat yang meninggal; silaturahim ke rumah orang-orang sambil menebar dakwah; tersenyum ramah pada siapa pun; wajah berseri untuk siapa pun. Bahkan, kepada musuh sekali pun beliau masih welas asih. Abu Sufyan adalah saksinya. “Demi Allah, engkau adalah sosok yang sangat mulia,” katanya, “aku telah memerangimu, maka sebaik-baiknya orang yang berperang adalah engkau, kemudian aku pun telah berdamai denganmu, maka sebaik-baiknya orang yang berdamai adalah engkau. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Begitulah sosok Rasulullah kita, pemilik akhlak tersempurna di muka bumi, yang menjadikan akhlaknya adalah jelmaan Al-Qur’an. Dan karena sumber utamanya adalah Al-Qur’an, maka setiap kita masihlah sangat mungkin untuk senantiasa meneladaninya. Tentu, dengan cara berintim-intim dengan Al-Qur’an di setiap kesempatan.
Cara Kita Membuktikan Cinta kepada Sang Nabi
Paling tidak, ada sembilan hal yang bisa kita lakukan agar kita semakin dekat dengan kepribadian beliau, keteledanan beliau, dan mata air kebaikan yang tak pernah kering yang telah beliau wariskan.
Pertama, mengimani risalahnya.
Yaitu membenarkan dengan tanpa keraguan sedikit pun di dalam hati bahwa risalah dan kenabian beliau adalah haq dari Allah Swt.
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ath-Thagabun [64]: 8)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (An-Nisa’ [4]: 136)
Kedua. Mencintai Rasulullah dengan sepenuhnya.
Menempatkan beliau sebagai prioritas di atas keluarga, teman-teman kita, bahkan diri kita sendiri. Rasulullah bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian, sehingga aku lebih di cintai daripada bapak-bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia” (HR. Bukhari).
Otomatis, dengan kecintaan yang penuh kepada beliau akan menumbuhkan rasa ingin meneladani yang dahsyat.
“Katakanlah, ’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (At-Taubah [9]: 24)
Ketiga. Taat kepada Rasulullah.
Ketaatan adalah memegang teguh petunjuk Rasulullah di berbagai aspek kehidupan. Ketaatan adalah pasrah secara mutlak ajaran Allah yang dibawa oleh pemberi kabar gembira dan petunjuk yaitu Rasulullah. Dan bukannya malah memperbanyak bid’ah. Ketaatan pula yaitu berkeinginan keras untuk menjalankan sunnah dan petunjuk Rasulullah, memelihara, membela, dan menyampaikannya kepada seluruh manusia. Ketaatan itu kemudian menjauhi segala larangan yang tak boleh kita kerjakan.
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (Muhammad [47]: 33)
Keempat. Mengikuti ajaran Rasulullah.
Memegang erat sunnah-nya dalam setiap aspek kehidupan kita. “Katakanlah, ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran [3]: 31)
Kelima.Meneladani Rasulullah.
Karena beliau adalah sebaik-baik dan seutama-utama teladan. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab [33]: 21)
Keenam. Memuliakan dan menghormati Rasul.
Cara memuliakan dan menghormati Rasulullah ialah dengan mengagungkan segala sesuatu yang terkait dengan beliau. Seperti nama, hadits, sunnah, syariat, keluarga, dan juga para sahabat beliau.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat[49]: 1-2)
Ketujuh. Menghendaki kebaikan dari beliau.
Yaitu dengan mempelajari sunnah, akhlak, adab-adab beliau, serta membenci dan marah kepada orang yang menyalahi sunnah beliau.
Baca juga: Penulis Biografi Terbaik di Indonesia
Kedelapan. Mencintai sahabat-sahabat beliau.
Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mencaci maki sahabatku, seandainya salah seorang dari kalian mengindakkan emas sebesar gunung uhud, maka tidak akan sampai pada derajat mereka, bahkan meski hanya setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesembilan. Bershalawat kepada beliau.
Yaitu dengan mengucapkan shalawat dan salam sekaligus. Tidak shalawat (sallalahu alaihi) saja, dan tidak salam (alaihi wa salam) saja, tetapi kedua-duanya sekaligus. Yaitu, sallalahu alaihi wa salam. Perhatikanlah firman Allah berikut:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab [33]: 56)
Yah, semoga kita termasuk hamba yang dipilih oleh-Nya agar mampu mengikut jejak langkahnyaserta diperkenankan untuk bertemu dengan beliau di surga-Nya. Amin.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!