Luangkanlah waktumu sebentar untuk menengok peristiwa penting dalam sejarah kenabian ini. Peristiwa penting itu bernama perang Tabuk.
Masa itu, pasukan yang tergabung terjuluki dengan Jaisyul ‘Usrah atau dalam bahasa kita disebut dengan pasukan yang terbentuk di masa-masa sulit.
Sulit?
Bagaimana tidak. Ketika itu, masyarakat sedang menanti masa panen buah dari perkebunan mereka. Akan datang masa itu sebentar lagi. Masa itulah yang dinanti-nanti. Penantian penuh pengharapan tertinggi.
Akan tetapi, di saat yang bersamaan, mereka harus memenuhi panggilan Nabi, untuk berangkat berperang.
Berat. Berat sekali masa itu.
Saat jiwa meluap-luap ingin merasakan kegembiraan, harus mematuhi perintah Nabi memenuhi panggilan-Nya untuk berjuang menegakkan kalimah-Nya di medan perang, di mana tak pernah tahu apakah esok hari nyawa masih tertanam ataukah sudah melayang.
Tak cukup sampai di situ.
Peristiwa yang terjadi pada delapan hijriyah itu pun dalam kondisi cuaca sedang sangat tidak berkawan. Sangat-sangat tidak mengayom, dan begitu mempanas seluruh penduduk jazirah.
Oleh itulah, teriknya begitu menyengat kulit dan juga pandangan mata sesiapa saja.
Engkau pasti bisa membayangkannya, dengan kondisi medan Arab yang begitu kental dengan pasir dan angin gurun yang menyilap mata, berpadu dengan cuaca yang sebegitu itu.
Mereka harus menepis bayangan nikmat indahnya berpanen raya. Padahal rencananya adalah menghindari cuaca ganas dan memilih menanti masa panen tiba, bersama istri dan anak, bertelekan karpet di rumah yang nyaman nan aman dibandingkan harus menghadapi ratusan ribu pasukan Romawi.
Tetapi tidak kawan, mereka tidak memilih itu. Justru, banyak peristiwa yang menakjubkan terjadi.
Umar bin Khaththab menyerahkan separuh hartanya untuk kepentingan perang kali ini. Sedangkan Abu Bakar, bahkan mengeluarkan semua harta yang dimilikinya. Sisanya, biaya perang langsung ditutupi oleh Utsman bin Affan. Langsung ditutupi! Se-sultan itulah Utsman.
Namun ternyata, di tengah bayangan keengganan untuk berangkat, justru ada beberapa sahabat yang bersedih pilu kala itu.
Masa paceklik itu, sejujurnya membuat mereka begitu fakir. Maklum saja, kondisi ekonomi negara belumlah stabil. Sehingga, maklum saja, peralatan jihad pun mereka tak mempunyai. Semuanya sudah mereka jual atau digadaikan untuk makanan sehari-hari.
Dengan gemuruh dada yang pilu, wajah yang sendu, mereka mendatangi Nabi. “Ya Rasulallah, saya tidak punya apa-apa untuk digunakan dalam perang kali ini.”
Di sela-sela aduan mereka, air mata senantiasa meleleh. Hati pun gerimis. Jiwa pun menangis.
Yah, mereka sedih bukan karena mereka harus berangkat dengan panas cuaca. Justru sebaliknya, mereka sembilu hati justru karena tak bisa ikut ambil bagian untuk berangkat bersama sang Nabi. Derak langkah kawan-kawan seperjuangan yang bersemangat tak bisa ikut mereka nikmati. Kendaraaan-kendaraan jihad yang senantiasa mengaum tak bisa mereka dengar lagi. Suasana seru medan perang tak bisa mereka kawani. Mereka tak bisa masuk barisan pejuang kebenaran. Apalagi, di bawah kepemimpinan langsung sang Nabi. Tentu perihal itu menyembilu hati jiwa-jiwa mukmin sejati.
Inilah sebuah pengingat, agar kita tak pernah absen dalam medan ketaatan apa pun. Seharusnya, di setiap medan ketaatan, kita semestinya menjadi aktornya. Bukan penontonnya yang hanya bertepuk tangan dan terkagum di pinggir lapangan.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!