Tak hanya jauh, namun juga harus berjalan bahkan berlari dengan benar. Tak hanya tinggi, namun juga harus indah dan rindang. Tak hanya lebar, namun juga harus nyaman dan menenteramkan. Tak hanya jelas, namun juga bening dan dalam makna.
Itulah visi para pemimpin. Ia tak sekadar mimpi yang bisa jadi artinya hanya bangun dari tidur saja kemudian tidur lagi. Akan tetapi, ia menjelma visi yang gegerak dan gegapainya benar dan mulia.
Seperti Umar bin Abdul Aziz. Efek kepemimpinannya menjelma keadilan yang merata.
Umar sangat terpengaruh oleh kakeknya, Umar bin Khathab Al-Faruq dalam hal tanggung jawab. Prestasinya, ia mampu melakukan perbaikan ke dalam sebuah negara yang dalam kondisi terpencar-pencar dan karut marut, hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh bulan.
Keadilan Umar bahkan sampai meliputi hewan-hewan. “Kami menggembalakan kambing di Kaman pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz,” tutur kisah dari Musa bin A’yun, “Saat itu, domba dan serigala berada di tempat yang sama. Pada suatu malam, tiba-tiba muncul serigala yang memakan domba. Aku katakan, ‘Pastilah seseorang laki-laki saleh telah meninggal. Orang-orang mencari dan menghitung hari itu. Ternyata, Umar bin Abdul Aziz meninggal malam itu.’”
Ia sangat terpengaruh oleh syekhnya, Abdullah bin Umar, yang merupakan paman ibunya, sampai-sampai Umar pernah berkata pada ibundanya, “Wahai Ibunda, aku sangat ingin menjadi seperti pamanku!”
Ibunya menjawab dengan sumringah, “Engkau akan menjadi seperti pamanmu!”
Umar berawal dari bibit yang baik. Awalnya, dimulai tatkala Umar bin Khathab mendengar perkataan seorang gadis muda yang memiliki nurani yang hidup. Kala ibunya menyuruhnya agar dia mencampuri susu dengan air. Umar memilih gadis itu untuk dia nikahkan dengan Ashim, anaknya. Wanita itu kemudian melahirkan seorang anak lelaki, Umar bin Abdul Aziz, dan seorang anak perempuan.
Umar bin Abdul Aziz jua pernah menangis saat ia masih kecil di mana ia usai menghafal seluruh ayat dalam Al-Quran. Terheran, ibunya menanyakan mengapa dia menangis. Umar menjawab dengan sesenggukan, “Aku ingat mati!” Sekecil itu, dzikrul maut-nya sudah tumbuh. Ibunya pun ikut menangis mendengar jawabannya.
Pemimpin yang seperti ini, kapankah kita akan merasai?
Sabda Nabi, di setiap kita adalah pemimpin. Di setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Menyelesaikan amanah demi amanah dengan kesungguhan kan menyelamatkan diri dari gagap pertanggung jawaban nanti.
Menjadi pemimpin bukanlah suatu kehormatan sehingga dengan segala upaya harus digapai. Kita lupa, bahwa menjadi pemimpin adalah amanah. Maka sering terjadilah, diri disibukkan dengan cara menggapai posisi sebagai pemimpin, namun selalu lupa dengan karakter ‘amanah’ yang harusnya melekati dalam diri. Bukan apa-apa. Hanya saja, ketika perasaan mengenai beratnya tanggung jawab kepemimpinan dan amanah itu hilang, akan timbul kecintaan pada jabatan dan ketenaran, serta hasrat untuk makin mempertingginya hingga susah terbendung.
Menjadi pemimpin, berarti menunjuk jalan baik. Menjadi pemimpin, berarti memberi arah yang benar. Menjadi pemimpin, berarti menyuluh cahaya di jalan panjang yang bisa jadi gelap dan berlubang besar-besar. Menjadi pemimpin, berarti merawati diri dengan seni berinteraksi dan memengaruhi.
Menjadi pemimpin, berarti memadukan dua kekuatan, kata-kata dan tindakan nyata. Menjadi pemimpin, berarti memerhatikan dan memberdayakan detail kebutuhan yang dipimpin. Menjadi pemimpin, berarti tak hanya mengoptimalisasi diri, namun juga menjelma diri sebagai rahim bagi tercetaknya pemimpin-pemimpin baru.
Mengacalah pada Rasulullah yang sangat mampu memberdaya kemampuan para sahabatnya. Rasulullah mampu memberdayakan para sahabat yang memang telah memiliki kemampuan kepemimpinan sebelum masuk Islam. Kemampuan ini, terus mereka miliki dan Islam memberikan sumbangsih untuk menguatkan, mengarahkan, dan meluruskan kemampuan itu. Tercatat nama, Umar bin Khaththab, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, Muawiyah bin Abu Sufyan, tak ketinggalan Abdullah bin Abi Sarah.
Baca Juga: Membangkitkan Lagi Tradisi Berkarya Kita
Rasulullah memang sosok pemimpin yang mampu memberikan tugas sesuai dengan kemampuan para sahabatnya. Maka tak heran, kita mendapati rerentet kisah menakjubkan sedemikian.
Di antara para sahabatnya, ada yang memiliki keberanian di atas rata-rata manusia. Nabi pun menugasi mereka untuk hal-hal yang membutuhkan keberanian dan tekad untuk maju. Seperti saat beliau memberikan pedang kepada Abu Dujanah saat Perang Uhud.
Di antara para sahabatnya, ada yang pantas memikul tugas kepemimpinan. Beliau pun memberi mereka kesempatan untuk memimpin. Di antaranya adalah Ubaidah bin Harits, Hamzah bin Abdul Muthallib, dan Ja’far bin Abi Thalib.
Di antara sahabatnya, ada yang hatinya sama sekali tidak sanggup melihat peperangan, seperti Hassan bin Tsabit. Rasul pun mengumpulkan dia bersama wanita pada Perang Uhud dan Khandaq. Dengan syairnya yang penuh pesona, dia berhasil melakukan pembelaan terhadap Rasul.
Di antara mereka, ada yang memiliki pendapat dan ide-ide supercemerlang dan pantas untuk diajak bermusyawarah, seperti Hubbab bin Mundzir. Beliau mengambil manfaat dari ide dan pendapatnya. Beliau memilih Ja’far untuk menjumpai dan bernegosiasi dengan An-Najasyi. Ternyata, dia adalah yang paling pantas untuk itu. Bukti kemampuan Ja’far dalam hal itu adalah tangisan dan masuk islamnya Najasyi.
Kemampuan menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat akan mampu membangun manusia yang aktif dan efektif. Kaderisasi menempati urutan terpenting dalam mengabadikan kebaikan.
Umar bin Khaththab pernah ditanya, “Mungkinkah sebuah desa yang makmur akan hancur?”
Jawabnya, “Jika orang-orang jahat lebih kuat dari orang-orang baik.”
Mari meningkatkan kehanifan diri dengan kekuatan. Karena bagi para pemimpin, kekuatan menempati bagian pentingnya sendiri. Kekuatan seorang pemimpin sangat berpengaruh besar.
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang dua orang yang menjadi pemimpin dalam perang, salah seorang dari keduanya kuat, namun berlaku maksiat, sedangkan yang satu lagi seorang saleh, tetapi lemah. Mana di antara keduanya yang akan ditugaskan untuk memimpin peperangan? Imam Ahmad menjawab, “Orang yang bermaksiat (fajir) namun kuat. Kekuatannya sangat berguna bagi kaum Muslimin, sedangkan maksiatnya berbahaya bagi dirinya sendiri. Sedangkan orang yang saleh namun lemah, kesalehannya untuk diri sendiri dan kelemahannya akan menjadi beban bagi kaum Muslimin. Maka, pasukan hendaklah diberangkatkan di bawah kepemimpinan orang yang kuat meski fajir,” tutur Imam Ahmad.
Maka, jadilah kita berkeinginan, pasukan singa yang dipimpin oleh singa. Bukan singa yang memimpin pasukan kelinci. Bukan pula pasukan singa yang dipimpin oleh kelinci.
Kita banyak dalam kebersamaan, sedikit dalam kesendirian. Kekuatan selalu tersembunyi dalam perbedaan, bukan dalam kemiripan. Dengan keberagaman bakat dan potensi, berpadu visi pemimpin yang jernih, akan sangat mungkin membentuk sebuah tim yang tak hanya produktif, namun juga yang berjiwa ingin mengubah dunia. Semuanya bermuara pada pemimpin yang memiliki energi kepemimpinan yang kuat nan kukuh.
Akan sangat berbeda ketika sang pemimpin memiliki energi kepemimpinan yang rapuh. Ia tak hanya menjelma petaka, ia juga mempetakakan segala hal yang menjadi tanggung jawabnya. Bila sudah begitu, tentu sang pemimpin sedang memaksa siapa saja untuk mempersiapkan sejak dini menggali kuburnya sendiri.
*Header image by: Beno Saradzic
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!