“Keunggulan dan kerja keras tidak mengenal garis keturunan, gelar, mata pencaharian, ataupun jenjang pendidikan,” kata Aidh Al-Qarni, “Siapa saja yang mempunyai semangat yang tinggi, jiwa yang selalu ingin tahu, dan tingkat kesabaran yang baik, akan masuk ke dalam tingkatan orang yang luhur. Keberhasilan adalah sebuah kerja keras, penderitaan, pengorbanan, luka, dan kecemasan. Sedangkan kegagalan adalah akibat kemalasan, lemah, loyo, minder, dan tanpa semangat.”
Al-Ustadz Jamilul Adzm Ad-Damasyqi yang meninggal pada 1352 H menulis sebuah kitab berjudul Uqudul Jauhar Fi Tarajimi Man Lahum Khamsuna Tashnifan Fami’ah Fa Aktsar. Dalam buku tersebut beliau menyebutkan sejumlah ulama yang dikenal luas banyak memiliki karya tulis.
Ia menyebut nama Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnul Jauzi, Imam Nawawi, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Badrul Ani, Imam Suyuthi, Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim, Ali Al-Qari, Iman Al-Munawi, Abdul Ghani An-Nabulisi, Abdul Hayyi Al-Luknawi serta sejumlah nama lain yang memiliki karya tulis sejumlah seratus buku ataupun lima puluh.
Apabila kita menelaah biografi ulama-ulama terdahulu, kita akan belajar bahwa bagaimana mereka mempunyai cita-cita yang begitu tinggi dan luhur. Semangat yang tak sesiapa pun mampu mematahkannya. Bergabunglah, maka kita akan masuk ke dalam barisan mereka. Meninggalkan sejumlah karya yang bermanfaat. Meninggalkan sejumlah keteladanan yang melanglang di langit jiwa umat. Meninggalkan sejumlah kebaikan yang akan terus bergulir pahalanya sepanjang zaman. Mulailah sekarang, mumpung usia kita masih muda. Mumpung semangat masih membara di dada. Hingga penyesalan nanti, tidak datang menyapa kita.
“Dia yang benar keyakinannya kan bersungguh-sungguh,” kata Ibnul Jauzi, “Dia yang meyakini panjangnya jalan tuk ditempuh kan bersiap bekal. Dia yang sedikit pengertiannya akan terhambat. Dia yang tak mengerti apa yang ditujunya kan tercerabut.”
Apa menariknya dengan aktivitas kehidupan yang hanya berupa makan dan minum, tanpa adanya kesadaran akan makna dan tujuan hidup. Kebosanan dan kepayahan kan menggeletak di hari-hari. Harusnya, kita membangun kemajuan diri dengan membangunnya dari tangan sendiri. Bukannya mengharapkan datangnya dengan tiba-tiba dan hadiah entah dari siapa. Mengerti apa makna dan tujuan hidup, kan melecuti semangat, juga memadatkan umur dengan banyak hal menarik bermanfaat.
Sibuk bukan berarti produktif. Sibuk yang tidak bertujuan takkan membawa diri ke mana-mana. Sibuk yang hanya mengisi waktu kosong hanya akan menjalani hari dengan membabi buta, tapi kosong makna dan karya. Itulah diri menjalani hari-hari, kita selalu dihadapkan dengan pergolakan batin dan nurani yang tiada henti. Hingga diri terkadang tidak sadar bahwa rutinitas dan kesibukan hidup bisa membawa kita ke dua arah, kemajuan atau pun keterbelakangan diri. Kita harus memiliki kesadaran penuh. Kesadaran penuh untuk mengubah. Karena peradaban menjadi lestari memang lahir bukan dari sihir. Karena tanggung jawab tak hanya pada diri, namun juga pada sekitar. Maka, menjelmalah diri menjadi mata air nan jernih menyegarkan. Bukan tuba yang pahit menyakitkan.
Baca Juga: Atsar dan Peran Kita di Bumi-Nya
Jangan memainkan peran diri sebagai penonton. Tampillah. Majulah. Bersemangatlah. Berkaryalah. Ambil bagianmu untuk mengulurkan perubahan. Jangan hanya jika seorang alim meninggal, kita menangis hingga kering air mata tanpa pernah berkata, “Inilah aku, yang akan menggantikan peran hebatnya!”
Jangan lupa juga, disiplinlah dalam berkarya.
Ubaid bin Ya’isy, guru dari Imam Bukhari ini bercerita, “Selama 30 tahun saya tidak makan malam dengan tanganku sendiri, dan saudara perempuankulah yang menyuapiku, sedang saya sangat sibuk menulis hadits.”
Betapa disiplin dan tekunnya beliau dalam berkarya, bukan?
Ibnu Jarir Ath-Thabary bahkan mampu menulis 14 lembar karangan tiap harinya. Dan jika di hitung-hitung, dalam seumur hidupnya, beliau telah menulis sebanyak 358.000 lembar karangan.
Senada, Ibnu Syahim telah menulis sejumlah 330 karya tulis. Sedangkan Ibnu Aqil, memiliki sejumlah karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu sekitar 20 buku. Dan karya yang terbesar adalah Al-Funun yang terdiri atas 400 jilid (bahkan sebagian ulama mengatakan 800 jilid).
Tak lupa pula Ibnul Jauzi, yang selama 89 tahun hidupnya, telah merampungkan 500 kitab!
Sedangkan Ibnu Taimiyah sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Rajab, “Adapun karya tulis Ibnu Taimiyah, sungguh telah merata ke seluruh dunia dan sangat banyak sekali hingga tidak mungkin bagi seseorang untuk menghitung atau mendatanya!”
Berkaryalah. Karena lebah yang tak lagi menghasilkan madu, tak dimaknai kawanannya. Berkaryalah. Agar tak membangkai. Agar bermaslahat.
Kafilah kehidupan enggan menunggu orang-orang yang malas nan lambat. Bersemangatlah. Bergegaslah.
Rawatlah lembah kebaikanmu dengan kesungguhan, juga karya nyata.
Kelelahan dan kebosanan hanyalah selingan menuju impian. Tetaplah maju. Teruslah melaju.
Nikmatilah momen sekarang. Berhentilah barang sejenak dari riuhnya dunia maya yang melenakan. Hadirlah tak barang sebentar dalam indahnya dunia nyata. Itu akan memberimu kenyamanan dan keindahan.
Kita terlalu sibuk mencari. Padahal cinta itu diberi-Nya. Cinta itu anugerah-Nya.
Semua selalu berjalan dalam alur ‘sebagaimana seharusnya dengan cara-Nya. Bukan dengan plot ‘apa maunya kita’.
Maka, cara terbaik adalah berdekat-dekat dengan-Nya. Bermesra-mesra dalam munajat dan muraqabah kepada-Nya. Dengan begitu, kita kan dianugerahi cinta indah, bahkan sangat indah, karena cinta yang kita cari, ada dalam cinta-Nya.
Dalam kitab Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’is Syafii Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa, “Tingkatan berpikir paling tinggi, paling agung serta paling bermanfaat adalah berpikir tentang Allah dan hari akhirat. Berpikir untuk Allah bermacam-macam. Macam yang kelima: berpikir tentang tugas dan kewajiban waktu serta menghimpun seluruh azam untuk memaksimalkannya. Orang yang ‘arif’ dialah putra waktu. Jika ia melalaikannya, seluruh maslahat dan kebaikan akan lenyap darinya. Sesungguhnya, seluruh bentuk kebaikan adalah lahir dari waktu, maka sekiranya ia menyia-nyiakannya niscaya tidak akan pernah lagi dapat memperolehnya.”
Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Aku pernah bersahabat dengan kaum sufi. Aku tidak memetik manfaat dari mereka kecuali dua ungkapan bijak. Pertama, berbunyi ‘Waktu adalah pedang, jika engkau tidak dapat mematahkannya, maka ia justru yang akan memenggalmu!’ Ungkapan yang kedua adalah, ‘Dan nafsumu, jika engkau tidak membuatmu sibuk dengan kebenaran ia akan menyibukkanmu dengan kebathilan’.”
Maka, jika kita hanya menggunakan waktu untuk pemenuhan syahwat serta hal-hal yang melalaikan dari Allah. Maka, kematian kita sungguh lebih baik daripada hidup kita. Karena waktu yang kita miliki pada hakikatnya adalah umur kita. Ia merupakan bahan baku bagi kekekalan di surga. Karena, dengan berkualitas atau tidaknya amalan di umur-umur kita, maka surga atau neraka yang akan menjadi pilihan balasannya. Jadi, barang siapa waktu dan hidupnya hanya untuk Allah, dialah yang mampu memanfaatkan waktu dan hidupnya.
*Header image by: Giuliana & Antonio Corradetti
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!