Beberapa waktu lalu, seperti biasa, saya bersama anak-istri melakukan kegabutan sore hari. Berkeliling kota Solo sambil cari makan.
Kami memiliki aktivitas rutin untuk cari makan di luar. Bukan karena masakan istri tak enak. Istri mah pinter banget masak. Tapi cuman sekadar mencari udara segara dan memberikan variasi aktivitas untuk Syaz, agar tak melulu berada di rumah.
Karena siang itu Syaz tidur dan belum makan, sore harinya saya ajak ke Ayam Goreng Kartini, tempat makan yang baru buka dan menjadi salah satu favorit kami untuk rutin didatangi. Tempatnya asyik, mushalla-nya besar, bersih, dan lokasinya hanya 10 menit dari rumah.
Sungguh sebuah kebetulan yang betul-betul memanjakan.
Biasanya saya memesan dada goreng. Entah kenapa, sore itu memesan menu tambahan: kepala goreng.
Beberapa menit kemudian, pesanan datang. Paha goreng favorit istri dan Syaz, dada goreng favorit saya, dan tada …. kepala goreng. Saya kira jumlahnya satu, ternyata lima! Pesannya bukan satuan, ternyata. Tapi satu porsi kepala goreng.
Saya dan istri berpandangan. Lah, bagaimana menghabiskannya?
Sambil mengelus-elus perut saya yang sudah membuncit pelan, saya mencoba menghabiskan semua pesanan. Gigitan kepala ayam goreng pertama kali terasa sangat enak. Karena masakan Ayam Goreng Kartini memang terasa sangat enak. Kepala ayam goreng kedua juga masih sangat enak. Giliran kepala ayam goreng ketiga … meh …. terasa membosankan.
Apalagi membayangkan masih ada dada ayam goreng yang harus saya habiskan. Alamakjang. Saya menyandarkan punggung ke tembok, memandang suasana luar, sambil menghela nafas panjang dan meratapi nasib.
Mengapa hidup terasa membosankan? Ya karena hal-hal yang seharusnya berkadar ‘cukup’, berubah menjadi berlebihan.
Kepala ayam goreng Kartini itu enak banget. Tapi, kalau di hadapanmu ada lima kepala ayam goreng yang harus dihabiskan, ya jadinya membosankan. Satu-dua kepala ayam goreng masih terasa nikmat. Tiga-empat-lima-dua puluh, beuh, muntah!
Padahal barang yang sama. Dengan level enak yang sama olahan masakannya. Tapi semua berubah menjadi tak lagi bergairah untuk disantap karena ‘berlebihan’.
Hidup yang ‘terasa hidup’, bukan ketika kita memiliki segalanya. Betapa banyak dari kita yang bermimpi bisa memiliki kehidupan yang seperti ini: tak usah kerja, tak usah memiliki kewajiban, tak usah ada tekanan apa pun, isinya hanya hidup enak-enakan terus.
Percayalah, hidup yang seperti itu, membosankan. Karena apa? Ya karena semuanya berlebihan. Tidak berada dalam kadar ‘cukup’ yang proporsional. Tidak ada kegiatan yang mengalirkan energi kehidupan yang semestinya.
Lebih menarik ‘proses’-nya. Menjalani proses memiliki tingkat kenikmatan yang lebih lama daripada ketika berhasilnya. Hanya sebentar. Saya merasakan energi kehidupan yang begitu besar, saat bersama tim mencoret-coret whiteboard, merancang konsep, mengeksekusi ide, berdebat dalam satu permasalahan, badan berdesir kencang karena khawatir project yang dirilis tidak sukses, ingin menangis karena terlalu banyak list pekerjaan, dan hal-hal lainnya yang bahkan tidak ada unsur ‘enak-enak’ dan ‘leha-leha’ di dalamnya.
Saya bahkan tidak pernah membayangkan akan menjalani sisa usia dengan berleha-leha sepanjang waktu tanpa melahirkan karya ataupun peran penting untuk kehidupan manusia. Kehidupan macam apa itu?
Jadi, kehidupan yang menarik, adalah keseimbangan. Ya menjalani prosesnya, ya menikmati hasilnya. Semua dalam kadar ‘cukup’ yang semestinya.
Karena itu, ketahuilah sejak dini: berapa kadar ‘cukup’-mu? Jika tidak, engkau akan terus mengejar hal-hal yang bukan seharusnya untukmu, tanpa kenal waktu, tanpa pernah menikmati proses, tanpa mengerti bahwa sewaktu-waktu semua akan selesai karena kau sudah memijak ujung waktu.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!