Disrupsi adalah gangguan yang mengakibatkan industri tidak berjalan seperti biasa karena kemunculan kompetitor baru. Umumnya karena kompetitor baru ini menemukan atau menggunakan teknologi yang mengakibatkan pemain bisnis lama harus memikirkan ulang mengenai strategi untuk berhadapan dengan era baru ini. Ada yang berhasil mengatasi situasi disrupsi ini, tetapi banyak juga yang gagal dan memilih menyerah
Kata Rhenald Kasali, dewa perdisrupsian Indonesia, ada lima hal penting dalam disrupsi.
Pertama, disrupsi berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel.
Kedua, membuat apa pun yang dihasilkannya memiliki kualitas lebih baik ketimbang yang sebelumnya.
Ketiga, disrupsi berpotensi menciptakan pasar baru atau membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
Keempat, produk hasil disrupsi harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya.
Kelima, disrupsi membuat segala sesuatu kini menjadi lebih pintar, lebih menghemat waktu, dan lebih akurat.
Nah, pertanyaan pentingnya adalah apakah ada disrupsi dalam industri penerbitan? Pertanyaan yang sederhana, namun membutuhkan jawaban yang panjang.
Semua ini bermula pada tahun 1993 ketika Tim Berners-Lee mengumumkan kepada dunia konsep World Wide Web. Setahun kemudian, Amazon.com lahir dari Jeff Bezos. Pada tahun 1995, Bezos mem-branding perusahaannya sebagai pusat pembelian buku online. Tahun 1998, Google muncul dan tak lama kemudian, yakni pada tahun 1999, Blogspot — sekarang menjadi Blogger — muncul dan menjadi platform untuk blogging yang masyhur sebelum akhirnya muncul WordPress, dan sekarang adalah Hexo dan Medium.
Menariknya adalah pada tahun 1997 Lightning Source didirikan. Nah, Lightning Source ini dianggap sebagai salah satu pelopor teknologi POD (print on demand) yang dianggap sebagai sebuah pendekatan revolusioner untuk menerbitkan buku. Pada perkembangannya, Lightning Source akhirnya bermitra dengan Ingram, sebuah jaringan distribusi dengan persediaan terbesar di bumi, ditambah lagi Amazon yang berposisi sebagai pengecer online terbesar di dunia (dan penyedia buku dalam jagat maya yang numer uno). Alhasil, penggabungan kekuatan ini menghasilkan seekor binatang berkepala tiga yang tak terkendali pergerakannya. Ibaratnya, Anda adalah penjahat kelas teri dan harus mengalahkan Superman, Wonder Woman, dan Batman; trisula yang terlalu digdaya. Efeknya memang mengerikan. Perusahaan terus bertumbuh baik, inovasi terus terkembangkan, hingga lahirlah Kindle. Jadi, disrupsi dalam industri penerbitan dimulai ketika lahirnya teknologi bernama POD dan e-book. Lewat POD, produk buku memiliki zero risk dalam hal penjualan. Pada e-book, harga buku cetak yang mahal (dan tidak ramah lingkungan karena bahan bakunya menggunakan kertas dan kertas berasal dari pohon) menjadi masalah yang sudah selesai. Selain itu, lebih ringkas. Siapa juga yang tidak ingin menyimpan 1000 buku kesukaan Anda hanya dalam satu gawai? Persis seperti kampanye Steve Jobs untuk menyimpan musik favoritmu hanya di sakumu lewat iPod. Murah, ringkas, tidak merepotkan, dan stylish.
Kehadiran e-book juga menjadi kabar baik tersendiri bagi industri penerbitan karena buku cetak dan buku digital sama-sama diminati. Antara satu yang lainnya tidak saling mengalahkan. Buku cetak belum bisa ditinggalkan sama sekali. Jadi, untuk saat ini ketika penerbit bermain di di buku cetak dan buku digital, sebenarnya sama-sama menguntungkan.
Bagaimana pasar e-book di Asia? India ternyata menjadi pasar yang besar, bahkan lebih besar dari China. Surat kabar India, The Asian Age, memprediksi bahwa e-book bisa menyumbang sekitar 25% dari total penjualan buku di India. Dorongan utama untuk pertumbuhan seperti ini, menurut para ahli, adalah penetrasi smartphone. Tak heran kemudian mengapa Penguin, Hachette, Random House, dan Cambridge University Press, sangat aktif memasarkan buku di sana.
Bahkan, pada tahun 2015 Amazon membuka toko buku fisik pertamanya di Seattle. Tebakan saya adalah Amazon sedang melakukan eksperimen sekaligus prototipe bagaimana data digital dapat dimanfaatkan untuk menggenjot penjualan di toko buku fisik.
Lalu, bagaimana berdamai dengan ragam disrupsi tersebut? Berikut ini adalah beberapa rekomendasi dari saya bagaimana sebuah penerbitan menyikapi zaman now.
Tidak mengacaukan brand dengan ragam topik terbitan. Misalkan begini. Bulan ini menerbitkan buku masak dan bulan depan menerbitkan buku biografi. Apakah ada yang aneh? Bila Anda adalah seseorang yang mengkhawatirkan nasib brand Anda dalam jangka waktu yang panjang, maka langkah ini adalah langkah terbaik untuk bunuh diri. Seseorang mengingat brand Apple bukan karena hari ini dia meluncurkan iPhone dan esok hari meluncurkan kerupuk, bukan? Dalam brand, konsistensi adalah harga mati. Konsistensi produk ini akan menghadirkan barisan kelompok pembaca yang loyal. Menyasar banyak target jenis pembaca hanya akan membuat brand Anda tidak ke mana-mana dan tentu saja efek terburuknya adalah “susah dikenali”. The nicher, the richer. Targetlah pasar tertentu dan dominasilah. Sesederhana itu.
Tim yang terlalu gemuk. Sesuatu yang bisa di-outsource-kan, lakukan. Menambah tim tapi tidak menambah daya gedor, buat apa? Penerbitan adalah industri kreatif dan tutuntan dalam industri kreatif adalah sederhana: tim yang passionate dengan apa yang dikerjakannya. Buat apa merawat tim yang hanya peduli untuk: berangkat kerja dan menunggu akhir bulan untuk gajian. Tipikal tim seperti ini akan melahirkan risiko dua hal: menjadi negative thinker atau toxic.
Siapkan produk dan siapkan pasar. Menyiapkan produk tanpa menyiapkan pasar adalah sebuah kesalahan. Dengan beban judul yang harus terbit dalam jumlah yang banyak, akan membuat editor menjadi random. Apa efek dari ke-random-an ini? Pertama, hanya meniru produk yang sudah ada di toko buku (daring maupun luring), dan kedua adalah memburu public figure padahal belum tentu hal tersebut mengungkit daya beli. Apalagi bila kedua hal tersebut didukung dengan rekomendasi dari tim marketing yang “lemah”. Ya …. wassalamualaikum ….
Quality over quantity. Untuk apa menerbitkan banyak judul kalau justru tidak menghadirkan profit yang signifikan? Baiklah, pertanyaan sederhananya: menerbitkan 7 judul tapi laku semua, atau 15 judul namun berjalan sangat lamban? Cash flow is king, my friends!
Pasti Anda bertanya, bagaimana agar bisa menghasilkan 7 judul yang laku semua?
- Kerja sama dengan “tokoh” yang memiliki syarat-syarat tertentu sehingga bisa kita kategorikan “potensial”. Ini membutuhkan syarat-syarat tertentu. Misalkan trainer atau public speaker. Biasanya, kita tinggal nebeng jualan di event-event-nya dan follower-nya. Ini namanya win-win solution.
- Social media artist yang potensinya besar untuk kita lesatkan lewat tool bernama buku. Jangan asal pilih. Asal follower banyak. Buat apa follower banyak kalau miskin value?
- Insting. Insting ini hanya dimiliki oleh orang perbukuan yang passionate dengan industri ini. Misalkan dapat menilai bahwa naskah ini akan berpotensi besar, meskipun ia bukan penulis yang terkenal.
- Survei mendalam, lalu buatlah konsep naskahnya. Minta seseorang yang paham dengan topik tersebut untuk menulisnya. Tak harus penulis terkenal karena beberapa buku yang berpotensi laku memang hanya diperlukan kedalaman outline dan bagusnya kemasan, bukan dari terkenalnya seorang penulis.
Pastikan buku tersebut memiliki “value” yang tidak mungkin didapat dari googling. Hadirkan produk berupa buku apa yang ingin dibaca oleh pembaca yang tidak mungkin ditemukan di internet. Wajar, untuk apa membaca buku yang bahkan internet bisa menyediakan lebih lengkap? Jadi, tanyakan hingga lima kali WHY ketika memutuskan naskah tersebut mau terbit. Kira-kira akan menjadi seperti ini:
- Mengapa naskah ini harus terbit?
- Seriusan, mengapa naskah ini harus terbit?
- Ini bagus sih, tapi mengapa harus diterbitkan sekarang?
- Mengapa saya melihat naskah ini terus, emangnya harus banget ya diterbitkan?
- Mengapa harus naskah ini dan bukan yang lain?
Pokoknya tanyakan terus sampai manteb. Kalau memang lolos dari semua sisi, lanjutkan. Kalau masih ada beberapa hal yang mengganjal, ya urungkan.
Begini. Mari belajar dari konsep SEO. Dalam prinsip SEO, ada sebuah aturan sederhana: siapa yang bisa menyajikan konten terbaik, terlengkap, dengan angle yang unik, akan menjadi rajanya. Teknik black hat ataupun grey hat manapun tak akan sanggup mengalahkan konten seperti ini. Jadi, please, terbitkan hanya buku yang memang “seharusnya untuk diterbitkan”. Mengapa? Karena ada beberapa naskah yang hanya layak untuk masuk artikel di blog dan ada yang layak menjadi sebuah buku. Pahami kedua hal tersebut dengan benar.
Ubah mindset. Penerbitan adalah industri berbasis konten. Produknya adalah konten, dan bisnis konten adalah bisnis yang asyik dan masa depan banget. Artinya, saat kita berhasil membuat satu konten, bisa kita kembangkan dalam bentuk yang lain. Misalkan, nih produknya adalah buku. Bisa dikembangkan menjadi video, di mana video memiliki bentuk monetizing-nya sendiri. Sudah ada gambaran, kan? Bayangkan, sekejap lagi kita tak akan mengetikkan tutorial di Google Search, tetapi di YouTube. Soon all content will be video!
Seperti kata Zuckerberg, “Most of the content 10 years ago was text, and then photos, and now it’s quickly becoming videos. I just think that we’re going to be in a world a few years from now where the vast majority of the content that people consume online will be video.”
Pembahasan pada bagian ini sangat panjang sebenarnya, tetapi saya cukupkan sekian. Mungkin lain waktu akan saya bahas secara khusus.
Pemaksimalam social media marketing. Membuat dan mengelola Facebook Group, Facebook Fans Page, Twitter, Telegram Channel, Instagram, YouTube, dan lainnya. Isinya? Macam-macam. Beberapa rekomendasi saya adalah: informasi dari produk-produk terbaru, profiling penulis, survei, kontes kecil-kecilan misalkan hanya berhadiah satu buku dan jumlah pemenangnya pun hanya satu, dan hal-hal lainnya. Ada banyak strategi, pelajarilah sendiri.
Pemaksimalan email marketing. Nah, ini yang sering terlupa, mengelola email alias email marketing. Padahal, jika Anda tahu betul bagaimana memanfaatkan “data” ini, Anda tak perlu ke sana dan ke sini untuk gugup memasarkan produk karena “kuncinya” sudah Anda pegang, yakni “data”.
Pemaksimalan website. Informasinya mencakup buku terbaru, profil penulis, profil penerbit, artikel-artikel yang terkait dengan dunia penulisan dan industri penerbitan. Selain itu, ada toko online-nya. Memiliki toko buku online sendiri? Ngapain? Karena Anda bisa mengolah datanya misalkan dari Facebook Pixel dan email marketing. Data pembeli dan pembaca, semua milik Anda. Apa sih yang lebih penting dari data? Nggak ada. Makanya, mati-matian Lazada, Tokopedia, semua bakar duit. Untuk apa? Ya untuk mendapatkan dan merawat data user-nya. Emang apalagi? Mereka memainkan kurva J. Bakar duit alias rugi hanyalah soal strategi sesaat. Akan tetapi, saat masanya sudah tiba, mereka akan melesat tak terhentikan. Persis seperti huruf J.
Merangkul affiliate marketer. Pola distribusi konvensional menghabiskan waktu dan nggak relevan lagi. Penetrasi digital sudah sedemikian kencang. Saatnya merangkul affiliate marketer untuk pemasaran. Dengan begitu, kita tak perlu membawa buku ke cabang-cabang di daerah-daerah. Lha wong semuanya sudah terkoneksi dengan internet. Dalam era disrupsi, kita hanya memiliki dua pilihan: 1) melakukan inovasi dari produk atau layanan yang sudah Anda miliki; dan 2) memiliki inovasi yang sesuai dengan kebiasaan konsumen. Betul, kan?
Bekerja sama dengan pusat kantong naskah. Beberapa waktu lalu, saya ditelepon oleh pengurus pusat Akademi Trainer mengenai sebuah project. Nah, Akademi Trainer ini memiliki puluhan ribu alumni trainer yang sudah mengikuti pelatihan berjenjang yang mereka adakan. Seperti inilah contoh kantong naskah. Kita langsung menghubungi pusat di mana “aset” itu berada. Kita tinggal menawarkan kerja sama ekslusif dengan mereka. Menyortir siapa trainer paling potensial yang bisa kita kerja samakan untuk penggarapan naskah. Ulangi pola seperti ini pada pusat kantong naskah yang lainnya. Misalkan, pusat kantong naskah tema startup, dan sebagainya. Dari tempat-tempat seperti inilah kita bisa memantau, seperti apa kecenderungan mereka dan konten seperti apa yang dibutuhkan pasar. Insting industri perbukuan sangat berperan di sini.
Bersiaplah selalu dengan tren ke depan. Indonesia tertinggal 10 tahun dari Amerika soal tren. Di sana sudah lama soal startup, kita baru beberapa hadir buku bertema itu. Bersyukurlah yang berhasil membaca tren tersebut dan bisa menguasai pasar. Nah, ada satu tren ke depan, yakni podcast. Di luar negeri, hal ini sudah mulai mewabah. Patut dimaklumi, mengingat kita ini overload informasi hingga bingung mana yang harus dibaca terlebih dahulu atau mana yang sebenarnya layak dikonsumsi. Jadi, podcast adalah solusi terbaik. Di Indonesia, ada apps yang bernama Listeno yang sudah mencoba masuk ke tren ini. Memang, sih, tren di Indonesia belum sekental di luar. Akan tetapi, beberapa tahun ke depan, akan masif. Persiapkan diri sejak sekarang.
Pagi tadi saya di-WA teman. Ia mengabarkan bahwa pre-order bukunya hanya dalam waktu dua minggu mendapatkan pesanan sebanyak 19.000 eksemplar, padahal satu bukunya dijual dengan harga Rp129.000.
Monggo dikalikan saja. Padahal, penerbit ini tak rutin menerbitkan buku. Mungkin hanya sebulan sekali. Akan tetapi, sekali terbit, akan mengalahkan penerbit yang “mabuk judul”. Padahal pula, buku ini tak terlalu tebal, kertasnya book paper, dan tidak full color! Kok bisa “semahal” itu bukunya? Dan edannya lagi, kok bisa laku, gitu!
Bagaimana ia bisa mendapatkan pesanan buku sebanyak itu? Ya, sebagaimana yang sudah saya paparkan di atas. Pemaksimalan semua channel, perawatan “kolam pembaca” yang baik, dan teknik promosi yang kekinian. Sebuah cara sederhana yang siapa pun bahkan dapat menirunya asalkan mau. Tanpa masuk ke Gramedia. Tanpa membayar biaya distributor yang mencekik. Patut kita garis bawahi juga, ini adalah buku pre-order. Jadi, ia mendapatkan kepastian pembeli. Menarik, bukan?
Yak, tantangan dari penerbit sekarang adalah penulis dengan model seperti ini. Penulis yang mengerti bagaimana mudahnya menjual secara langsung kepada konsumen berbekal internet. Penerbit yang “besar” biasanya memiliki birokrasi yang berbelit sehingga sulit berhadapan dengan “momentum”. Akibatnya, akan dengan mudah dilibas oleh penerbit yang timnya kecil, namun sudah menyiapkan semua aspek pemasarannya dengan cara modern, kekinian, dan tepat sasar. Jadi, penerbit “besar” yang masih saja terbuai cerita masa lalu, dengan birokrasi super rumit, tidak memanfaatkan momentum, tak pandai menangkap peluang, ya akan tetap koyo ngono wae. Tinggal menunggu senjakala.
Baiklah, saya cukupkan sekian. Untuk belajar cara menulis buku silakan saja klik tautan ini, ya. Yuk diskusi biar gereget 😉
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!