Sebagaimana tertera dalam kitab Ghidzâ’ Al-Albâb, As-Safarayani yang menukil dari Ibnul Jauzi menuturkan kisah unik nan menarik sebagaimana berikut.
Ahli sejarah bernama Abdul Wahid berkisah bahwa ia dan teman-temannya pernah berlayar dengan sebuah kapal.
Begitu tiba di tengah laut, tiba-tiba kapal pecah dan mereka terdampar ke sebuah pulau di tengah laut.
Di sana mereka mendapati seorang lelaki yang sedang menyembah patung.
Mereka bertanya kepada lelaki itu, “Apa yang kamu sembah?”
Lelaki itu menunjuk ke patung tersebut. Ia balik bertanya, “Lantas apa yang kalian sembah?”
Abdul Wahid dan teman-temannya menjawab, “Kami menyembah Allah, yang singgasana-Nya di langit, kekuasaan-Nya di bumi, dan keputusan-Nya berlaku untuk semua yang hidup dan yang mati.”
Lelaki itu bertanya penasaran, “Apa bukti kalian akan hal itu?”
Abdul Wahid menjawab, “Dia telah mengutus seorang Rasul kepada kami.”
“Di mana utusan tersebut?” tanyanya lagi.
“Ia telah diwafatkan oleh Allah,” jawab Abdul Wahid.
“Lalu, apa bukti kalian yang menunjukkan Dia ada?” tanya lelaki itu lagi. Ia justru penasaran.
“Ia wariskan sebuah kitab bersumber dari Allah, Sang Raja, untuk kami.” Jawab Abdul Wahid, tegas.
“Perlihatkan kitab itu kepadaku!” pintanya.
Abdul Wahid kemudian menyodorkan sebuah mushaf Al-Qur’an kepadanya.
“Wah, aku tidak bisa membaca tulisan seperti ini!” kata lelaki penyembah berhala tersebut.
Akhirnya, Abdul Wahid membacakan kepadanya salah satu surat dalam Al-Qur’an.
Begitu mendengar bacaan Al-Qur’an, lelaki tersebut justru menangis dan berujar, “Sungguh, yang perkataannya seperti ini tidak layak ditentang.”
Abdul Wahid kemudian mengajarkan kepadanya syariat-syariat Islam. Shalat bersama, dan beranjak tidur di daerah tersebut.
Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah Tuhan yang kalian sembah itu tidur?”
“Tuhan kita Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri. Dia tidak tidur,” jawab Abdul Wahid.
“Sungguh, kalian adalah hamba yang kurang ajar. Tuhan kalian tidak tidur, sementara kalian malah tidur?” Lelaki tersebut menghardik Abdul Wahid dan kawan-kawannya.
Abdul Wahid benar-benar takjub dengan lelaki ini.
Setelah beberapa lama, Abdul Wahid dan teman-temannya berhasil sampai di sebuah tempat bernama Abadan. Mereka menggalang dana untuk diberikan kepada lelaki itu.
Ketika dana tersebut hendak diberikan kepadanya, lelaki tersebut justru berkata, “Mahasuci Allah, kalian menunjukkan kepadaku jalan yang belum pernah aku tempuh! Dulu aku menyembah patung dan Allah tidak menelantarkanku! Mana mungkin Dia akan menelantarkanku setelah aku mengenal-Nya?”
Sekali lagi Abdul Wahid dibuat takjub oleh sikap lelaki tersebut.
Hingga suatu ketika, lelaki ini jatuh sakit. Abdul Wahid dan teman-temannya pun pergi ke rumahnya untuk menjenguk. Mereka bertanya kepadanya, “Apakah engkau butuh bantuan?”
Lelaki tersebut menjawab, “Tuhan yang kalian tunjukkan kepadaku sudah memenuhi semua kebutuhanku.”
Tak lama kemudian, tutur Abdul Wahid, lelaki itu meninggal.
Dalam mimpi, Abdul Wahid melihatnya berada di sebuah tenda dan di sampingnya ada seorang wanita. Lelaki tersebut berkata, “Salam sejahtera untukmu karena kesabaranmu, sungguh itulah sebaik-baik negeri akhir.”
***
Dari kisah ini, kita bisa merasakan apa yang terjadi ketika ayat-ayat mampu menembus lubuk hati seseorang. Ia bisa mengubah jalan hidup dan cara berpikir seseorang. Ia menjadikan diri malu kepada Allah, bertawakal dan kembali kepada-Nya di waktu siang dan malam.
Sehingga, hati tidak akan lagi tergantung dengan makhluk dalam mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Orang seperti ini tidak akan rugi dan terlantar, tidak akan sengsara baik ketika di dunia ataupun di akhirat.
Bahkan, sangat mungkin ia mampu mengungguli orang lain yang keislamannya lebih dulu, karena keajaiban imannya.
Dulu, kita bukan siapa-siapa dan tak tahu apa-apa. Hingga Ia memberi pengetahuan kepada kita. Dulu, kita bukanlah siapa-siapa. Hingga kita menekuri ayat-ayat-Nya, dan mendapati keindahan, ketenangan, keagungan, dan kehalusan rasa jiwa. Hingga kita dapat merasai hidup. Lebih baik. Lebih murni. Karena memang, dari kefaqihan, akan terlahir ketenangan jiwa dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
Perlahan, kita memiliki hati yang jernih untuk tak bergantung kepada selain-Nya. Dan itu adalah sebuah anugerah besar. Apalagi di saat-saat krisis menerpa diri. Saat kantong terasa tipis. Saat harapan esok hari terasa segaris.
Mari merawat diri dengan hanya bergantung kepada-Nya. Hanya mengabdikan diri menyembah-Nya. Agar hari-hari tak terbaluri kenirmaknaan dan hati yang senantiasa was-was dan curiga dengan segala ujian dari-Nya.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!
