Rindu Kami kepadamu Ya Rasulullah – Heraklius, penguasa Romawi Timur itu tertakjub. Lisannya meruahkan gemetar heran yang amat. Dituturkannya komentar mengenai Rasulullah Muhammad itu kepada Abu Sufyan, padahal mereka berdua sama-sama belum masuk Islam kala perbincangan itu terjadi.
Sifat kebaikan yang tampak dari Abu Sufyan dalam episode percakapan ini adalah kejujuran Abu Sufyan yang belum berstatus sebagai muslim dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Heraklius.
“Aku sudah menanyakanmu tentang nasabnya,” kata Heraklius takzim, “lalu engkau katakan bahwa dia adalah orang yang terpandang di antara kalian. Memang, begitulah para Rasul diutus pada suatu nasab dari kaumnya.”
Heraklius mengela napasnya, lalu tutur itu terlanjut lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu apakah pernah ada di seseorang di antara kalian sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya, lalu engkau mengatakan tidak ada. Andaikan ada, tentu kukatakan bahwa memang ada orang yang meniru-niru perkataan yang pernah disampaikan sebelumnya.
Di depannya, Abu Sufyan terangguk pelan, memberi senyum mengiyakan. Heraklius kemudian melanjutkan lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja. Engkau katakan tidak ada, walaupun ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, tentu akan kukatakan memang ada di sana seseorang yang sedang mencari-cari kerajaan bapaknya! Aku sudah menanyakan kepadamu apakah yang mengikutinya orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang lemah. Engkau katakan orang-orang yang lemah yang mengikutinya. Memang, begitulah pengikut para Rasul. Aku sudah menanyakan kepadamu apakah ada seseorang yang murtad dari agamanya karena benci kepada agamanya itu setelah memasukinya. Engkau katakan tidak ada, begitulah, kalau iman sudah merasuk ke dalam hati. Aku sudah menanyakan kepadamu apakah ia pernah berkhianat, engkau katakan tidak pernah. Memang begitulah para Rasul yang tak pernah berkhianat. Aku sudah menanyakan kepadamu apa yang ia perintahkan. Engkau katakan, bahwa dia menuruh kalian untuk menyembah Allah, tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya, dan melarang kalian menyembah berhala, menyuruh kalian mendirikan shalat, bershadaqah dan menjaga kehormatan diri.”
Kali ini, suara Heraklius terdengar berat dan penuh getar, “Jika yang kau katakan ini benar, maka dia akan menguasai tempat kediaman kakiku berinjak ini. Jauh-jauh sebelumnya aku sudah menyadari bahwa orang seperti dia akan muncul. Tetapi, aku tidak menduga, bahwa ia akan muncul dari kalangan kalian. Andaikan aku bisa bebas bertemu dengannya, andaikan aku berdiri di hadapannya, tentu akan kubasuh kedua telapak kakinya ….”
Al-Amin, gelar prakenabian itu, adalah kebenaran yang tak bisa di cacatkan para pengingkar ayat-ayat-Nya. Maka kita mendapati, orang-orang musyrik itu tidaklah sedang mendustakan bukti nyata sosok mulia Muhammad yang sedang berada di hadapannya, akan tetapi mereka hanyalah gerombolan orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya.
“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Al-An’am [6]: 33)
Baca juga: Nabi Muhammad Ternyata Kaya Raya
Dari segi fisik, Rasul memang sangatlah menarik. Hingga penampilan fisik beliau sangatlah sulit untuk diuraikan dengan kata-kata. Tirmidzi dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah, “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih bagus dari Rasulullah. Seakan-akan sang mentari merambah di wajahnya.” Hal ini senada dengan apa yang dikata oleh As-Syaikhani yang meriwayatkan dari Al-Barra’, “Rasulullah adalah orang yang paling bagus wajahnya. Paling baik dari ciptaan-Nya. Beliau tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek.”
Beliau memang keindahan yang mencengangkan. Dari segi kualitas kepribadian, beliau mempunyai syakhsiyah (kepribadian) sebagai seorang Rasul seperti demikian:
Pertama, as-shidq. Tentu sangat mustahil bila seorang Rasul mempunyai sifat pembohong. Jangankan menjadi sifat, sekali saja pernah melakukan kebohongan, ajarannya sangat patut untuk dipertanyakan.
Kedua, al-iltizamul kamil. Sifat mendasar Rasulullah yang lain adalah komitmen yang luar biasa dari beliau terhadap perintah-perintah Allah. Dalam sirah nabawiyah, kita bisa menyaksikan ketaatan yang luar biasa dari beliau dalam melaksanakan perintah dan contoh kedisplinan beliau dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah di tetapkan oleh Allah. Yah, karena beliau adalah the living qur’an. Sebagaimana komentar terkenal dari Aisyah, “Sesungguhnya akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Tidak pernah ada dalam kamus beliau untuk mendurhakai Allah. Satu kali pun! Namun, justru sebaliknya. Ketaatan demi ketaatan yang secara terus menerus beliau bangun secara konsisten telah beliau contohkan kepada umatnya. Maka, jadilah beliau menjadi orang yang pertama menjalankan yang Allah perintahkan, dan menjadi orang pertama pula dalam meninggalkan larangan-Nya. Antara apa yang diucapkan oleh beliau dengan amalnya tiadalah jarak. Apa yang beliau ucapkan, beliau pasti telah melaksanakan.
Ketiga, tabligh. Maksudnya adalah kualitas beliau sebagai penyampai ajaran Islam kepada manusia. Sejak di Mekah, Rasul melakukan tabligh dengan gigih dan tak kenal lelah. Pernah mendakwahi individu per individu, per kabilah, dan juga ke tempat-tempat umum tempat manusia biasa berkumpul. Beliau juga mengirimkan utusan-utusan ke daerah-daerah. Juga mengirmkan surat kepada para pemimpin-pemimpin negara-negara lain agar mau tunduk kepada Allah. Strategi-strategi dakwah beliau demikian brilian.
Keempat, fathanah. Cemerlang nian akal beliau. Sebagai seorang pembawa risalah Allah, sifat ini sangat mutlak diperlukan. Tentu saja, jikalah pembawa risalah adalah orang yang bodoh dan dungu juga bebal, bagaimana dakwah bisa tersampaikan? Karena musuh-musuh Allah selain melawan dengan senjata, juga melawan dengan retorika dan logika yang menjungkir-balik fakta. Dengan kecerdasan yang dimiliki beliau, tentulah segala argumen yang tidak mutu dan bertentangan dengan syariat akan dengan mudah dipatahkan.
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’ [4]: 165)
Ar-rasulu Qudwatuna; Rasulullah adalah teladan kita. Dan, ketika kita begitu merindukan untuk bertemu dengan beliau, sesungguhnya, beliau mempunyai rindu yang lebih menggelegak daripada kita.
Apa sebab?
Dalam sebuah hadits di jelaskan, bahwa ini semua dikarenakan kita belum pernah bertemu dengan beliau tapi dengan sangat yakin kita mengimaninya dan mau mengikuti sunnahnya. Maka, sangat pandir dan hinalah, yang Rasulullah begitu merindukannya, namun dengan cueknya, kita justru selalu menyelisihi sunnahnya. Ada banyak sunnah beliau yang belum kita jalankan. Ada banyak keteladanan dari Rasulullah yang belum sempat kita ikuti, tapi mengapa banyak dari kita yang justru mengambil hal-hal bid’ah yang bukan hanya membuat kita lelah tanpa upah dari Allah, tapi juga harus memaksa kita untuk mempersiapkan tempat duduk di neraka?
Janganlah heran, ketika para salafus shalih selalu menangis tersedu-sedu ketika melihat atsar dari peninggalan Rasulullah di Madinah dan tempat-tempat bersejarah di sekitarnya. Bukan apa-apa, tapi karena kerinduan untuk bertemu dengan beliaulah yang mendasarinya. Di sana, ada napak tilas perjuangannya yang amat menyentuh.
“Sungguh sangat aneh kalian ini, batang kayu saja rindu kepada Rasulullah. Sementara kalian, tak pernah merindukannya!” Kata Imam Hasan Al-Bashri suatu kali.
Apa sebab Imam Hasan berkata seperti itu?
Pada suatu hari, Rasulullah berdiri di atas mimbar baru dan menyampaikan khutbah di atasnya. Sedangkan di samping beliau, ada sebatang kayu yang tak lain adalah mimbar lama. Tiba-tiba, di tengah khutbah, kayu tersebut mengeluarkan suara seperti rengekan anak kecil. Demi melihat hal tersebut, Rasul kemudian turun dan menenangkannya.
Ah, betapa mengharukannya. Sebatang kayu saja sedemikian rindunya. Sekebas apa iman kita hingga kalah dari sebatang kayu tersebut?
Allahumma shalli ’ala muhammad ….
Duhai diri yang masing sering terjerat maksiat. Masih saja telat shalat berjamaah menghadap kiblat walau di masjid terdekat. Selalu saja mengeluh akan nikmat. Dan senantiasa menjauhi agenda-agenda ketaatan padahal waktu masih sempat dan badan yang masih sehat.
Mari terus berbenah diri dan terus menyadari, bahwa hidup di dunia sungguhlah hanya sekali, ada akhirat yang menanti, tempat di mana diri berhidup abadi. Mari mempersiap bekal dan memperbanyak amal, dengan energi terbaik.
Baca juga: Menyala Lagi Cahaya Cordoba
Mari selalu menjadikan Rasulullah Muhammad sebagai teladan utama, karena memang beliaulah teladan yang patut diikuti dalam setiap episode kehidupannya. Cara berkehidupan yang telah beliau contohkan adalah keteladanan yang melahirkan sejatinya kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Cara-cara penuh kemuliaan yang selalu diaksikannya, tak hanya menginspirasi umatnya saja, namun juga selainnya. Hingga, menjelmalah dalam keabadian, Rasulullah senantiasa menjadi teladan, dan terus nan tetap akan menjadi teladan.
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128)
Di tengah gempuran hidup yang makin membuat kita tergesa-gesa, kita lupa untuk membeningkan diri lagi, seolah tak sempat bersejenak untuk bermesra-mesra lagi dengan-Nya. Mari terus berdoa, agar ilmu-ilmu agama senantiasa mengalir deras dalam telaga iman kita. Agar pemaham-pemahaman yang sesuai dengan keinginan-Nya terus terjagai hingga khusnul khatimah menjadi akhir hidup kita. Agar setiap amal ibadah yang terus kita usahai, mampu menjelma sebagai penjernih hati, pembening nurani, penguat cinta, dan pengukuh taqwa kepada-Nya.
Bila mencintai adalah hak Rasulullah dari umatnya, maka mengikuti sunnah Rasulullah adalah sebagai bukti cintanya. Sebagaimana jika sesorang mencintai sesuatu membutuhkan bukti, cinta kita kepada Rasulullah pun membutuhkan bukti yang jelas.
Oleh karena itu, Allah akan menerima cinta hamba-Nya ketika cinta tersebut telah dibuktikan dengan jelas dalam bentuk ittiba’ kepada Rasulullah.
Bukti cinta kepada Rasulullah adalah dengan bening diri ini mengikuti segala sunnahnya. Dengan tunduk diri ini terhadap segala larangan dan perintahnya. Dengan jernih tidak mencampur-adukkan antara yang haq dan bathil. Serta dengan riang mengikuti perkataan, perbuatan, dan ketetapan-ketetapan beliau. Karena segala yang telah dicontohkannya adalah perintah Allah yang berarti wajib bagi kita untuk jua melakukannya.[]
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!
