QIYAMUL LAIL – Malam kini tidak lagi menjadi idaman orang-orang mukmin. Malam kini menjadi sepi akan air mata penyesalan hambanya yang telah melakukan maksiat di siang hari. Malam kini tak lagi mendapat tempat istimewa di hati orang-orang mukmin.
Padahal, jika melihat sejarah salafush shalih dan tuntunan agama, ada satu tali yang umat ini terlupa. Ada satu ibadah yang Allah dan Rasul-Nya telah menjanjikan pahala yang luar biasa. Ada satu ibadah yang sampai-sampai Rsulullah beserta para sahabatnya yang mulia dan orang-orang shalih yang setelahnya berusaha dengan ‘mati-matian’ agar tidak pernah satu malampun terlewat tanpa melaksanakan satu ibadah yang syarif ini. Dan ibadah itu bernama: qiyamul lail.
Qiyamul lail adalah salah satu ibadah yang luar biasa hebatnya dalam upaya meningkatkan kualitas keimanan dan upaya untuk bertaqarub kepada Allah. Orang-orang yang biasa mendekatkan diri kepada Allah, akan dikaruniai kekuatan mata hati yang tajam. Sehingga dengan mudah ia bisa menilai, apakah sesuatu itu baik atau buruk.
Di tengah gemerlapnya nilai kehidupan yang semakin rancu seperti saat ini, tidaklah mudah menjadi orang yang sensitif terhadap nilai-nilai keburukan. Betapa banyak orang yang tidak punya pembeda. Sungguh, betapa banyaknya.
Apa Itu Qiyamul Lail?
Qiyamul lail adalah solusi. Apabila umat ini mampu melaksanakan qiyamul lail, maka bukanlah tidak mungkin, jamaah shalat subuh di masjid bukan hanya di isi oleh satu sampai dua baris saja. Namun, shalat subuh sudah pasti akan seperti shalatJum’at yang jamaahnya melebihi kapasitas masjid tersebut.
Mengapa?
Karena qiyamul lail adalah pengambilan energi iman pertama sebelum menapaki getirnya siang hari. Dan qiyamullail adalah kekuatan ruhani positif pertama sembari menunggu pagi dengan bermunajat mesra kepada-Nya.
Suatu hari, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sedang shalat fajar di Kufah. Ketika selesai shalat, tiba-tiba dia berpaling ke sebelah kanan dan diam seakan-akan beliau sedang bersedih. Hingga ketika telah sampai matahari menyinari dinding masjid setinggi tombak, beliau membalikkan tangannya seraya mengadu:
“Saya telah melihat bekas sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia, dan aku tidak melihat seorangpun yang sanggup menyerupai mereka. Demi Allah, di pagi hari mereka kelihatan lusuh, dekil dan begitu pucat, hingga diantara kedua matanya ada bercak hitam. Di malam hari mereka membaca Kitabullah dan bersimpuh dengan kaki dan kening mereka. Jika menyebut asma Allah mereka tunduk seperti tunduknya pohon ketika tertiup angin, mata mereka sembab hingga membasahi baju mereka. Demi Allah, seakan kaum pada saat ini tidur dalam keadaan lalai dan tidak bangun malam untuk mengerjakan shalat.”
Yah, sungguh amatlah benar perkatan Ali bin Abi Thalib, umat sekarang ini telah meninggalkan salah satu ibadah yang paling dicintai oleh Rasulullah, padahal generasi sahabat telah memberikan teladan yang patut untuk diikuti. Dan kepedihan akan musibah ini pun telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar, “Sesuatu yang pertama kali berkurang dari ibadah adalah bertahajud di malam hari dan membaca Al-Qur’an di dalamnya.” (HR. Bukhari)
“Pada masa tabiin dahulu,” kisah Abu Al-Ahwash, “orang-orang lebih mengutamakan menghidupkan malam sehingga terdengarlah dengungan seperti dengungannya para lebah dikarenakan tahajjud mereka. Lalu, mengapa orang-orang yang hidup sesudah masanya tidak bangun malam dan merasa aman dari apa yang mereka takutkan (yaitu neraka) sehingga mereka tidak bangun malam?”
Banyak malam-malam telah berlalu, tapi tak sedikitpun meninggalkan penyesalan karena tidak dapat meraih sejuta berkah di dalamnya. Padahal, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah telah menasihati, “Bumi berguncang dan langit gelap gulita. Kerusakan tampak di darat dan laut karena kezhaliman mereka terhadap diri sendiri. Barakah hilang, kebaikan berkurang, dan kehidupan mengeruh karena kezhaliman. Cahaya siang dan kegelapan malam menangis karena dosa, kemaksiatan dan amal perbuatan tercela. Orang-orang yang mulia dan beriman mengadu kepada Rabb mereka tentang banyaknya kejahatan, kemunkaran dan kejelekan yang terjadi. Demi Allah, ini adalah peringatan tentang azab Allah yang telah lepas dari talinya dan penyeru bahwa kegelapan malam telah datang, maka jauhilah jalan ini dengan cara bertaubat selama taubat masih memungkinkan dan pintunya masih terbuka. Jika kematian telah datang, maka tertutuplah pintu itu dan habislah masa untuk bertaubat. Sehingga, hanya berakhir dengan kepedihan.”
Shalat malam adalah ibadah yang Rasulullah tidak pernah meninggalkanya walaupun dalam keadaan sakit. Namun sekarang, kita umatnya ini, pun kalah dengan empuknya kasur dan mimpi-mimpi. Padahal, shalat malam adalah energi kemenangan yang paling dahsyat.
Mari menyeksamai sejarah untuk membuktikannya.
Ketika Romawi jatuh ke tangan kaum muslimin, Raja Romawi berkata kepada tentara-tentaranya, “Mengapa kalian kalah? Bukankah jumlah musuh lebih sedikit dari jumlah kalian?”
Salah seorang pembesar Romawi menjawab, “Ini semua dikarenakan mereka bangun malam dan berpuasa di siang harinya!”
Cerita tersebut tak jauh berbeda dengan cerita kemenangan tentara Islam ketika membebaskanSuriah. Sang Raja melarikan diri dari Suriah ke ibukota kerajaannya.
“Ceritakan kepadaku tentang orang-orang Islam, mengapa mereka mudah sekali menang atas kita?” pinta sang Raja kepada tentaranya.
“Saya akan ceritakan kepada engkau wahai Raja dan bayangkan seakan-akan engkau melihat mereka. Mereka adalah pasukan di siang hari dan pendeta di malam harinya. Tidak makan dalam tugas mereka kecuali secukupnya. Dan tidak masuk kecuali dengan salam. Mereka menerjang siapa saja yang memeranginya hingga menang atasnya!”
Raja berkata, “Jika apa yang kamu katakan itu benar, pasti mereka akan menguasai negeri yang kedua kakiku ini menginjak di atasnya!”
Ketika orang-orang Perancis mengambil wilayah Al-Quds, beberapa orang Islam masuk kota Quds untuk berziarah. Lalu mereka mendengar orang-orang Perancis berkata, “Sesungguhnya Nuruddin Zanki mempunyai rahasia dengan Allah! Dia tidak menang dengan kita karena banyaknya tentara, tetapi menang atas kita karena doa dan shalat malam. Dia shalat malam dan mengangkat tangannya kepada Allah dan berdoa. Allah pun mengabulkan doanya dan memberikan permintaaannya sehingga bisa menang atas kita.”
Tak jauh berbeda. Inilah rahasia kemenangan Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan perang Salib.
Penuturan kisahnya kita simak dari Al-Qadhi Bahauddin.
Jika Shalahuddin mendengar bahwa musuh telah menekan kaum muslimin atau mendekati waktu peperangan dengan orang-orang Kristen. Malam harinya dia berpikir keras memecahkan masalah umat Islam dengan bersujud dan berdoa di malam sujudnya. ‘Ya Allah, semua urusan duniaku telah putus untuk menolong agama-Mu. Maka, tidak tersisa bagiku kecuali keabadianku di sisi-Mu. Berpegang teguh kepada tali-Mu. Dan bersandar kepada karunia-Mu. Hanya Engkaulah tumpuan dan harapanku’.”
“Saya melihatnya bersujud dan air matanya menetes diatas jenggotnya, kemudian di atas sajadahnya,” lanjut Bahaudin, “Dan aku tidak mendengar apa yang dikatakannya. Tidak henti-hentinya dia melakukan hal itu kecuali datang berita kemenangan atas musuh-musuhnya!”
Itulah rahasia kemenangan umat Islam. Rahasia malam telah mereka kuak, dan menggetarkan siapa saja yang menjadi musuh Al-Haq. Dan begitulah seharusnya para penegak kalimatullah, juga orang-orang yang telah berikrar untuk menolong dan membela agama ini, karena saat itulah kedekatan hamba dan Rabb-Nya begitu terasa.
“Saya melihat suatu kaum yang malu kepada Allah jika dia tidur terlalu lama di malam hari,” kata Fudhail Bin Iyadh, “Dia sedang tidur, ketika bangun dari tidurnya dia berkata, ‘Ini tidak seharusnya kamu lakukan, bangun dan ambilah bagianmu di akhirat!’.”
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. Sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.”(Adz-Dzariyat [51]: 15-17)
Kita sedih ketika kehilangan harta benda. Kita ini sedih ketika kehilangan harta yang dicintai. Kita ini sedih ketika kehilangan sanak saudara yang meninggal dunia. Namun, kita ini tidak sedih ketika kehilangan malam tanpa ada qiyamullail di dalamnya. Bukankah generasi shalih telah mengajarkan kemuliaan ini?
Bahkan, suasana lomba dalam kebaikan benar-benar terjadi di kalangan salaf. Sampai sampai berkata, “Jika seseorang mendengar bahwa ada orang lain yang lebih taat darinya, dia menjadi sangat bersedih!”
Subhanallah, suasana itulah yang umat ini perlukan. Saling menasihati akan kebaikan. Dan selalu berusaha istiqamah dalam beribadah kepada-Nya, sebagaimana imam-imam besar yang telah menghidupkan malamnya.
“Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya dan menangis hingga tetangga-tetangganya merasa kasihan kepadanya,” kisah Khatib Al-Baghdadi, “Diberitakan secara mutawatir tentangnya bahwa dia menghidupkan seluruh malamnya hingga tukang cucinya berkata setelah selesai mencuci, ‘Kamu telah memberatkan orang sesudahmu dan mengalahkan para pembaca Al-Qur’an’.”
“Saya pernah bersama Imam Bukhari dalam sebuah perjalanan dan singgah dalam satu rumah,” kisah Muhammad bin Abi Hatim Al-Warraq, “Aku melihatnya dalam satu malam bangun lima belas hingga dua puluh kali. Setiap kali ia bangun ia mengambil batu bara lalu menyalakan api ditangannya dan menyalakan lampu. Kemudian mentakhrij hadits kemudian meletakkan kepalanya untuk tidur. Di waktu sahur beliau shalat sebanyak tiga belas rakaat dengan satu witir. Dia tidak membangunkanku di setiap dia bangun. Aku katakan kepadanya, ‘Kamu melakukan itu untuk dirimu sendiri tetapi mengapa tidak membangunkanku?’. Dia menjawab, ‘Kamu masih muda, maka aku tidak senang merusak tidurmu’.”
Ibnu Abdul Hadi, murid Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang kehidupan malam gurunya. “Pada malam hari, dia mengasingkan diri dari manusia dan menyendiri bersama Rabbnya. Dalam keadaan khusyuk dan tunduk seraya membaca Al-Qur’an dengan mengulang-ulang berbagai macam ibadah malam dan siang. Jika memasuki waktu shalat anggota badannya gemetar hingga condong ke kanan dan kekiri.”
Ibnu Rajab Al-Hambali dalam menggambarkan keadaan gurunya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam beribadah juga tak kalah luar biasa, “Beliau rajin dalam beribadah, bertahajud, dan shalat yang panjang hingga mencapai puncak. Aku tidak pernah mendapai seseorang yang sepertinya dalam beribadah. Begitu pula dalam pengetahuannya terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Serta hakikat keimanan, dia tidak ma’shum, tetapi aku tidak menemukan makna lain selainnya.”
“Wahai Dawud,” firman Allah pada Nabi Dawud, “sesungguhnya Aku memiliki beberapa hamba yang Aku cintai dan mereka pun mencintai Aku. Aku merindukan mereka dan merekapun merindukan Aku. Jika kamu ikuti mereka wahai Dawud, Aku pun akan mencintaimu. Dawud pun berkata, “Ya Rabbi, tunjukkanlah mereka kepadaku.”
Allah berfirman, “Mereka menjaga keterasingan di waktu siang dan merindukan malam hari sebagaimana burung-burung merindukan sarangnya. Sampai tatkala tiba waktu malam dan setiap orang menyendiri bersama kekasihnya, mereka pun menggelar wajah dan menegakkan telapak kaki untuk menyendiri dengan-Ku bersama firman-firman-Ku dan mendekat kepada-Ku dengan nikmat-nikmat-Ku. Mereka ada yang merintih, ada yang menangis, ada yang menengadah, serta ada yang bergetar. Tahukah kamu wahai Dawud, Aku memberi mereka tiga hal. Pertama, kalaulah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh ditimbang dengan mereka di hari kiamat, Aku pasti akan memberatkan mereka. Kedua, Aku pancarkan beberapa cahaya-Ku di wajah dan hati mereka. Dan ketiga, aku menatap mereka dengan wajah-Ku. Tahukah kamu Dawud, orang yang Aku tatap dengan wajah-Ku, adakah seseorang pun yang akan tahu apa yang akan Aku berikan kepadanya!”
Mari merajut malam-malam yang penuh berkah dengan rajutan iman yang membara dan azzam yang kuat untuk melaksanakannya. Semangat yang tak pernah luntur, semangat yang senantiasa menghimpun kekuatan bathiniyah yang semakin menyadarkan bahwa diri ini kecil di hadapan-Nya. Bahwa diri ini begitu hina dan selalu membutuhkan pertolongan-Nya.
“Sesiapa memperlama shalat malamnya, niscaya Allah akan meringankannya saat berdiri pada hari kiamat kelak (di padang mahsyar),” kata Marwan bin Muhammad.
Senada, Qasim Al-Ju’i juga mewejangi, “Pokok agama adalah wara’, ibadah yang paling utama adalah shalat malam, dan jalan surga yang paling utama adalah keselamatan hati.” Dan Abu Sulaiman, akan menutup perbincangan kita dengan, “Sungguh ahli taat yang shalat malam lebih merasa nikmat daripada orang yang bersenda gurau dengan gurauannya. Kalaulah bukan karena malam, aku tidak suka berlama-lama tinggal di dunia.”
Cara Agar Ketagihan Qiyamul Lail
“Hikmah di balik dorongan untuk mengerjakan sholat malam adalah bahwa jiwa itu menjadi jernih ketika sedang mengerjakan sholat. Dengan sholat ini pula, jiwa menatap ke arah cakrawala yang lapang, dalam suasana yang hening dengan pancaran bintang-bintang di langit, yang akan meluaskan jiwa ini dari belenggu-belenggu yang membelitnya disebabkan oleh kesibukan kerja dan mencari penghidupan di siang hari. Dengan sholat ini, jiwa kita diajak untuk menghadap Sang Khaliq engan cara menyucikan-Nya, memberikan pujian kepada-Nya, memuliakan keagungan-Nya dan seterusnya. Ini semua akan menjadikan jiwa kita menjadi baik, bersih dan mendapatkan ketenangan yang sempurna.”
—Syaik Afif Abdul Fattah Thabbarah
“Ketekunan dalam mengerjakan sholat malam,” tutur Syaikh Khaththar Muhammad, “merupakan kebiasaan orang-orang shalih dan sekaligus menjadi lambang mereka. Ia merupakan jalannya orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah serta orang-orang yang bergegas dan berlomba dalam melakukan kebaikan. Hal itu disebabkan karena di tengah malam itu ada kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh ketulusan. Dengan demikian, kegiatan mendekatkan diri seroang hamba kepada Rabbnya ketika itu memiliki hukum tersendiri. Oleh karena itu, curahkanlah segala daya upayamu sebisa mungkin agar engkau termasuk orang yang berdzikrullah di waktu malam. Manfaatkanlah waktu tersebut sebaik mungkin dan tamaklah terhadapnya. Jangan sampai engkau menyia-nyiakannya. Sebab, ia merupakan perniagaan yang sangat menguntungkan dan tugas yang membawa kepada kesuksesan. Ketika itu, pintu-pintu langit dibuka dan doa-doa yang dipanjatkan dikabulkan. Pada waktu itu pula, Allah sangat dermawan untuk memberikan apa saja yang diminta dan berkenan memberikan ampunan. Akhirilah sholat malam itu dengan istighfar.”
Maka, lazimilah qiyamul lail. Buatlah diri agar selalu ketagihan berqiyamul lail. Sungguh, kemuliaan dan keberkahan mengalir di setiap aktivitas ibadah yang satu ini. Maka, lazimilah, berazzamlah, istiqamahlah. Dan tentu, ketahuilah sebab-sebab, mengapa kita harus berqiyamul lail, agar makin menguatkan niat, iman, dan juga melecut semangat.
Pengusir Lalai, Penerapi Hati
Hati menjadi lalai, manakala ia berlebih-lebihan dalam perkara mubah, bermalasan dalam melakukan ketaatan, tenggelam dalam berbagai kesenangan, dan mengabaikan munajat. Di saat kondisi seperti ini telah datang, qiyamul lail adalah terapi terbaik.
مَنْ قَامَ بِعشْرِ آيَاتٍ لمْ يُكتَبْ مِنَ الغَافِلِينَ ، ومَنْ قَامَ بِمائَةِ آيةٍ كُتِبَ مِنَ القَانِتيْنَ ، ومَنْ قَامَ بألفِ آيةٍ كُتِبَ من المُقنطرينَ
“Barangsiapa bangun (sholat malam) dan membaca sepuluh ayat, dia tidak akan dicatat sebagai orang yang lalai. Barangsiapa bangun (sholat malam) dengan membaca seratus ayat, dia akan dicatat sebagai orang yang tunduk dan patuh. Barangsiapa bangun (sholat malam) dengan membaca seribu ayat, dia akan dicatat sebagai orang yang dermawan.” (HR. Abu Dawud)
Riwayat menarik adalah tentang bagaimana setan mengencingi telinga kita saat tidur agar kita lalai dalam mengerjakan qiyamul lail. Sebagaimana kisah dari Abdullah bin Mas’ud dalam riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi pernah diberitahu mengenai seseorang yang tidur semalam suntuk hingga pagi, dan tidak mengerjakan qiyamul lail. Rasulullah berkomentar dengan, “Orang itu dikencingi setan di telinganya.”
Mengenai hadits ini, dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar memaparkan bahwa, “Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai kencing setan.” Dia lalu menyebutkan beberapa pendapat dan penafsiran, kemudian berkata, “Menurut sebuah pendapat, maknanya adalah setan menguasai dan menghinanya sehingga orang itu menjadi seperti jamban yang disediakan untuk kencing. Sebab, salah satu kebiasaan orang yang menghina sesuatu adalah mengencinginya. Menurut pendapat lain, ungkapan itu adalah bentuk permisalan bagi orang yang melalaikan qiyamul lail karena tertidur pulas.”
Allah Melihat Sholatku
Apa yang terasa lebih indah selain bahwa kita telah mampu mencapai tahap di mana setiap aktivitas kita selalu diawasi oleh Allah. Terlebih-lebih saat bermunajat di malam yang sunyi nan gelap. Serasa hanya ada diri ini dan Allah saja. Yakinlah, bahwa perasaan-perasaan seperti itu akan membuat kita sangat mencintai ibadah yang kita lakukan dan terjauhkan dari kelalaian-kelalaian yang membelenggu diri.
“Bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk sholat). Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Asy-Syuara’ [26]: 217-220)
“Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwa kamu berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersamamu.” (Al-Muzammil [73]: 20)
Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, kita akan mendapati kekaguman Allah kepada hamba-Nya yang melakukan qiyamul lail. Bagaimana bisa Allah bisa sebegitu kagumnya? Kita mendapatinya dari Rasulullah yang bersabda:
عَجِبَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ مِنْ رَجُلَيْنِ رَجُلٍ ثَارَ عَنْ وِطَائِهِ وَلِحَافِهِ مِنْ بَيْنِ أَهْلِهِ وَحَيِّهِ إِلَى صَلاَتِهِ فَيَقُولُ رَبُّنَا أَيَا مَلاَئِكَتِى انْظُرُوا إِلَى عَبْدِى ثَارَ مِنْ فِرَاشِهِ وَوِطَائِهِ وَمِنْ بَيْنِ حَيِّهِ وَأَهْلِهِ إِلَى صَلاَتِهِ رَغْبَةً فِيمَا عِنْدِى وَشَفَقَةً مِمَّا عِنْدِى. وَرَجُلٍ غَزَا فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَانْهَزَمُوا فَعَلِمَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْفِرَارِ وَمَا لَهُ فِى الرُّجُوعِ فَرَجَعَ حَتَّى أُهَرِيقَ دَمُهُ رَغْبَةً فِيمَا عِنْدِى وَشَفَقَةً مِمَّا عِنْدِى فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ انْظُرُوا إِلَى عَبْدِى رَجَعَ رَغْبَةً فِيمَا عِنْدِى وَرَهْبَةً مِمَّا عِنْدِى حَتَّى أُهَرِيقَ دَمُهُ
“Rabb kita Azza Wajalla merasa kagum pada dua orang. Pertama, orang yang meninggalkan tempat tidur dan selimutnya di antara keluarga dan tidurnya untuk melaksanakan sholat. Rabb kita lalu berfirman, ‘Wahai para malaikat-Ku! Lihatlah hamba-Ku yang meninggalkan kasur dan selimutnya di antara tidur dan keluarganya untuk melaksanakan sholat karena mengharap balasan di sisi-Ku dan takut adzab dari-Ku.’ Kedua, orang yang berperang di jalan Allah Azza wa Jalla lalu pasukannya menerima kekalahan. Dia mengetahui dosa lari dari medan perang dan apa yang diperoleh jika dia kembali berperang. Dia kemudian berperang hingga tertumpah darahnya karena mengharap balasan di sisi-Ku dan takut adzab dari-Ku. Lalu Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Lihatlah hamba-Ku! Dia kembali berperang karena mengharap balasan di sisi-ku dan takut adzab dari-Ku hingga tertumpah darahnya’..” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan Thabrani)
Tersedia Bidadari Bermata Jeli, Siapkan Maharnya!
Azhar bin Mughits menuturkan sebagaimana tertera dalam Tanbih Al-Mughtarrin, “Pada suatu malam, aku bermimpi melihat bidadari cantik jelita. Aku pun bertanya, ‘Engkau ini untuk siapa?’ ‘Untuk hamba yang mengerjakan qiyamul lail pada musim dingin,’ jawabnya.”
Dalam Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, disebutkan bahwa Azhar bin Tsabit At-Taghlabi bercerita, “Bapakku termasuk orang yang giat mengerjakan qiyamul lail ketika malam telah tiba. Pada suatu hari, bapakku berkata, ‘Aku pernah bermimpi melihat wanita yang berbeda dengan wanita dunia. Aku pun bertanya, ‘Siapakah engkau ini?’ ‘Aku bidadari dan hamba Allah,’ jawabnya. Aku berkata, ‘Kalau begitu, menikahlah denganku.’ ‘Pinanglah aku dan beri aku mahar,’ pintanya. Aku bertanya lagi, ‘Apa maharmu?’ ‘Sholat qiyamul lail yang lama,’ jawabnya.
Dalam Shifatush Shafwah-nya Ibnul Jauzi, dikisahkan tentang seorang hamba yang shalih, Abdul Wahid bin Zaid, yang tidur pada suatu malam dan tidak mengerjakan qiyamul lail. Dia bermimpi melihat gadis berwajah cantik jelita. Belum pernah sekali pun dia melihat ada gadis yang menandingi kecantikannya. Gadis itu mengenakan pakaian sutra berwarna hijau. Dia berkata, “Wahai Ibnu Zaid, bersungguh-sungguhlah untuk melamarku. Sesungguhnya aku menunggu lamaranmu.” Kemudian dia berkata lagi, “Siapa membeliku dan senang kepadaku, niscaya dia beruntung dan aman dari penipuan.” Ibnu Zaid bertanya, “Wahai gadis, berapa hargamu?” “Hargaku adalah kasih sayang dan cinta karena Allah serta pikiran panjang yang melenyapkan kesedihan,” jawabnya. Ibnu Zaid bertanya lagi, “Untuk siapakah engkau ini, wahai gadis?” “Untuk sang raja yang tidak menolak hargaku, yaitu orang yang melamar dengan amalan yang berharga.”
Kisah Abu Sulaiman Ad-Darani pun sangat menarik. “Ketika sedang bersujud dalam sholat malamku, aku ketiduran,” katanya mulai berkisah, “Tiba-tiba aku melihat bidadari. Dia mendorongku dengan kakinya. Dia berkata, ‘Wahai kekasihku! Mengapa engkau memejamkan matamu, sedangkan Allah senantiasa berjaga? Dia melihat orang-orang yang berqiyamul lail. Sungguh malang mata yang lebih memilih enaknya tidur daripada bermunajat kepada Allah Yang Maha Perkasa. Bangunlah karena saat penantian hampir selesai. Para pecinta akan saling bertemu. Lantas, mengapa engkau masih saja tidur? Kekasihku dan penyejuk mataku! Mengapa engkau tidur, padahal aku selalu menantimu di kamar pingitan sejak lama?’ Aku pun melompat kaget. Aku merasa malu karena tegurannya kepada diriku. Sungguh, kata-katanya yang merdu terus membekas dalam pendengaran dan hatiku.”
Penjelasan indah tentang sosok bidadari, dengan sangat apik dipaparkan dengan sangat panjang oleh Ibnul Qayyim dalam Hadil Arwah-nya:
“Apabila engkau bertanya tentang istri-istri orang-orang mukmin di surga, maka mereka adalah gadis-gadis yan sebaya. Tubuh mereka senantiasa muda. Pipi mereka seperti mawar dan apel. Payudara mereka seperti buah delima. Mulut mereka sepertu permata yang tersusun rapi. Pinggang mereka halus dan lembut. Matahari seakan terbit dari wajah cantik bidadari itu apabila dia menampakkan diri. Apabila tersenyum, kilatan cahaya muncul dari celah gigi-giginya. Apabila bertemu suami dan kekasihnya, engkau bisa menggambarkan ketika matahari dan bulan bertemu. Apabila berbicara kepada suaminya, engkau tentu mengetahui bagaimana sepasang kekasih sedang berbicara. Apabila suaminya memeluk bidadari itu, engkau bisa membayangkan abgaimana dua dahan berpelukan. Sang suami bisa melihat wajahnya di pipi bidadari yang jernih, seperti dia melihatnya di cermin yang mengkilap.
Dia bisa melihat sumsum betisnya dari balik daging. Kulit, tulang, dan pakaiannya tidak tertutup dari pandangannya. Seandainya bidadari itu menampakkan diri di dunia, niscaya aroma wangi akan memenuhi antara langit dan bumi. Lisan semua makhluk akan mengucapkan tahlil, takbir, dan tahmid. Semua yang ada di antara timur dan barat akan menjadi indah. Semua mata akan menghunjamkan pandangan kepadanya. Bidadari itu akan menghapus cahaya matahari sebagaimana matahari menghapus cahaya bintang. Semua orang yang menyaksikannya tentu akan beriman keapda Allah Yang Maha Hidup dan tidak pernah tidur. Kerudung yang ada di kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya. Dia sangat ingin berhubungan dengan suaminya melebihi semua keinginannya. Semakin lama bidadari itu semakin cantik dan menawan. Semakin lama pula cinta dan hasratnya semakin bertambah.
Dia tidak mengandung, melahirkan, haidh, dan nifas. Dia bersih dari ingus, ludah, buang air kecil, buang air besar, dan semua kotoran. Keremajaannya tidak akan hilang. Pakaiannya tidak akan usang. Kecantikannya tidak akan lusuh. Berdekatan dengannya tidak membosankan. Pandangannya hanya tertuju kepada suaminya dan tidak berhasrat kepada siapa pun selainnya. Sebaliknya, pandangan suaminya juga hanya tertuju kepadanya karena dia adalah puncak harapan dan keinginannya.
Apabila dipandang, dia sangat menyenangkan. Apabila diperintah dia menaati suami, dia menaatinya. Apabila ditinggal pergi, dia menjaga diri. Sang suami selalu merasa tenteram dan bahagia di sisinya. Tidak ada manusia maupun jin yang menyentuh bidadari itu sebelumnya. Setiap kali memandangnya, hati merasa gembira. Setiap kali mengajaknya berbincang-bincang, telinga mendengar suara merdu. Apabila dia menampakkan diri, istana dan ruangan akan penuh dengan cahaya.
Apabila engkau menanyakan umur bidadari itu, maka umur mereka muda belia. Apabila engkau menanyakan kecantikannya, maka pernahkah engkau melihat matahari dan bulan? Apabila engkau menanyakan matanya, maka matanya sangat indah berwarna hitam di tengah bulatan putih jernih. Apabila engkau menanyakan perawakannya, maka pernahkah engkau melihat dahan pohon yang paling indah? Apabila engkau menanyakan payudaranya, maka mereka itu adalah gadis-gadis belia. Payudara mereka seperti buah delima yang paling lembut. Apabila engkau menanyakan warnanya, maka seakan-akan mereka itu Yaquth dan Marjan.
Lantas, bagaimana pendapatmu tentang wanita yang apabila tertawa di hadapan suaminya, seruga pun menjadi terang karena tawanya? Apabila berpindah dari satu istana ke istana lainnya, engkau berkata, ‘Wow! Ini matahari yang berjalan di cakrawala.’ Apabila dia menemui suaminya, maka sungguh indah pertemuan itu. Apabila dia mendekap suaminya, maka sungguh nikmat dekapan tersebut.
Apabila bidadari itu menyanyi, maka sungguh menyenangkan penglihatan dan pendengaran. Apabila dia menghibur, maka betapa nikmat hiburan itu. Apabila mencium, maka tidak ada sesuatu ayng lebih menggairahkan daripada ciuman itu. Apabila dia memberi, maka tidak ada yang lebih lezat daripada pemberian itu.”
Ah, mukmin mana yang menolaknya. Mukmin mana yang tak menginginkannya. Asal siap dengan maharnya, tentu Allah akan memenuhi janji-Nya…
Nikmat Munajat, Lezat Iman Didapat
Ali bin Abi Thalib sholat Subuh di akhir hayatnya. Selesai salam, dia menoleh ke kanan, kemudian diam sejenak untuk berdzikir kepada Allah, seakan-akan sedang berduka cita. Ketika sinar matahari di dinding masjid telah naik setinggi tombak, dia membalikkan tangannya dan berkata, “Sungguh, aku telah melihat jejak para sahabat Muhammad. Aku tidak melihat ada seorang pun bisa menyerupai mereka. Demi Allah, pada waktu pagi mereka tampak kusut dan berdebu. Di mata mereka seakan-akan terdapat bekas-bekas kesedihan (lantaran terlalu sering menangis karena takut kepada Allah). Mereka senantiasa membaca kitabullah. Kaki dan dahi mereka bergantian menempel ke tanah. Apabila mengingat Allah, mereka bergerak seperti pohon yang tertiup angin. Air mata mereka bercucuran hingga—demi Allah—membasahi pakaian mereka. Padahal, demi Allah, orang-orang ini sangat lalai.”
Resapilah bagaimana Hasan Al-Bashri menggambarkan keadaan orang-orang yang rajin berqiyamul lail dan beribadah pada waktu malam. “Saya pernah berteman dengan sekelompok orang (yaitu para sahabat dan kalangan senior tabiin). Mereka senantiasa bersujud dan berdiri di hadapan Rabb mereka pada waktu malam yang gelap gulita. Air mata mengalir di pipi mereka. Sesekali mereka rukuk dan sesekali mereka sujud. Mereka bermunajat kepada Allah untuk menebus diri mereka. Tatkala harapan untuk meraih kebaikan pada hari kiamat merasuki hati mereka, begadang yang panjang pun tidak membuat mereka jenuh. Mereka bahagia meskipun badan terasa letih karena Allah. Mereka gembira dengan harapan mendapatkan pahala kebaikan. Semoga Allah merahmati orang yang berusaha menyaingi mereka dalam amal seperti ini dan tidak rela jika dirinya mengabaikan perintah rabbnya. Sesungguhnya dunia ini pasti akan terputus dari pemiliknya. Amalan yang dikerjakan oleh seseorang bisa saja tertolak.” Kemudian Hasan Al-Bashri menangis hingga air matanya membahasahi jenggotnya.
Al-Qusyairi dalam Lathaif Al-Isyarat, memberikan gambaran mengenai peruntukan qiyamul lail. “Qiyamul lail itu untuk salah satu kelompok berikut. Pertama, untuk orang-orang yang mencari keselamatan. Mereka adalah para pendosa yang ingin bertaubat. Kedua, untuk orang-orang yang mempunyai derajat. Mereka adalah orang-orang yang tekun melaksanakan ketaatan dan bersegera melakukan kebaikan. Ketiga, untuk orang-orang yang bermunajat kepada Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya.”
Lalu, di bagian manakah kita? Pencari keselamatan, penekun ketaatan, ataukah pelazim munajat?
Qiyamul lail adalah Rahasia Kemenangan Kesatria Langit
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan Nihayah-nya menggambarkan keadaan Nabi pada malam perang Badar. “Rasulullah mengerjakan sholat di dekat sebuah pohon di sana. Dalam sujudnya, beliau banyak membaca doa, ‘Ya Allah, Dzat Yang Maha Hidup dan tidak tidur.’ Beliau mengulang-ulang doa ini dan terus mengerjakan qiyamul lail, menangis, dan berdoa kepada Allah memohon kemenangan sampai pagi. Dalam doanya, beliau memohon, ‘Ya Allah, aku memohon janji-Mu. Ya Allah, jika Engkau menghendaki (kehancuran pasukan Islam ini), maka Engkau tidak akan disembah lagi setelah hari ini.’ Beliau juga berkata dalam doanya, ‘Ya Allah, janganlah Engkau mengabaikan dan meninggalkanku. Ya Allah, sesungguhnya orang-orang Quraisy telah datang dengan kesombongannya. Mereka senantiasa mendekat dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu yang telah Engkau janjikan kepadaku.’ Beliau terus berdoa sampai selendangnya terjatuh. Abu Bakar pun mendatangi beliau dan mengambil selendangnya, lalu meletakkannya di atas pundak beliau. Dari belakang, Abu Bakar berkata, ‘Wahai Nabiyullah, sudah cukup doamu kepada Allah. Sungguh, Allah akan mewujudkan janji-Nya kepadamu.’
Allah lalu menurunkan firman-Nya:
“Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan balan bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut’.” (Al-Anfal [8]: 9)
Allah pun kemudian memperkuat barisan Islam dengan pasukan malaikat.”
Ketika pasukan Romawi kalah di hadapan kaum muslimin, Heraklius, kaisar Romawi, bertanya kepada tentaranya, “Mengapa kalian bisa kalah?” salah seorang pembesar Romawi menjawab, ‘Karena mereka selalu bangun malam dan berpuasa di siang hari.”
Itulah rahsianya. Atau, hanya itulah rahasianya. Tetapi, lihatlah khasiatnya..
Bahkan, orang-orang Eropa mengatakan keadaan Nurudin Zanki dengan, “Sesungguhnya dia mempunyai rahasia dengan Allah. Dia tidak akan mengalahkan kita dengan jumlah pasukannya yang banyak. Tetapi, dia akan mengalahkan kita dengan doa dan sholat malam. Dia selalu mengerjakan sholat malam dan menengadahkan tangannya ke langit untuk berdoa kepada Allah. Allah akan mengabulkan permintaannya sehingga dia berhasil mengalahkan kita.”
Keadaan Shalahudin Al-Ayubi pun tak jauh berbeda. “Apabila mendengar musuh telah menyerang kaum muslim atau saat pertempuran dengan pasukan Salibis hampir tiba,” kisah Al-Qadhi Baha’uddin, “Shalahudin bangun malam dan memikirkan urusan kaum muslimin. Dia bersujud dan berdoa kepada Allah dalam sujudnya. Dia berkata, ‘Ya Allah, sebab-sebab duniawi dalam memenangkan agama-Mu telah terputus. Yang tersisa hanyalah memohon kepada-Mu serta berpegang pada tali dan karunia-Mu. Cukuplah Engkau sebagai pelindungku. Engkaulah sebaik-baik penolong’.” Al-Qadhi kemudian melanjutkan ceritanya, “Aku melihat Shalahuddin bersujud, sementara air matanya membasahi jenggotnya yang beruban, kemudian sajadahnya. Aku tidak bisa mendengar lagi apa yang dia katakan. Akhirnya, pada hari itu, datanglah berita kemenangan terhadap musuh.”
Simaklah Bagaimana Pelazim Qiyamul lail Bermunajat
Menyimak lantunan munajat para pelazim qiyamul lail sangat menggetarkan hati dan nurani. Bila tak percaya, marilah bersama menyeksamai beberapa reriwayat berikut ini.
“Ketika berada di Kufah,” kisah Manshur bin Amar, “pada suatu malam aku keluar menyusuri jalan. Aku melewati salah satu rumah. Dari dalam, aku mendengar suara seorang pemuda sedang sholat dan bermunajat kepada Allah. Dia berkata, ‘Rabbku! Demi keagungan dan kebesaran-Mu, aku tidak ingin menentang-Mu dengan kemaksiatanku. Sungguh, aku telah bermaksiat kepada-Mu, padahal aku tidak jahil terhadap siksaan-Mu. Aku tidak melawan hukuman-Mu. Aku juga tidak dapat bersembunyi dari penglihatan-Mu. Akan tetapi, nafsuku selalu membujukku sehingga menyengsarakanku. Engkau telah menyembunyikan dosa-dosaku, namun hal itu malah membuatku terlena. Aku mendurhakai-Mu dengan kejahilanku. Lalu, kepada siapakah aku harus meminta perlindungan? Siapakah yang dapat membebaskanku dari adzab-Mu? Siapakah yang dapat menyelamatkanku dari malaikat Zabaniah-mu? Apabila Engkau memutus ikatan-Mu dariku, kepada siapakah aku menjalin hubungan? Aduhai, sungguh menyedihkan jika kelak dikatakan kepada orang-orang yang sedikit berdosa, ‘Lewatilah shirath dengan selamat!’ Dan kepada orang-orang yang banyak berdosa, ‘Turunlah ke neraka!’ Celakalah diri ini! Aku tidak mengetahui apakah kelak akan terjerumus ke dalam neraka bersama orang-orang yang banyak berdosa ataukah mampu melewati shirath dengan selamat bersama orang-orang yang sedikit berdosa. Setiap kali usiaku bertambah, dosa-dosaku juga semakin bertambah. Celakalah aku! Betapa sering aku bertaubat namun kembali lalai berbuat dosa. Sementara itu, aku tidak pernah merasa malu kepada Rabbku. Oh, masa mudaku. Oh, masa mudaku!’.”
Sedangkan munajat para wanita salafush shalih adalah, “Ya Allah, sesungguhnya iblis adalah salah satu hamba-Mu. Engkaulah yang mengendalikannya. Dia bisa melihatku dari tempat yang aku tidak bisa melihatnya. Sementara itu, Engkau bisa melihatnya dari tempat yang dia tidak bisa melihat-Mu. Ya Allah, Engkau berkuasa atas semua ketentuannya, sedangkan dia tidak berkuasa sedikit pun atas ketentuan-Mu. Ya Allah, jika dia menginginkan keburukan pada diriku, maka hancurkanlah dia. Jika dia memperdayaku, maka perdayailah dia. Aku memohon pertolongan-Mu dari kejahatannya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya.”
Menghalau Api Neraka dengan Qiyamul lail
Dari Ibnu Umar, dia berkata, “Seseorang pada masa hidup Rasulullah bila bermimpi, biasanya dia menceritakannya kepada beliau. Aku pun berharap bermimpi hingga aku dapat mengisahkannya kepada Nabi. Saat itu aku masih remaja. Pada suatu hari di zaman Rasulullah, aku tidur di masjid. Aku lalu bermimpi melihat dua malaikat memegangku, kemudian membawaku ke dalam neraka. Aku melihat neraka yang ternyata ada lubang besar bagaikan lubang sumur (jurang). Neraka memiliki dua emperan dan aku melihat di dalamnya ada orang-orang yang sebelumnya aku sudah mengenal mereka. Melihat hal itu, aku pun berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari neraka. Aku berlindung kepada Allah dari neraka. Aku berlindung kepada Allah dari neraka!’.”
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, “Kemudian aku berjumpa dengan malaikat lain yang berkata kepadaku, ‘Jangan takut!’ kemudian aku menceritakan mimpiku itu kepada Hafshah. Lalu, Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah. Beliau pun bersabda, ‘Orang yang paling beruntung adalah Abdullah bin Umar, jika dia mengerjakan sholat malam’.” Salim yang meriwayatkan hadits ini berkata, “Setelah peristiwa itu, Abdullah bin Umar tidak tidur malam kecuali sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qurthubi mengomentari hadits ini dengan, “Rasulullah menafsirkan mimpi Abdullah seabgai mimpi yang baik. Sebab, dia diperlihatkan neraka, kemudian diselamatkan darinya. Malaikat berkata kepadanya, ‘Jangan takut!’ hal itu karena Abdullah seorang yang shalih, hanyasaja belum rajin mengerjakan qiyamul lail. Mimpi ini menyadarkan Abdullah bahwa qiyamul lail adalah salah satu sebab yang dapat menyelamatkannya dari api neraka. Oleh karena itu, setelah mengalami perisitwa tersebut, Abdullah tidak pernah meninggalkan qiyamul lail.”
Ah, tak pernah ada kata terlambat selama nafas masih terberi pada diri. Mari mulai berazzam tinggi, menggapai kemuliaan, dan menjauhkan diri dari api neraka yang panas dan siksanya terpedih itu.
Janji-Nya, Surga untuk Kita
Allah menganugerahkan kepara para hamba-Nya yang rajin mengerjakan qiyamul lail dengan surga.
“Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung, ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang dia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, ‘Samakah orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar [39]: 9)
Dalam ayat yang lain juga dijelaskan bahwa:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Mereka juga selalu memohon kepada ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (Adz-Dzariyat [51]: 15-18)
“Sesungguhnya di dalam surga,” sabda Rasulullah sebagaimana riwayat dari Abu Malik Al-Asy’ari, “terdapat beberapa ruang yang bisa dilihat bagian luarnya dari bagian dalamnya dan bagian dalamnya dari bagian luarnya. Allah Ta’ala menyediakannya bagi orang yang senang memberi makan, berkata dengan lemah lembut, sering berpuasa, dan mengerjakan sholat malam ketika manusia sedang tidur.” (HR. Ahmad)
Para Penikmat Qiyamul Lail
“Orang yang berqiyamul lail itu merupakan manusia yang paling tampan wajahnya karena mereka menyendiri dengan Ar-Rahman, lalu Dia memakaikan cahaya-Nya kepada mereka.” —Hasan Al-Bashri
Berhalaman-halaman ke depan, kita akan membersamai para penikmat qiyamul lail. Agar diri terlecuti, agar diri tersemangat, agar diri mau melazimi, sebagaimana hamba-hamba pilihan ini mengistiqamahkan amalan utama ini.
Mari kita memulai inspirasi ini dengan membersamai sholat malamnya para sahabat Rasulullah.
Dari Umar bin Khathab, dia berkata, “Rasulullah biasa berbincang-bincang dengan Abu Bakar tentang urusan kaum mulsim. Pada suatu malam, beliau berbincang dengannya dan aku menyertainya. Kemudian Rasulullah keluar dan kami pun keluar bersamanya. Tiba-tiba ada seseorang berdiri melaksanakan sholat di masjid. Rasulullah pun bangkit dan mendengarkan bacaannya. Ketika kami hampir mengetahui siapa orang itu, Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa senang membaca Al-Qur’an dengan lembut sebagaimana diturunkannya, hendaknya dia membacanya sebagaimana bacaan Ibnu Ummi Abd (maksudnya aalah Abdullah bin Mas’ud)’.”
Umar melanjutkan ceritanya, “Kemudian orang itu duduk dan berdoa. Rasulullah lalu bersabda kepadanya, ‘Memohonlah, pasti engkau diberi. Memohonlah, pasti engkau diberi’.” Umar berkata, “Demi Allah, esok pagi aku pasti akan datang kepadanya untuk menyampaikan kabar gembira. Kemudian esok harinya aku pergi menemuinya untuk menyampaikan kabar gembira kepadanya. Akan tetapi, aku mendapati Abu Bakar telah datang mendahuluiku dan menyampaikan kabar gembira kepadanya. Demi Allah, setiap kali aku berlomba dengan Abu Bakar dalam urusan kebaikan, pasti dia berhasil mendahuluiku.” (HR. Ahmad)
Itulah Abu Bakar. Selalu jadi yang pertama dalam kebaikan. Sedangkan sahabat Abu Hurairah, dia terbiasa bangun pada sepertiga malam. Istrinya terbiasa bangun pada seperti malam, begitu pula dengan anaknya. Sedangkan Ibnu Umar, dia mempunyai wadah berisi air. Biasanya, dia mengerjakan sholat pada permulaan malam semampunya. Setelah itu, dia tidur sejenak. Kemudian dia bangun dan berwudhu, lalu mengerjakan sholat. Setelah itu, dia tidur lagi sejenak. Kemudian dia bangun dan berwudhu, lalu mengerjakan sholat. Dia mengerjakan hal itu dalam semalam empat atau lima kali. Sedangkan Abdullah bin Abbas, mulai membiasakan sholat malam ketika baru berumur sepuluh tahun. Dia terus menjaga kebiasaan ini hingga meninggal dunia. Sungguh beruntung dia dengan keutamaan ini.
“Aku sholat bersama Nabi suatu malam,” kata Ibnu Abbas, “aku pun berdiri di sebelah kiri beliau. Beliau meraihku dan menempatkanku berdiri di sebelah kanannya. Pada waktu itu aku berumur sepuluh tahun.” (HR. Muslim)
Dari Thariq bin Syihab, dia berkata, “Aku datang kepada Salman Al-Farisi. Aku berkata dalam hati, ‘Pasti suatu ketika akan aku perlihatkan bagaimana dia mengerjakan sholat.’ Dia tidur hanya sepertiga malam, sedangkan dua pertiganya dia gunakan untuk sholat.”
Seorang sahabat, Tamim bin Aus Ad-Dari, pernah mengerjakan sholat malam pada suatu malam hanya dengan membaca satu ayat. Dia mengulanginya berkali-kali sambil menangis hingga tiba waktu pagi. Ayat itu adalah:
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih? Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (Al-Jatsiyah [45]: 21)
“Abdullah bin Zubair,” kata Salim bin Abdullah, “Senantiasa mengerjakan sholat malam. Dia mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dalam semalam.”
Lalu bagaimana dengan qiyamul lailnya Umar bin Khathab? Zaid bin Aslam menerima kisah dari bapaknya, bahwa Umar bin Khathab biasa mengerjakan sholat malam sesuai dengan kehendak Allah hingga bila akhir malam dia membangunkan keluarganya untuk sholat malam. Dia berseru kepada mereka, “Sholat! Sholat!” Kemudian dia membaca ayat:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha [20]: 132)”
“Umar bin Khatab biasa mengerjakan sholat Isya’ di masjid,” kata Ibnu Katsir, “kemudian pulang ke rumahnya lalu sholat malam hingga hampir waktu subuh.”
Sedangkan Utsman bin Affan, juga sangat giat berqiyamul lail. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa istri Utsman bin Affan yang bernama Nailah ketika beliau terbunuh berkata, “Kamu sekalian telah berhasil membunuh Utsman, padahal ia menghidupkan malam dengan membaca Al-Qur’an sampai tamat dalam satu rakaat.”
Abdurrahman At-Taimi berkata, “Pada malam ini, saya akan benar-benar mengalahkan orang lain. Maka, selesai megnerjakan sholat malam di rumah, saya pergi ke tempat qiyamul lail dan mengerjakannya.” Lanjutnya Abdurrahman, “Tatkala saya berdiri untuk sholat tiba-tiba seseorang memegang pundakku. Ternyata, dia adalah Utsman bin Affan. Ia memulai qiyamul lailnya dengan membaca Al-Fatihah lalu dilanjutkan dengan membaca surat yang lain hingga khatam Al-Qur’an. Kemudian rukuk dan sujud. Setelah itu, ia mengambil sandalnya dan pulang.”
Saking kuatnya ruhaniyah dan maliyah Utsman, tak heran bila ada seorang alim yang mengomentari malam Utsman dengan syair:
Tidak pernah bintang-bintang melihatnya
Melainkan ia dalam keadaan sujud
Pun matahari tak pernah menjumpainya
Kecuali ia tengah berinfaq
Sedangkan mengenai qiyamul lailnya Ali bin Abi Thalib, baiknya bisa kita simak kisah dalam Hilyatul Auliya’, yang disebutkan bahwa ketika Dhirar bin Abi Syufyan Al-Kinaniy diminta oleh Amirul Mukminin Muawiyah bin Abu Sufyan untuk menceritakan ihwal Ali bin Abi Thalib dalam kaitannya dengan sholat malam, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib tidak tertarik kepada dunia dan kemewahannya. Dia menikmati malam dengan gulitanya. Saya bersumpah demi Allah, saya melihatnya di beberapa malam ketika larut telah menyelimut dan bintang bertaburan di langit, ia duduk di mihrab sembari memegang jenggotnya dan menggerak-gerakkan badannya sambil menangis bersedih. Seolah-olah sekarang saya mendengar ia berkata, ‘Wahai rabbi, wahai Rabbi…’ dengan begitu khusyuknya. Kemudian kepada dunia berkata, ‘Kau menipuku, kau memperdayaku? Tidak mungkin, tidak mungkin! Perdayailah selain diriku! Usiamu pendek, kedudukanmu hina, manfaatmu sepele. Aduh, betapa sedikit bekalku, betapa jauh perjalananku, dan betapa berliku jalanku.”
Dhihar melanjutkan ceritanya, “Sekonyong-konyong Mu’awiyah tidak sanggup menahan tetes air matanya yang membahasi jenggot, lalu ia keringkan dengan lengan bajunya. Para sahabat pun ikut-ikutan menangis. Setelah itu, Muawiyah berkata, ‘Begitulah Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib)….’.”
Lalu, bagaimana dengan Ibnu Mas’ud? Diriwayatkan dari Alqamah bin Qais, ia berkata, “Saya pernah tidur malam bersama Abdullah bin Mas’ud. Dia bangun di permulaan malam lau sholat dan membaca Al-Qur’an seperti imam di kampungnya. Ia membaca dengan tartil hingga orang-orang mendengarnya, sehingga tidak tersisa gulita malam kecuali seperti antara azan maghrib sampai datang untuk menunaikannya, kemudian ia sholat witir.”
Tak heran, bila suatu kali Abdullah bin Ma’sud berkata, “Seyogianya orang yang ahli Al-Qur’an memanfaatkan malamnya (qiyamul lail) ketika orang-orang tertidur, memanfaatkan siangnya (berpuasa) ketika orang-orang menyantap makanan, berduka ketika orang-orang bergembira, menangis ketika orang-orang tertawa, diam ketika orang-orang berbicara, dan tenang ketika orang-orang kacau balau.”
Abu Musa Al-Asy’ari yang dijuluki Rasulullah sebagai, “Ia benar-benar diberi salah satu seruling keluarga Dawud.” (HR Bukhari dan Muslim), kita akan dapatkan kisah qiyamul lailnya dari penuturan Anas bin Malik yang berkata, “Kami bersama Abu Musa Al-Asy’ari pergi ke Bashrah. Kemudian, dia bangun malam mengerjakan sholat qiyamul lail. Tatkala pagi hari tiba, orang berkata kepadanya, ‘Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada Amir. Apa yang Anda lakukan jika melihat istri dan kerabat Anda mendengarkan bacaan Anda? Jawab Abu Musa, ‘Andaikata saya mengetahuinya, tentu saya hiasi isi kitabullah dengan suaraku dan kubaguskan bacaannya dengan sebagus-bagusnya.”
Sedangkan Abdullah bin Zubair bin Awwam, adalah sahabat yang tekun mengerjakan sholat malam dan rajin berpuasa sehingga digelari hamamatul masjid (merpati masjid).
“Ibnu Zubair,” kata Mujahid, “apabila berdiri mengerjakan sholat seperti batang kayu (karena saking khusyuknya).”
Dalam Siyaru A’lamin Nubala’, malah tertera beberapa riwayat bagaimana Ibnu Zubair menjalani qiyamul lailnya. Tsabit Al-Bannani berkata, “Saya pernah melewati Ibnu Zubair yang sedang sholat di belakang maqam (Ibrahim). Dia seperti kayu yang tertancap. Tidak bergerak sama sekali.”
Dari Muslim bin Yanaq, dikisahkan, “Suatu hari Ibnu Zubair kedapatan tengah rukuk. Kami usai membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, dan Al-Maidah, sementara ia belum lagi mengangkat kepalanya.”
Dari Amr bin Dinar, ia berkata, “Ibnu Zubair mengerjakan sholat di atas batu sementara senjata pelempar batu musuh menghantamkan batu, namun ia tidak bergerak sedikit pun. Ini di hari peperangan dan tengah dikepung musuh.”
Utsman bin Thalhah berkata, “Ibnu Zubair tidak pernah surut dalam tiga hal: keberanian, ibadah, dan sastra (Arab).”
Sedangkan mengenai sholat malamnya Aisyah, mari kita simak riwayat dari Al-Qasim, “Saya apabila hendak pergi di pagi hari selalu memulai dari rumah Aisyah untuk memberi salam kepadanya. Suatu pagi, saya hendak pergi mendapati dirinya tengah berdiri mengerjakan sholat dengan membaca:
“Maka Allah memberi karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.” (Ath-Thur [52]: 27)
Ia berdoa dan menangis tersedu-sedu. Saya berdiri menunggu hingga bosan sendiri. Maka saya terus pergi ke pasar untuk membeli keperluanku. Lalu, saya kembali dan ia masih dalam keadaan berdiri sholat sambil menangis.
Setelah membersamai para sahabat Nabi. Mari kita menyimaki bagaimana para penikmat qiyamul lail dari kalangan salafush shalih terlazimkan dalam keseharian mereka.
Abdullah bin Wahab mengisahkan, “Semua kenikmatan dunia hanya mempunyai satu nilai kecuali ibadah. Sesungguhnya ibadah mempunyai tiga nilai kenikmatan, yaitu ketika mengerjakannya, mengingatnya, dan menerima pahalanya.” Sedangkan Muslim bin Yasar mengatakan, “Tidak ada kenikmatan yang dirasakan manusia yang mampu menandingi kenikmatan menyendiri dalam bermunajat kepada Allah.” Senada, Muhammad Ibnul Munkadir pun mengatakan, “Tidak tersisa dari kenikmatan dunia ini kecuali tiga perkara: qiyamul lail, bertemu saudara, dan sholat berjamaah.”
Dalam Az-Zuhd-nya Imam Ahmad dikisahkan: Ar-Rabi’ bin Khaitsam membeli seekor kuda seharga 30 ribu dirham untuk digunakan dalam perang. Dia kemudian mengutus pembantunya yang bernama Yasar untuk mencari rumput kering. Dia sendiri lalu mengerjakan sholat, sedangkan kudanya diikat di sampingnya. Tidak lama setelah itu, Yasar kembali, namun tidak melihat kuda tadi. Setelah Ar-Rabi’ selesai mengerjakan sholatnya, Yasar bertanya, “Di mana kuda tadi?” Ar-Rabi’ menjawab, “Kuda tadi dicuri orang, wahai Yasar.” “Apakah Anda melihat kuda tadi ketika dicuri?” tanya Yasar lagi. Ar-Rabi’ menjawab, “Ya, aku melihatnya, wahai Yasar. Saat itu, aku sedang bermunajat kepada Allah. Sedikit pun, hal itu tidak menghiraukanku dari munajatku kepada Allah. Ya Allah, sesungguhnya pencuri itu telah mencuri hartaku, padahal aku tidak pernah mencuri hartanya. Ya Allah, jika dia orang kaya, maka berilah dia hidayah. Namun, jika dia orang miskin, maka jadikanlah dia kaya.” Ar-Rabi’ melanjutkan doa itu tiga kali.
Dalam Mukhtashar Qiyamil Lail, karya Al-Maqrizi, disebutkan bahwa, “Sebagian orang shalih mengatakan, ‘Qiyamul lail, memuji Allah, dan bermunajat kepada-Nya di dunia sebenarnya bukanlah kenikmatan dunia, namun kenikmatan surga. Allah Ta’ala memperlihatkannya di dunia kepada mereka yang menaati-Nya. Tidak ada yang mengetahui nikmat tersebut kecuali mereka. Mereka tidak mendapatkan kebahagian dan ketenteraman bahagia hati mereka kecuali dengan nikmat tersebut’.”
Dalam Istinsyaq Nasim Al-Unsi karya Ibnu Rajab, dikisahkan bahwa seorang ahli ibadah dari Yaman mengatakan, “Kebahagian dan kenikmatan seorang mukmin adalah ketika menyendiri untuk bermunajat kepada Rabbnya.”
Umar Ibnul Munkadir senantiasa bangun malam untuk mengerjakan sholat. Ibunya berkata padanya, “Nak, aku ingin sekali melihatmu tidur.” Umar menjawab, “Wahai Ibuku, sesungguhnya malam menghampiriku dan membuatku cemas. Padahal, ia pasti berlalu. Oleh karena itu, aku tidak pernah kenyang mengerjakan sholat malam.”
Dalam Shifatush Shafwah-nya Ibnul Jauzi disebutkan bahwa Said bin Musayyib mengerjakan sholat subuh selama lima puluh tahun dengan wudhu sholat Isya’. Dia melakukan itu secara berturut-turut.”
Apabila malam telah tiba, Muhammad bin Wasi’ bangun untuk mengerjakan sholat. Dia menangis seraya berkata, “Celakalah karena dosa-dosaku telah dihitung dan catatan amal telah penuh. Rabbku telah mengetahui hal itu dan tidak memberi keringanan sedikit pun.”
Ibnu Syaudzab berkata, “Setiap hari, Urwah bin Zubair membaca seperempat Al-Qur’an (lebih dari tujuh juz dalam sehari) dan mengerjakan sholat qiyamul lail pada malam harinya.”
Al-Mu’tamar bin Sulaiman berkata, “Selama empat puluh tahun, Abu Sulaiman At-Taimi berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dia juga mengerjakan sholat Subuh dengan wudhu sholat Isya’ yang dilakukan akhir waktu.”
Pada suatu malam, seorang hamba yang shalih, Qais bin Muslim mengunjungi saudaranya sesama mulsim, Muhammad bin Jahadah. Qais mendatanginya di masjid setelah sholat Isya’ ketika Muhammad sedang mengerjakan qiyamul lail. Melihat itu, Qais berdiri di bagian lain masjid untuk mengerjakan qiyamul lal. Keduanya tetap dalam keadaan demikian hingga terbit fajar. Muhammad tidak menyadari kedatangan Qais. Padahal, Qais bin Muslim menjadi imam di masjidnya. Oleh karena itu, dia kembali ke kampungnya untuk mengimami sholat. Keduanya pun tidak jadi bertemu. Muhammad tidak mengetahui kedatangannya. Sebagian orang yang berada di masjid berkata kepada Muhammad, “Tadi malam, saudaramu Qais bin Muslim mengunjungimu. Akan tetapi, engkau tidak menoleh menyambutnya.” Muhammad menjawab, “Aku tidak mengetahui kedatangannya.” Muhammad lalu pergi ke tempat Qais. Ketika melihat Muhammad, Qais segera menyambut dan memeluknya. Mereka berdua akhirnya menangis.”
Mu’adzah Al-Adawiyah menggambarkan keadaan suaminya, Shilah bin Asyim Al-adawi, ketika mengerjakan qiyamul lail. Dia berkata, “Shilah datang ke tempat tidurnya dari ruang sholat di rumahnya dalam keadaan lelah. Dia mengerjakan qiyamul lail hingga lemas. Oleh karena itu, dia datang ke tempat tidurnya kelelahan.”
Abu Isyaq As-Suba’i, “Aku tidak bisa lagi mengerjakan sholat dengan sempurna. Tulangku telah melemah. Sekarang, aku mengerjakan sholat hanya mampu membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran.” Abu Ishaq tidak mampu berdiri sendiri. Setiap kali mau sholat, dia harus diberdirikan. Apabila orang-orang memberdirikannya, dia membaca seribu ayat.
Sufyan menceritakan, “Pada musim panas, Abu Ishaq As-Suba’i selalu mengerjakan qiyamul lail semalam suntuk. Adapun pada musim dingin, dia mengerjakannya pada awal dan akhir malam. Di antara dua waktu itu, dia gunakan untuk tidur.”
Abdullah bin Yahya menceritakan, “Abu Ja’far Al-Baqir selalu mengerjakan sholat dalam sehari semalam sebanyak 150 rakaaat, termasuk sholat-sholat wajib.”
Subhanallah. Sebanyak itu kualitas ibadahnya. Kita? Berada di manakah kualitas ibadah kita? Mari makin menyadari posisi diri bahwa kita sangat jauh dari hamba yang seharusnya. Bahwa kita masih banyak membuat kelalaian daripada prestasi ibadah yang menawan di hadapan-Nya.
Istri Masruq bin AL-Ajda’ bercerita, “Demi Allah, setiap pagi kedua kaki Masruq bengkak karena terlalu lama mengerjakan sholat pada malam harinya. Apabila lelah, dia mengerjakan shaalat dengan duduk dan tidak meninggalkannya. Sesuai sholat, dia merangkak ke tempatnya tidurnya seperti unta.”
Seorang hamba yang shalih, Abu Muslim Al-Khaulani, senantiasa mengerjakan qiyamul lail. Apabila merasa malas dan enggan mengerjakan qiyamul lail atau cenderung tidur, dia mengambil cambuk dan melecutkannya ke kakinya untuk mendidik dirinya. Dia berkata, “Demi Allah, wahai diriku! Engkau ini lebih pantas dipukul daripada binatang ternak yang paling buruk sekalipun.”
Mukhlid bin Al-Husain berkata, “Setiap kali bangun malam, aku mendapati Ibrahim bin Adham sedang berdzikir kepada Allah dan mengerjakan sholat. Aku merasa iri dan sedih karena tidak bisa seperti dirinya. Kemudian aku menghibur diri dengan ayat:
“Inilah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Hadid [57]: 21)
Ya’Mar bin Bisyr berkata, “Pada suatu malam, aku mendatangi pintu turmah Abdullah bin Mubarak setelah Isya’. Aku dapati dia sedang mengerjakan sholat. Ketika itu, dia membaca firman Allah:
“Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan. Dan apabila lautan dijadikan meluap. Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar. (Maka) setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya. Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pengasih.” (Al-Infithar [82]: 1-6)
Dia mengulang-ulang ayat ini hingga malam terus beranjak. Aku sempat pergi kemudian kembali lagi menjelang terbit fajar. Ternyata, dia masih saja mengulang-ulang ayat tadi. Tatkala melihat fajar telah terbit, dia berdoa, “Ya Allah, Engkau Maha Pemurah terhadap hamba-Mu yang bodoh ini. Ya Allah, Engkau Maha pemurah terhadap hamba-Mu yang bodoh ini.’ Aku pun pulang dan meninggalkannya.”
Mukhlid bin Al-Husain berkata, “Di Bashrah tinggallah seseorang bernama Syadad. Dia terserang penyakit kusta sehingga tidak bisa bertemu orang dan sholat berjamaah. Sebagian temannya dalam mengunjunginya. Mereka berkata, “Bagaimana keadaanmu?” Mukhlid menjawab, Keadaanku baik-baik saja. Aku tidak pernah meninggalkan qiyamul lail semenjak terserang penyakti ini. Aku hanya tidak bisa mendatangi sholat berjamaah.”
Seorang hamba yang shalih, Yazid bin Harun, mempunyai dua mata yang indah. Salah satu matanya itu kemudian buta karena terlalu banyak menangis pada waktu malam. Seseorang berkata kepadanya, “Wahai Abu Khalid, apa yang telah ‘dilakukan’ oleh dua mata yang indah ini?” Yazid menjawab, “Dia buta karena sering menangis pada sepertiga malam.” Ketika ditanya mengenai wiridnya pada malam hari, Yazid berkata, “Aku tidur sebentar pada waktu malam. Jika tidak tidur, demi Allah tentu kondisi mataku lebih parah.”
Manshur bin Al-Mu’tamar selalu mengerjakan qiyamul lail. Apabila musim panas, dia memaki kain dan selendang. Namun, apabila musim dingin, dia memakai selimut. Dia kemudian bangkit menuju mihrab untuk mengerjakan sholat hingga tiba waktu Subuh, seperti kayu yang ditancapkan.
Seorang hamba yang shalih, Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi, senantiasa mengerjakan qiyamul lail. Dia bermunajat kepada Allah, membaca firman-Nya, dan menangis di hadapan-Nya. Melihat tangisannya yang sangat sering, ibunya berkata, “Anakku! Andai saja aku tidak mengetahui masa kecilmu yang baik dan masa dewasamu yang baik juga, niscaya aku menyangkamu bahwa engkau telah melakukan dosa besar karena melihat apa yang engkau lakukan terhadap dirimu siang dan malam.” Muhammad berkata, “Wahai Ibunda. Apa yang dapat menenteramkan ketika Allah melihat diriku yang sedang melakukan sebagian dosa, lalu Dia membenciku? Barangkali Allah berfirman, “Pergilah kamu! Aku tidak mengampunimu.’ Padahal, Al-Qur’an memberiku banyak perkara. Meskipun malam hampir berlalu, namu aku tidak pernah merasa kenyang terhadap kebutuhanku (sholat dan tilawah Al-Qur’an.)”
Putri Tsabit Al-Bunai menceritakan, “Bapakku mengerjakan qiyamul lail selama lima puluh tahun. Ketika menjelang fajar, dia berdoa, ‘Ya Allah! Jika Engkau menganugerahi seorang hamba-Mu bisa sholat di kuburnya, anugerahkanlah kepadaku’.” Putrinya kemudian berkata, “Bagaimana Allah akan mengabulkan doa itu?”
Seorang hamba yang shalih, Manshur bin Al-Mu’tamar membagi malam menjadi tiga bagian. Seperti untuk sholat, sepertiga untuk menangis, dan seperti lagi untuk berdoa.”
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Selama lima malam berturut-turut, aku mengerjakan qiyamul lail dengan membaca satu ayat. Aku mengulang-ulanginya dan berharap diriku bisa mengamalkan kandungannya. Andai saja Allah tidak memberiku kelupaan, tentu aku tidak akan melewatkan ayat itu sepanjang usiaku. Sebab, dalam setiap tadabur aku memperoleh ilmu baru. Al-Qur’an itu tidak akan habis mukjizatnya.”
Nabi selalu membangunkan istri-istrinya agar mengerjakan qiyamul lail. Renungkanlah contoh-contoh singkat tentang qiyamul lail mereka berikut ini.
Dari Urwah bin Zubair, dia berkata, “Aku mendatangi Aisyah pada suatu hari untuk menyampaikan salam kepadanya. Aku mendapatinya sedang sholat dan membaca firman Allah:
“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.” (Ath-Thur [52]: 27)
Aisyah mengulang-ulang ayat ini dan menangis. Aku pun menunggunya. Setelah bosan menunggu, aku pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhanku. Kemudian aku kembali ke tempat Aisyah. Ternyata dia masih mengulang-ulang ayat tadi dalam sholatnya dan menangis.”
Dari Anas, dia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Malaikat Jibril berkata kepadaku, ‘Rujuklah kepada Hafshah, karena dia rajin mengerjakan puasa dan qiyamul lail’.” (HR. Hakim)
Mu’adzah Al-Adawiyah, murid Aisyah, pada malam pengantinnya, dia bersama suaminya, Shillah bin Asyim Al-Adawi, bangun untuk mengerjakan sholat hingga terbit fajar. Ketika suami dan anaknya gugur di medan jihad, dia menghidupkan sepanjang malamnya dengan sholat, ibadah, dan doa. Dia tidur sejenak pada waktu siang. Apabila mengantuk pada saat mengerjakan sholat malam, dia berkata kepada dirinya, ‘Wahai diriku! Kelak engkau akan tidur, tapi tidak sekarang.”
Hafshah bin Sirin, menyalakan lampu pada malam hari. Dia kemudian mengerjakan sholat di sebuah ruangan. Lampu tadi ternyata padam, sehingga tidak bisa menerangi rumah hingga subuh. Hafshah sering berdiam diri di ruang khususnya untuk beribadah selama tiga puluh tahun. Dia tidak akan keluar kecuali untuk memenuhi kebutuhan atau tidur siang sejenak. Dia masuk ruangan tersebut untuk mengerjakan sholat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh. Dai terus berada di ruangan ini hingga matahari meninggi. Dia lalu sholat beberapa rakaat, kemudian baru keluar untuk tidur dan istirahat.
Apabila sholat Isya’, Habibah Al-Adawiyah, mengerjakankanya di atap rumahnya. Dia mengikat kuat pakaian dan kerudungnya. Dia kemudian berkata, “Wahai Rabbku! Bintang-bintang telah bermunculan. Mata telah tidur. Para raja telah menutup pintunya, sedangkan pintu-Mu senantiasa terbuka. Para kekasih pun berduaan dengan kekasihnya. Inilah aku berdiri di hadapan-Mu.” Kemudian, dia mulai mengerjakan sholat dan bermunajat kepada Allah hingga menjelang Subuh. Apabila saat Subuh hampir tiba, dia berkata, “Ya Allah, malam ini telah pergi. Siang pun telah datang. Aduhai, apakah engkau menerima ibadahku pada malam ini sehingga aku akan merasa senang? Ataukah engkau menolaknya sehingga aku pun akan berduka? Demi keagungan-Mu, sungguh ini adalah kebiasaanku, sedangkan kebiasaan-Mu kekal selama Engkau menghidupkanku. Demi keagungan-Mu, seandainya Engkau menghardikku, aku tetap akan tidak akan meninggalkan pintu-Mu. Hatiku pun tidak akan merindukan selain kebaikan-Mu.” Dia juga berkata, “Ya Allah, ampunilah keburukan adabku saat mengerjakan sholat.”
Ufairah Al-Abidah, selalu menghidupkan malamnya dengan mengerjakan sholat dan bermunajat kepada Allah. Seseorang berkata kepadanya, “Engkau bangun sepanjang malam. Mengapa tidak tidur sejenak saja?” Ufairah menangis, kemudian berkata, “Barangkali aku ingin tidur. Namun, aku tidak sanggup melakukannya. Bagaimana seseorang sanggup tidur, padahal dua malaikat yang menjaganya siang dan malam tidak pernah tidur?” Ufairah tidak pernah bosan menangis karena takut kepada Allah. Seseorang berkata kepadanya, “Apakah engkau tidak bosan menangis terus?” Dia menjawab, “Bagaimana seseorang merasa bosan terhadap obat yang menyembuhkannya?” Dalam munajatnya kepada Allah, Ufairah berkata, “Aku bermaksiat kepada-Mu dengan semua anggota badanku. Demi Allah, jika aku diberi kekuatan, niscaya aku menaati-Mu semaksimal mungkin dengan semua anggota badan yang kugunakan bermaksiat kepada-Mu.”
Amrah, istri Al-Ajami, pada suatu malam bangun untuk mengerjakan sholat. Sementara itu, suaminya masih tidur. Ketika waktu subuh hampir tiba dan suaminya masih juga tidur, dia membangunkannya dan berkata, “Bangunlah, wahai suamiku! Malam telah berlalu dan siang telah datang. Di hadapanmu terhadap jalan yang panjang, sedangkan bekalmu sedikit. Kafilah orang-orang shalih telah pergi meninggalkan kita. Sementara itu, kita masih saja di sini.”
Bardah Ash-Sharimiyah, sering menangis hingga orang-orang kasihan melihatnya. Dia bahkan terus menangis hingga buta. Orang-orang pun mencelanya. Bardah berkata, “Seandainya kalian melihat para pelaku maksiat menangis pada hari kiamat, niscaya kalian akan mengatakan bahwa tanginsan ini hanya seperti mainan.” Pada kesempatan lain, Burdah juga mengatakan, “Jika aku termasuk penghuni surga, pasti Allah akan mengganti mataku dengan mata yang lebih baik daripada saat ini. Namun, jika aku termasuk penghuni neraka, maka Allah akan menjauhkan mataku darinya.”
Rayah, bercerita tentang istrinya, Dzu’abah, “Aku menikah dengan Dzu’abah. Apabila mengerjakan sholat Isya’ di akhir waktu, dia mengenakan wewangian dan pakaian indah terlebih dahulu. Kemudian dia datang kepadaku dan berkata, ‘Apakah engkau menginginkan diriku?’ Jika aku jawab, ‘Iya’, dia pun segera melayaniku. Namun, jika aku jawab, ‘Tidak.’ Di segera berdiri untuk mengerjakan sholat sampai tiba waktu subuh.”
Dalam Audah Al-Hijab karya Muhammad bin Ismail, mengisahkan tentang keadaan Fakhriyah binti Utsman Al-Bashriyah dalam mengerjakan qiyamul lail sangat menakjubkan. Dia mengerjakan qiyamul lail semalam suntuk di dekat pintu masjid Al-Aqsha. Dia sholat sampai pintu dibuka sehingga dirinya menjadi orang yang perama masuk dan terakhir keluar darinya. Dia terus melakukan hal ini selama empat puluh tahun. Padahal, Fakhriyah berasal dari keluarga kaya dan berkecukupan. Akan tetapi, dia tidak tertarik dengan harta duniawi yang pasti sirna. Dia bahkan berpaling darinya dan meninggalkannya. Dia merasa puas hidup dengan roti kering dan segelas air. Itulah makannya setiap hari. Dia juga senantiasa mengerjakan puasa dan sholat.
Qiyamul Lail: Tanda Keshalihan Sejati
“Tidak ada orang yang paling disukai setan dari kalangan anak Adam, kecuali orang yang banyak makan dan banyak tidur.” —Wahb bin Munabbih
Sebagaimana diriwayatkan oleh oleh Abu Ya’la dan disebutkan dalam Mathalibul Aliyah, juga Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib, disebutkan bahwa Asma’ binti Yazid meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jika Allah telah menghimpun orang-orang terdahulu hingga orang-orang belakangan pada hari kiamat nanti, maka datanglah penyeru yang mengatakan dengan suara yang bisa didengar oleh seluruh makhluk, ‘Pada hari ini, seluruh makhluk yang terhimpun akan mengetahui siapa orang yang paling layak menerima kehormatan.’ Kemudian ia kembali menyeru, ‘Dipersilakan berdiri orang-orang yang dahulu lambung mereka jauh dari tempat tidur (mengerjakan sholat malam).’ Lalu mereka pun berdiri, dan ternyata jumlah mereka sedikit.’
Yah, hanya sedikit memang yang mampu melaksanakan amalan ibadah utama ini. Namun, bukankah yang terbaik itu memang selalu sedikit? Maka, ambil peranlah dalam yang sedikit itu. Mari mengambil inspirasinya dari para rahib-rahib di malam hari yang Allah beri kehormatan itu…
Meraih Puncak Jabatan, Tetap Tinggi Iman
Umar bin Khathab, yang menduduki jabatan khalifah, yang berarti mengurusi semua urusan kaum muslimin adalah puncak jabatan dalam kekhalifahan Islam. Namun, amalan qiyamul lail tetaplah tak tertinggalkan.
Al-Hasan menuturkan, “Utsman bin Abil Ash menikahi salah satu janda Umar bin Khathab. Dia berkata, ‘Demi Allah, aku menikahimu bukan karena ingin harta atau anak. Namun, aku ingin engkau menceritakan kepadaku bagaimana Umar melalui malamnya.’ Utsman lalu mengajukan beberapa pertanyaan. Di antaranya, “Bagaimana sholat malamnya Umar?” Istrinya menjawab, “Dia mengerjakan sholat Isya’, kemudian memerintahkan kami meletakkan wadah air di dekat kepalanya. Malam harinya, dia bangun, lalu meletakkan tangannya di air. Dia membasuh wajah dan kedua tangannya, kemudian berdzikir kepada Allah hingga tertidur sejenak. Kemudian dia bangun hingga tiba saat untuk mengerjakan qiyamul lail’.”
Mu’awiyah mendatangi Umar bin Khathab menjelang Zhuhur. Dia mengira Umar sedang tidur siang. Umar pun berkata padanya, “Sungguh jelek perkiraanmu. Jika aku tidur pada waktu siang, berarti aku menelantarkan rakyatku. Jika aku tidur pada waktu malam, berarti aku menelantarkan diri sendiri (maksudnya dengan meninggalkan qiyamul lail). Lalu, bagaimana aku bisa tidur pada dua waktu ini, wahai Muawiyah?”
Al-Abbas bin Abdul Muthalib menceritakan, “Aku bertetangga dengan Umar bin Khatab. Tidak pernah aku melihat seorang pun yang lebih baik daripada Umar. Jika malam, dia mengerjakan sholat. Jika siang, dia berpuasa dan mengurusi keperluan rakyat.”
Ibnul Jauzi mengatakan dalam At-Tabshirah-nya bahwa di wajah Umar bin Khathab terdapat dua garis hitam seperti tali karena terlalu sering menangis. Dia melewati malamnya dengan membaca wirid Al-Qur’an, lalu menangis hingga pingsan. Dia juga sering tidak keluar rumah hingga dikunjungi para sahabatnya karena sakit.
Itulah Umar. Tetaplah bersemangat aktivitas ibadahnya. Baik di masa sebelum menjabat khalifah, maupun ketika menjabatnya. Lalu, bagaimana dengan Utsman ketika menjabat sebagai khalifah kaum muslimin?
Dari Hudzaifah, dia berkata, bahwa Utsman selalu berpuasa pada waktu siang dan bangun pada waktu malam. Dia tidur hanya sebentar pada awal malam.
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Telah diriwayatkan lebih dari satu pendapat bahwa Utsman bin Affan sholat dengan memabca seluruh Al-Qur’an dalam satu rakaat di Hajar Aswad pada saat melaksanakan haji. Hal ini memang menjadi kebiasaannya. Oleh karena itu, mengomentari firman Allah:
“(Apakah kamu, hai orang musyrik yang lebih beruntung), ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang dia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?” (Az-Zumar [39]: 9)
Ibnu Umar berkata, ‘Yang dimaksud dalam ayat ini adalah Utsman bin Affan’. Ibnu Umar berkata demikian karena begitu banyak sholat ayng dikerjakan Utsman pada waktu malam dan bacaaan qur’annya, hingga mungkin saja dia membaca seluruh Al-Qur’an dalam satu rakaat.”
Begitulah Utsman, sahabat yang kaya tak hanya secara harta, namun juga amalan-amalan ibadah unggulan. Bagaimana dengan khalifah Ali yang dijuluki Nabi, “Ana madinatul ‘ilm wa ‘aliyyu babuha; Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya”?
Ali bin Abi Thalib, dikenal seabgai orang yang rajin beribadah pada waktu malam. Al-Asytar An-Nakha’i pernah datang menemui Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Ali sedang mengerjakan sholat malam. Al-Asytar berkata, “Wahai amirul mukminin. Mengapa engkau selalu mengerjakan puasa pada waktu siang, begadang pada waktu malam, dan merasa letih dalam dua waktu itu?” Selesai sholat, Ali menjawab, “Perjalanan menuju akhirat adalah perjalanan panjang. Oleh karena itu, untuk melaluinya dibuuthkan perjalanan malam (qiyamul lail).”
Selain tiga khalifah di atas, para pejabat muslim lain pun tak kalah shalihnya dan menjaga amal qiyamul lail mereka.
Said bin Amir Al-Jumahi, dia diangkat oleh Umar bin Khathab sebagai amir di kota Hams. Setelah berlalu beberapa waktu, Umar berkunjung ke Hams dan bertemu dengan penduduknya. Umar menanyai mereka, “Menurut kalian, bagaimana amir kalian?” Penduduk Hams melapor kepada Umar bahwa Said tidak pernah mau menjawab orang yang mengetuk pintu rumahnya memanggil Said. Umar bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan dari Amir kalian?” Mereka berkata, “Dia tidak mau menerima orang pada waktu malam.” Umar lalu bertanya kepada Said, “Apa jawabanmu untuk laporan mereka itu wahai Said?” Said menjawab, “Sebenarnya saya tidak suka menyebutkannya. Saya menjadikan siang untuk mengurusi keperluan mereka dan malam untuk bermunajat kepada Allah.” Umar pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan firasatku kepadamu.”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal rajin mengerjakan qiyamul lail. Istrinya, fatimah bercerita, “Apabila masuk rumah, Umar segera menuju ruang ibadahnya. Dia terus menangis dan berdoa, sampai akhirnya mengantuk. Pada malam harinya, dia bangun dan melakukan hal yang sama.”
Fatimah juga menuturkan, “Bisa jadi ada orang yang lebih banyak mengerjakan sholat dan puasa daripada Umar bin Abdul Aziz. Tetapi, aku belum pernah melihat ada orang yang lebih takut kepada Allah selain dari Umar. Apabila mengerjakan sholat Isya’ di akhir waktu, dia lalu berdiam diri di ruang ibadahnya. Dia berdoa dan menangis sampai matanya mengantuk. Kemudian dia bangun dan kembali berdoa dan menangis sampai matanya mengantuk. Dia terus melakukan hal itu sampai tiba waktu subuh.”
Kesungguhan raja yang shalih dan adil, Nuruddin Mahmud Zanki, dalam mengerjakan qiyamul lail diceritakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayahnya sebagai berikut. “Nuruddin adalah orang yang rajin mengerjakan qiyamul lail. Beliau sering berpuasa. Dia berjihad melawan orang-orang Eropa. Dia banyak mengrejakan sholat pada malam hari. Dia juga banyak berdoa kepada Allah dalam seluruh urusannya.”
Shalahudin Al-Ayubi adalah amir dan mujahid yang berhasil membebaskan Al-Aqsha dari kaum salibis. Dia juga rajin mengrjakan qiyamul lail. Al-Qadhi bin Syadad menceritakannya, “Shalahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang sangat rajin mengerjakan sholat hingga suatu hari ada yang bercerita bahwa selama bertahun-tahun dia tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah. Apabila bangun di malam hari, dia selalu mengerjakan sholat. Apabila tidak bangun, dia mengerjakannya sebelum sholat Subuh. Shalahuddin juga senang menyimak Al-Qur’an. dia adalah orang yang berhati khusyuk dan sering menangis. Hatinya khusyuk jika mendengar Al-Qur’an dan air matanya berlinang dalam sebagian besar waktunya.”
Khalifah Bani Abbas, Harun Ar-Rasyid, juga ditejalaskan Ibnu Katsir, “Harun Ar-Rasyid selalu mengerjakan sholat sunnah dalam sehari seratus rakaat sampai meninggal dunia, kecuali sedang sakit.”
Khalifah Bani Abbas lainnya, Abu Ja’far Al-Manshur, diceritakan oleh Ibnu Katsir, “Sesuai sholat Isya’, Abu Ja’far membaca surat-surat yang datang dari berbagai penjuru negerinya. Seseorang biasanya menemaninya begadang hingga sepertiga malam. Kemudian dia pulang ke keluarganya, lalu tidur hingga sepertiga malam akhir. Kemudian dia bangun, lalu berwudhu dan sholat hingga terbit fajar. Kemudian dia keluar rumah, lalu sholat Subuh berjamaah bersama rakyatnya.”
Hadiahkanlah Nasihat, Angkatlah Ketinggian Derajat
Ah, hadiah apa yang lebih baik daripada nasihat seorang muslim kepada saudara muslim lainnya. Nasihat akan membawa diri dekat dengan jalan-Nya. Memperlancar langkah di surga-Nya. Dan nasihat, memanglah hak seorang muslim atas seorang muslim lainnya. Saling menghadiahilah nasihat, agar derajat ketaqwaan diri meningkat dan terus meningkat. Hingga bertingkat-tingkat.
Dari Abu Ghalib, dia menceritakan bahwa Ibnu Umar menginap di rumah kami di Mekah. Malam harinya, dia mengerjakan sholat qiyamul lail. Pada suatu malam, tepatnya sebelum Subuh, dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Ghalib! Apakah engkau tidak ingin mengerjakan qiyamul lail, meski hanya membaca sepertiga Al-Qur’an?” Aku menjawab, “Wahai Abu Abdurrahman! Waktu subuh hampir tiba. Bagaimana aku bisa membaca sepertiga Al-Qur’an.” Ibnu Umar berkata, “Sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.”
Dari Muawiyah bin Qurrah bahwa bapaknya sering berkata kepada anak-anaknya setelah sholat isya’. “Wahai anak-anakku, tidurlah agar Allah memberimu kebaikan pada malam ini (dengan bangun untuk qiyamul lail).”
Abu Ishaq As-Suba’i berkata, “Wahai para pemuda! Bersungguh-sungguhlah kalian! Bersegeralah melakukan kebaikan selagi kalian masih kuat. Manfaatkanlah masa muda kalian sebelum tua. Sesungguhnya setiap malam aku selalu memabca seribu ayat Al-Qur’an.”
Dari Abdurrahman bin Zaid, dia berkata, “Saat kami dalam suatu peperangan, Atha’ Al-Khurasani menghidupkan malam dengnn mengerjakan sholat. Jika telah berlalu sepertiga atau setengah malam, dia mendatangi kami yang masih berada di dalam tenda. Dia berteriak, ‘Bangun dan berwudhulah! Sambunglah puasa di siang hari dengan sholat di malam hari. Hal ini tentu lebih ringan daripada memakan potongan besi dan meminum nanah. Bersegeralah. Bersegeralah. Kemudian raihlah keselamatan.” Kemudian dia melanjutkan sholatnya.
Sufyan Ats-Tsauri selalu membangunkan kami pada waktu malam. Dia berkata, ‘Bangunlah wahai pemuda! Sholatlah selagi kalian masih muda. Jika tidak sholat pada hari ini, lalu kapan kalian akan sholat?”
Amrah, istri Habib Al-Ajami pada suatu malam bangun untuk mengerjakan sholat. Sementara itu, suaminya masih tidur. Ketika waktu subuh hampir tiba dan suaminya masih juga tidur, dia membangunkannya dan berkata, “Bangunlah wahai suamiku! Malam telah berlalu dan siang telah datang. Di hadapanmu terdapat jalan yang panjang sedangkan bekalmu sedikit. Kafilah orang-orang shalih telah pergi meninggalkan kita, sementara kita masih saja di sini.”
Kesungguhan Selalu Berbuah Kemenangan
Bilalah kita berazzam kuat, akan banyak jalan terbentang mengiring setiap langkah berani yang kita tapakkan. Oleh itulah, kesungguhan diri agar bisa melazimi qiyamul lail, Allah akan memberikan jalan terang-Nya. Membantu hamba-hamba-Nya yang berusaha berdekat-dekat dengan-Nya.
Maka kita banyak mendapati reriwayat para salafush shalih, yang begitu bersungguh-sungguh menjalani amalan ibadah qiyamul lail.
Sufyan bin Uyainah berkata, “Apabila ketika siang aku banyak bermain-main dan ketika malam banyak tidur, maka apa manfaat yang aku peroleh dari ilmu yang telah kutulis?”
Abu Mashar berkata, “Imam Al-Auzai adalah seorang hafizh, ahli fiqih, dan ahli hadits. Dia senantiasa menghidupkan malamnya dengan sholat, membaca Al-Qur’an dan menangis.”
Salah seorang wanita mendatangi istri Imam Auzai. Dia melihat tempat sujud Auzai basah. Dia pun menegur istri ulama itu. “Celaka engkau ini. Engkau membiarkan anak-anak mengencingi ruang ibadah Imam Al-Auzai.” Istri Auzai menanggapi, “Enak saja kamu bicara! Ini terjadi setiap malam karena bekas air mata Al-Auzai dalam sujudnya.”
Ibnu Juraij berkata, “Aku pernah menyertai Atha’ bin Abi Rabah, ulama dan ahli fikih dari Mekah, selama delapan belas tahun. Setelah usianya itu, fisiknya menjadi lemah. Meskipun demikian, dia tetap rajin mengerjakan sholat malam. Biasanya dia membaca dua ratus ayat dari surat Al-Baqarah. Dia terus berdiri dan tidak bergerak.”
Keadaan Imam Abu Hanifah dalam mengerjakan qiyamul lail juga sangat menakjubkan. Abu Ashim An-Nabil berkata, “Abu Hanifah dijuluki sang tonggak karena seringnya dia mengerjakan sholat.”
Dari Yazid bin Al-Kamid, dia berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang sangat takut kepada Allah. Pada suatu malam, Ali bin Al-Husain mengimami kami sholat Isya’. Dia membaca:
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (yang dahsyat).” (Az-Zalzalah [99]: 1)
Saat itu, Abu Hanifah berada di belakangnya. Setelah manusia bubar, Abu Hanifah berdiri untuk mengerjakan sholat sampai subuh. Dia mengulang-ulang doa. “Wahai Dzat yang membalas kebaikan sekecil apapun dengan kebaikan! Wahai dzat yang membalas keburukan sekecil apapun dengan keburukan! Selamatkanlah hamba-Mu, Nu’man, dari siksa neraka beserta segala keburukan yang mendekatkan kepadanya. Masukkanlah dia dalam rahmat-Mu yang luas.”
Mengenai keadaan Imam Malik bin Anas, Asyhab bin Abdul Aziz bercerita, “Pada suatu malam, aku keluar rumah setelah orang-orang tidur. Aku melewati sebuah rumah Malik bin Anas. Saat itu, dia sedang sholat. Seusai membaca surat Al-Fatihah, dia membaca surat At-Takatsur. Dia pun menangis lama, kemudian dai mengulang-ulang surat ini sambil menangis. Tangisannya yang terdengar olehku membuatku lupa terhadap keperluan yang ingin kutunaikan. Aku terus berdiri di dekat rumahnya. Sementara itu, dia masih mengulang-ulang surat At-Takatsur sambil menangis hingga terbit fajar. Mengetahui fajar akan terbit, dia pun rukuk. Aku lalu pulang ke rumahku, kemudian berwudhu dan selanjutnya pergi ke masjid. Ternyata Imam Malik telah berada di majelisnya dengan dikelilingi oleh banyak orang. Ketika pagi datang, aku lihat wajahnya bersinar cemerlang.”
Imam Syafii rajin mengerjakan qiyamul lail tanpa melalaikannya dari mencari ilmu. Salah seorang muridnya, Ar-Rabi’ bin Sulaiman, berkata mengenai dirinya, “Imam Syafii membagi malam menjadi tiga waktu. Sepertiga awal dia gunakan untuk menulis, sepertiga pertengahan dia gunakan untuk sholat. Sepertiga akhir dia gunakan untuk tidur.”
Husain Al-Karabisi bercerita, “Aku bermalam bersama Imam Syafii. Dia mengerjakan sholat kurang lebih selama sepertiga malam. Ketika membaca ayat tentang rahmat, dia memohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada dirinya dan seluruh orang beriman. Ketika membaca ayat tentang azab, dia berlindung kepada Allah dan memohon agar memberikan keselamatan kepada dirinya dan sleuruh orang beriman. Seakan-akan pada dirinya terkumpul rasa harap dan rasa takut.”
Mengenai Imam Ahmad bin Hambal, Ibrahim bin Syammas Al-Abid berkata, “Aku melihat Ahmad bin Hanbal sudah rajin mengerjakan sholat malam sejak kanak-kanak.”
Ibrahim bin hani bercerita, “Imam Ahmad bin Hanbal selalu sholat beberapa rakaat setelah Isya’. Kemudian dia tidur sejenak, kemudian dia bangun, lalu berwudhu. Dia terus mengerjakan sholat malam hingga terbit fajar. Kemudian dia mengerjakan sholat witir satu rakaat. Inilah kebiasaannya selama aku menyertainya. Aku tidak pernah melihatnya tidak mengerjakan sholat meski hanya semalam. Aku sendiri tidak kuat melaksanakan ibadah seperti dirinya.”
Mengenai Imam Bukhari, Abu Hatim Al-Warraq bercerita, “Aku pernah menyertai Abu Abdillah Al-Bukhari dalam sebuah perjalanan dan menginap serumah. Dalam semalam, aku melihatnya bangun lima belas hingga dua puluh kali. Setiap kali bangun, dai mengambil korek dan menyalakan api untuk menerangi sekitar. Dia lalu menulis beberapa hadits agar bisa mengajarkannya, kemudian meletakkan kepalanya untuk tidur. Pada sepertiga malam, dia mengerjakan sholat sebanyak tiga belas rakaat dengan witir satu rakata. Setiap kali bangun, dia tidak membangunkanku. Aku pun berkata kepadanya, “Engkau melakukan semua ini terhadap dirimu dan tidak mau membangunkanku.’ Namun, dia menanggapi, ‘Engkau masih muda. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu.”
Mengenai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya yang bernama Ibnu Abdul Hadi menggambarkan keadaannya, “Pada malam hari, dia mengasingkan diri dari semua orang untuk menyendiri bersama Rabbnya. Dia selalu membaca Al-Qur’an yang agung dan mengulangi berbagai macam ibadah siang maupun malam. Apabila mulai mengerjakan sholat, badannya gemetar hingga oleng ke kanan dan ke kiri.”
Mengenai Ibnu Qayyim, Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali menceritakan, “Dia sering beribadah dan sholat qiyamul lail. Dia sering memanjangkan sholatnya hingga tidak terbatas. Aku belum pernah melihat ada orang seperti dirinya dalam beribadah dan penguasaannya terhadap Al-Qur’an, hadits, dan hakikkat iman. Dia memang tidak maksum, tetapi belum pernah aku melihat ada orang seperti dirinya.”
Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar, dikenal sebagai orang yang rajin mengerjakan qiyamul lail, dhuha, dan berpuasa. Pada akhir hayatnya, dia membiasakan diri untuk berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dia juga sering menyantuni orang-orang miskin.”
Subhanallah. Mari menakar diri. Sejauh mana diri berkualitas ibadahnya seperti mereka. Mari menakar diri. Sebelum ajal menjemput. Sebelum tak lagi berkesempatan diri meraih derajat tinggi di sisi-Nya dengan amalan-amalan unggulan…
Istri, Bisa Berperan Membangkitkan Semangat
Banyak reriwayat yang menginspirasi kita, bahwa tak hanya para suami yang bertanggungjawab membangunkan seluruh keluarga agar berqiyamul lail. Namun, para istri juga berperan besar. Dan memang tidak ada larangan bahwa istri juga boleh membangunkan seluruh keluarga. Karena, bisa saja, sang istri jauh lebih shalihah daripada sang suami. Sehingga, adalah tugas dakwah bagi sang istri untuk bisa tetap menjaga lingkungan islami dalam keluarganya. Insya Allah, pahala dan barakah yang besar dari Allah akan tercurah dengan lancarnya. Insya Allah…
Al-Haitsami bin Jamaz bercerita, “Aku mempunyai seorang istri yang tidak tidur di malam hari. Aku tidak mampu bersabar besamanya untuk tidak tidur. Jika aku mengantuk, dia memercikkan air kepadaku dan membangunkanku dengan kakinya. Dia menegurku, ‘Apakah engkau tidak malu kepada Allah? Sampai kapan engkau akan mendengkur?’ demi Allah, aku sangat malu dengan perbuatanku.”
Apabila telah berlalu sepertiga atau setengah malam, Hunaidah membangunkan suami, anak-anak, dan para pembantunya untuk mengerjakan qiyamul lail. Dia berkata kepada mereka, “Bangunlah, lalu wudhu dan sholatlah, niscaya kalian akan merasa senang dengan perkataanku ini.” Hal ini menjadi kebiasaannya sampai meninggal dunia. Setelah Hunaidah meninggal, suaminya bermimpi mendegar suara yang berkata kepadanya, “Jika engkau ingin menjadi suaminya di surga, kerjakanlah sepeninggalnya seperti yang dia kerjakan di tengah-tengah keluarganya.” Suaminya pun mengerjakan seperti yang selalu Hunaidah kerjakan pada waktu malam. Dia terus mengerjakannya sampai meninggal dunia.
Sepeninggalnya, anak sulungya bermimpi mendengar suara yang berkata kepadanya, “Jika engkau ingin menyusul kedudukan kedua orang tuamu di surga, kerjakanlah sepeninggal mereka seperti yang mereka kerjakan di tengah-tengah keluarga mereka.’ Anak paling besarnya pun mengerjakan seperti yang selalu dikerjakan oleh kedua orang tuanya pada waktu malam. Dia terus mengerjakannya sampai meninggal dunia. Masyarakat kemudian menyebut keluarga tersebut sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan qiyamul lail.”
Jangan Lupa, Biasakan Anakmu Berqiyamul lail Sejak Dini
Itu adalah investasi. Sungguh anak yang shalih, adalah matarantai amal tak terputus penyumbang pahala.
Seorang hamba yang shalih, Sulaiman At-Taimi, bersama anaknya sering berkeliling ke masjid-masjid pada malam hari. Mereka mengerjakan sholat di satu masjid, kemudian di masjid lain hingga tiba waktu subuh.
Zabib bin Al-Harits Al-Ayyami, membagi malam antara dirinya dan anak-anaknya menjadi tiga giliran. Pada giliran pertama, dia bangun untuk mengerjakan sholat. Kemudian pada dua giliran berikutnya, anak-anaknya bangun untuk mengerjakan sholat. Apabila salah seorang di antara anak-anaknya malas qiyamul lail, Zabid berkata, “Tidurlah wahai anakku. Aku yang akan menggantikanmu qiyamul lail pada malam ini.” Zabid pun mengerjakan qiyamul lail hingga semalam suntuk hingga pagi.
Sakit dan Safar Harusnya Tak Menjadi Alasanmu
Keringanan dalam sakit dan safar sering menjadi alasan bagi kita untuk menanggalkan. Namun, para salafush shalih, tetaplah melazimkan. Karena kenikmatan beribadah qiyamul lail, tentu tak ingin dilewatkan begitu saja, walau sehari saja.
Ah, mungkin memang karena kita memang belum melazimkan. Maka kita tak pernah mengerti bagaimana kenikmatan beribadah itu dirasa…
Muhammad bin Ishaq bercerita, Abdurrahman bin Al-Aswad datang kepada kami. Padahal, dia sedang sakit. Meskipun demikian, dia mengerjakan sholat pada sebagian malam hingga tiba waktu subuh. Kakinya yang sakit dia angkat, sedangkan kakinya yang sehat dia gunakan untuk berdiri sholat.”
Ketika kaki urwah bin zubair terjangkit penyakit lepra, para tabib menasihat agar kakinya dipotong. Akhirnya, kaki Urwah dipotong hingga dia pingsan. Akan tetapi, pada malam itu dia tidak meninggalkan qiyamul lail.
Subhanallah….
Abdurrahman bin Adham, menentukan syarat dalam safar bagi teman-temannya: mau membantu dan mendengar. Suatu ketika, dia melakukan safar bersama teman-temannya. Mereka kemalaman di sebuah masjid yang sudah tidak digunakan lagi. Masjid itu tidak memiliki pintu. Mereka menginap di masjid tersebut agar bisa tidur. Malam itu udara sangat dingin. Ibrahim bin Adham menunggui teman-temannya hingga tidur. Setelah itu, dia mengerjakan sholat hingga subuh. Ibrahim menjadikan dirinya sebagai pintu untuk menutupi mereka dari udara yang sangat dingin.
Kisah Thawus lebih hebat lagi. Pada suatu malam, ada seekor singa menghalangi jalan orang-orang yang mau menunaikan haji. Mereka kemudian memukul bunyi-bunyian. Menjelang subuh, singa itu akhirnya pergi meninggalkan mereka. Orang-orang pun menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu merebahkan badan mereka di atas tanah untuk tidur. Seorang hamba yang shalih, Thawus bin Kisan, bangkit untuk mengerjakan sholat. Seseorang berkata kepada Thawus, Engkau sudah kelelahan sejak malam.” Dengan keheranan, Thawus berkata, “Kok sempat-sempatnya orang tidur menjelang subuh?”
Imam Auzai menunaikan haji pada suatu tahun. Dia tidak pernah tidur di atas kendaraannya. Sepanjang malam, dia selalu mengerjakan sholat. Apabila mengantuk, dia bersandar pada pelana binatang tunggangannya.
Al-Hasan bin Ahmad bercerita, “Abu Imran Al-Juwani bertamu dan menginap di rumah kami. Malam harinya, dia bangun untuk mengerjakan sholat dan menangis cukup lama.”
Yah, ibadah qiyamul lail harusnya tetap kita lazimkan, walau dalam safar. Walau dalam safar….
Wasiat dari Para Rahib Malam Hari
Mari mendengarkan petuah-petuah dari para pelaku amalan unggulan ini. Karena sungguh, hati ini butuh asupan nasihat dari mereka yang telah pergi menghadap-Nya itu dengan wajah cemerlang nanti hati yang bersinar.
Abu Ishmah Isham Al-Baihaqi bercerita, “Pada suatu malam, aku menginap di rumah Imam Ahmad. Menjelang tidur, dia mendatangiku dengan membawa wadah berisi air. Dia meletakakkannya di dekatku, lalu pergi. Di waktu subuh, dia membangunkanku untuk sholat subuh. Dia melihat wadah yang masih berisi air. Dia pun mengetahui bahwa semalam aku tidak mengerjakan qiyamul lail. Dia berkata, “Subhanallah. Seorang pemuda mencari ilmu, namun tidak mengerjakan qiyamul lail?”
Abdush Shamad bin Abi Mathar bercerita, “Aku menginap di rumah Imam Ahmad bin Hanbal pada suatu malam. Menjelang tidur, dia meletakkan air di dekatku. Tatkala membangunkanku untuk sholat subuh, dia mendapatiku tidak menggunakan air itu. Dia lalu mengecamku, ‘Orang yang mempelajari hadits, namun tidak mengerjakan qiyamul lail?’ Aku mengelak, ‘Saya musafir,’ dia berkata, ‘Meskipun engkau musafir. Masruq bin Ajda’ menunaikan haji, dia tidak tidur kecuali ketika sedang sujud’.”
Al-Junaid bercerita, “As-Sari As-Saqathi berkata kepada kami ketika kami sedang berada di sekelilingnya. ‘Aku menjadi pelajaran bagi kalian. Wahai para pemuda, beramallah! Sesungguhnya saat beramal adalah pada masa muda!”
Abu Utsman An-Nahdi bercerita, “Aku bertamu di rumah Abu Hurairah selama tujuh hari. Dia bersama istri dan pembantunya membagi malam menjadi tiga giliran. Salah seorang sholat pada satu giliran, kemudian membangunkan yang lain pada giliran berikutnya.”
Hasan bin Ali mengambil bagian pada awal malam untuk mengerjakan qiyamul lail. Sementara itu, Husain mengambil bagiannya pada akhir malam.
Hasan bin Shalih beserta saudaranya, Ali bin Shalih, dan ibu mereka membagi malam menjadi tiga bagian. Ali mengerjakan sholat di bagian pertama, kemudian tidur. Hasan mengerjakan sholat di bagian kedua, kemudian tidur. Sementara itu, ibu mereka mengerjakan sholat di bagian ketiga, kemudian tidur. Setelah ibu mereka mneinggal, Hasan dan Ali membagi malam menjadi dua bagian. Kemudian Ali bin Shalih meninggal. Hasan bin Shalih lalu mengerjakan sholat semalam suntuk.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Keutamaan sholat malam dibanding sholat siang adalah seperti keutamaan sedekah dengan diam-diam dibanding sedekah dengan terang-terangan.”
Abu Dzar Al-Ghifari berwasiat, “Wahai umat manusia! Aku ingin menyampaikan nasihat kepada kalian. Aku kasihan kepada kalian. Kerjakanlah sholat pada malam yang gelap untuk menghadapi kubur yang sepi. Berpuasalah di dunia untuk menghadapi hari pengumpulan yang panas (kiamat). Bersedekahlah agar tidak takut pada hari ayng sulit (kiamat). Wahai umat manusia! Aku adalah penasihat kalian. Aku kasihan pada kalian.”
Amru bin Ash berkata, “Satu rakaat sholat malam lebih utama daripada seluruh sholat sunnah di siang hari.”
Hasan Al-Bashir berwasiat, “Tidak ada amalan yang dikerjakan oleh seorang hamba, setelah jihad di jalan Allah, yang lebih utama daripada qiyamul lail.”
Tsabit Al-Bununi mengatakan, “Seorang ahli ibadah tidak disebut ahli ibadah, meskipun mempunyai semua kebiasaan baik, sampai dia mengerjakan kebiasaan berikut: puasa dan sholat. Sebab, keduanya adalah darah dan dagingnya.”
Abu Sulaiman Ad-Darani, berkata kepada muridnya, Ahmad bin Abil Hawari, “Wahai Ahmad, jadilah bintang. Jika tidak bisa jadi bintang, jadilah bulan. Jika tidak bisa juga jadi bulan, jadilah matahari.” Ibnu Abil Hawari pun keheranan. Dia bertanya kepada gurunya, “Wahai Abu Sulaiman. Bulan itu lebih terang daripada bintang, sedangkan matahari lebih terang daripada bulan.” Abu Sulaiman menjelaskan, “Wahai Ahmad. Jadilah seperti bintang yang terbit sejak permulaan malam hingga tiba fajar. Kerjakanlah qiyamul lail dari permulaan hingga akhir malam. Jika engkau tidak mampu mengerjakan qiyamul lail, jadilah sepeti matahari ayng terbit sejak permulaan siang hingga petang (maksudnya kerjakanlah sholat pada waktu siang). Jika engkau tidak mampu mengerjakan qiyamul lail, jangan bermaksiat kepada Allah pada waktu siang.”
Dalam Ar-Raqa’iq karya Ar-Rasyid disebutkan tentang perkataan Hasan Al-Banna, “Menit-menit malam itu sangat mahal. Oleh karena itu, jangan kalian menjadikannya murah dengan kelalaian.”
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!