Islam merupakan agama yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapan pun. Allah telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan itu, seluruh masalah hidup makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satu pun yang dirugikan.
Aturan-aturan Islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia; Dia Maha Tahu atas hakikat makhluk yang diciptakan-Nya.
Ingatlah betapa Rasulullah tidaklah pernah membedakan para wanita dalam mendapatkan ilmu. Rasulullah bahkan menyediakan waktu dan tempat tersendiri untuk kajian kaum wanita atau mengutus orang-orang tertentu untuk mengajari para wanita bersama mahramnya. Dengan begitu, kita semakin mendapatkan gambaran yang begitu jelas, dan juga detail. Islam mencerdaskan kaum wanita. Yah, bukankah laki-laki dan perempuan sama-sama dituntut untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik? Maka dengan begitu, mari memulainya dari sini. Menghancurkan segala mitos yang justru membelenggu ruang gerak muslimah.
Dr. Yusuf Qaradhawi pernah melontarkan keheranannya saat melihat fenomena maraknya upaya menjauhkan para muslimah dari majelis ilmu. Begini kata beliau dalam bukunya Prioritas Gerakan Islam, “Tahun 70-an, saya terus menghadiri muktamar tahunan Asiosasi Mahasiswa Islam Amerika dan Kanada selama beberapa tahun, di mana ikhwan dan muslimah hadir menyaksikan jalannya ceramah. Muslimah yang hadir disitu ikut mendengar komentar, pertanyaan, jawaban dan diskusi tentang masalah-masalah Islam yang besar, baik menyangkut fikrah, ilmiyah, sosial, pendidikan dan politik. Tapi, tahun delapan puluhan, suasana menjadi berubah. Ketika saya menghadiri beberapa muktamar di Eropa dan Amerika, saya temukan pemisahan total dua jenis kelamin itu. Saya lihat para muslimah tidak dapat menghadiri sebagian besar ceramah-ceramah, diskusi dan seminar yang dikelola oleh laki-laki. Padahal, forum itu begitu penting bagi wanita. Di antara muslimah ada yang mengadu pada saya tentang kebosanan mereka mengikuti ceramah-ceramah yang hanya seputar kewanitaan saja, seperti hak-hak, kewajiban dan kedudukan wanita dalam Islam.”
Agama Islam tak pernah memandang dan menilai muslimah sebagai masyarakat kelas dua dengan hak dan tanggung jawab yang lebih rendah dari kaum pria.
Dalam dunia ilmu hadits misalnya, lbnu Asakir telah menyebutkan bahwa lebih dari delapan puluh wanita yang menjadi ahli hadits. Di antaranya adalah Aliyah binti Hasan, sang pemimpin Bani Syaiban, yaitu seorang yang cerdik lagi terhormat yang sering dikunjungi oleh Shalih Al-Marwi dan tokoh-tokoh ulama fiqih Bashrah untuk dimintai pendapatnya tentang berbagai masalah.
Bahkan, Zainab binti Ummi Salamah, telah dilukiskan oleh lbnu Katsir sebagai salah seorang yang paling dalam ilmu agamanya di kota Madinah saat itu. Selain itu, ada di antara para sahabat yang sering membacakan catatannya di hadapan seorang sahabiyah yang bernama Ummu Sa’ad binti Rabi’. Kerennya, mereka pun mohon dikoreksi bila terdapat kesalahan-kesalahan dalam catatannya.
Dalam dunia medis, bahkan tercatat nama Ka’biyyah binti Saad Al-Aslamiyyah, ia adalah salah seorang dokter wanita. Beliau mendirikan tenda poliklinik yang bersebelahan dengan masjid Nabawi, memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Islam. Atas jasa jihad dan sosialnya itu, Rasulullah memberinya hadiah sebuah anak panah di waktu perang Khaibar. Rasul juga pernah menunjuk Asy-Syafa’ binti Abdullah untuk mengajarkan tulis-baca kepada kaum muslimin. Asy-Syafa’ pun digelar “guru wanita pertama dalam Islam”.
Dengan segala hal di atas, bukankah itu menunjukkan bahwa Islam tak pernah membatasi apalagi mempersempit ruang gerak wanita khususnya untuk menuntut ilmu dan juga menunaikan kewajiban mereka membangun peradaban masyarakat Islam. Karena para shahabiyyat tahu bahwa kedudukan dan peranan yang mereka emban dalam menghasung pembangunan sebuah masyarakat Islam. Tahu di mana seharusnya berposisi. Maka kemudian, berlomba-lomba merengkuh amal yang paling maksimal untuk berkontribusi dalam kejayaan Islam.
Salah seorang sahabiyah yang bernama Qailah Al-Anmariyah adalah seorang pedagang yang harus pergi ke pasar. Dalam riwayat, ia pernah bertanya pada Rasul, “Ya Rasulullah, saya ini seorang pedagang. Apabila saya mau menjual barang, saya tinggikan harganya di atas yang diinginkan, dan apabila saya membeli saya tawar ia di bawah yang ingin saya bayar. Maka Rasul menjawab, “Ya, Qailah! Janganlah kau berbuat begitu. kalau mau beli, tawarlah yang wajar sesuai yang kau inginkan. Diberikan atau ditolak.”
Jadi, intinya sederhana, sebagaimana penuturan indah dari ustadz Umar Tilmisani. Bahwa Islam tidak melarang seorang wanita menjadi dokter, guru sekolah, tokoh masyarakat, perawat, peneliti dalam berbagal bidang ilmu, penulis, penjahit serta profesi lain sepanjang itu tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!