Abdullah Ibnu Abbas adalah saudara sepupu Rasulullah. Beliaulah yang mendapat doa dari Rasululullah, “Ya Allah, pandaikanlah ia dalam urusan agama, ajarakanlah kepadanya tentang ta’wil (menafsirkan Al-Qur’an).”
Sejarah kemudian menuturkan, kefaqihannya benar-benar mengagumkan. Kita bisa melihatnya dalam salah satu episode kepandaiannya menyampaikan kebenaran dan pemahamannya terhadap Kitabullah.
Saat itu telah banyak orang-orang berkumpul untuk membuktikan siapa yang lebih paham Kitabullah.
“Apa yang menyebabkan tuan-tuan begitu mendendam dan membenci Ali?” Tanya Ibnu Abbas, langsung ke inti permasalahan.
“Ada tiga hal yang menyebabkan kami begitu. Pertama. Dalam agama ia bertahkim (mengambil hukum) kepada manusia. Padahal Allah telah berfirman, “Tiada hukum kecuali bagi Allah.”(Al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67). Yang kedua. Dia berperang, tetapi tidak menawan dan tidak pula mengambil ghanimah. Padahal, seandainya mereka itu orang kafir, tentulah halal harta mereka itu. Tetapi jika mereka beriman tentulah haram darahnya. Ketiga. Saat bertahkim, ia rela menanggalkan ‘pakaian’ Amirul Mukminin, demi tuntutan lawannya. Padahal, jika ia tidak lagi menjadi amir orang beriman, tentu ia merupakan amir orang kafir,” jawab salah seorang dari mereka.
Dengan seksama Ibnu Abbas mencermati jawaban mereka. Lalu beliau berkata, “Mengenai jawaban tuan-tuan yang pertama. Sesungguhnya Ali tidaklah salah. Bahwa Ali bertahkim kepada manusia dalam agama Allah. Bukankah Allah telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan sewaktu kalian dalam ihram. Barangsiapa diantara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu. Yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil diantara kalian sebagai hakimnya.” (Al-Maidah [5]: 95)
“Maka, demi Allah. Manakah yang yang lebih penting? Bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham!”
Jawaban yang sungguh mencengangkan. Yang membuat mereka kalah telak di jawaban pertama.
Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan.
“Dan tentang Ali berperang tetapi tidak melakukan penawanan dan menjadikan harta mereka sebagai harta rampasan perang. Apakah kalian ingin mengambil Aisyah isteri Rasulullah sebagai tawanan dan menjadikan pakaian berkabungnya sebagai harta rampasan?”
Di jawaban kedua mereka pun kalah. Bahkan kali ini mereka benar-benar malu. Sangat malu.
Kemudian dilanjutkan lagi, “Sedangkan mengenai jawaban yang ketiga bahwa Ali menanggalkan ‘pakaian’ Amirul Mukminin. Bukankah tuan-tuan lupa dengan yang dilakukan Rasulullah saat perjanjian Hudaibiyah? Ketika beliau mendiktekan surat kesepakatan yang telah tercapai antara beliau dengan orang-orang Quraisy, beliau berkata, ‘Tulislah, inilah yang telah di setujui oleh Muhammad Rasulullah…., belum sempat beliau melanjutkan, salah seorang dari orang-orang Quraisy itu berkata, ‘Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu pergi ke Baitullah dan tidak memerangimu. Tulislah: inilah yang telah di setujui oleh Muhammad bin Abdullah…’ Rasulullah berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku ini utusan Allah. Walaupun kamu tak mengakuinya.’Lalu, kepada penulis surat perjanjian itu beliau berkata, ‘Tulislah apa yang mereka inginkan, tulislah: Inilah yang telah di setujui oleh Muhammad bin Abdullah….’.”
Berkat lisan penuh hikmah dan kemuliaan Ibnu Abbas. Tercatat. Pada saat peristiwa itu 20.000 orang berbondong-bondong kembali memihak Ali.
Selain itu, ada sosok Mujahid bin Jabar. Salah seorang tabiin yang menghabiskan waktunya untuk berkhidmat memastikan Al-Qur’an sampai kepada generasi berikutnya dengan benar. Sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi, dan para sahabat.
Beliau serius mengkaji tafsir dari gurunya Abdullah Ibnu Abbas sebanyak lebih dari 30 kali. Dari Al-Fatihah sampai An-Naas. Kemudian beliau mengujikannya kepada sang guru. Itu dilakukannya tiga kali. Lengkap dari awal Al-Fatihah sampai An-Naas. 30 juz lengkap dan tanpa kurang satu huruf pun. Inilah yang membuat Sofyan Ats-Tsauri berkomentar, “Jika sampai kepadamu tafsir dari Mujahid, maka itu pun cukup.”
Ada pula Ikrimah. Mantan budak Abdullah Ibnu Abbas. Untuk menjamin kelurusan pemahamannya terhadap Al-Qur’an beliau belajar kepada Abdullah Ibnu Abbas gurunya selama 40 tahun. Ketika belajar, Abdullah Ibnu Abbas memasang semacam belenggu di kaki Ikrimah agar tidak lari kemana-mana. Walhasil, Ikrimah sudah mulai berfatwa saat gurunya masih hidup. Bahkan, saking berkharisma dan faqihnya, ketika ia berkunjung ke Bashrah, kota tempat Hasan Al-Bashri mengajar murid-muridnya, seketika itu pula menghentikan kegiatan mengajarnya dan kemudian bersama-sama dengan muridnya belajar kepada Ikrimah.
Subhanallah!
Asy-Sya’bi bahkan berkomentar, “Dari sekian ulama yang masih hidup. Sekarang ini, tinggal Ikrimah saja yang benar-benar memahami Al-Qur’an.”
Tertera juga nama Qatadah bin Di’amah. Tabi’ut tabi’in yang diuji oleh Allah dengan kebutaan. Kebutaan Qatadah ini menjadi bukti, walaupun kekurangan, itu tak menjadi soal dan tak menjadi alasan.
Qatadah belajar kepada Sa’id bin Musayyib selama tiga hari. Sehingga Sa’id berkata, “Silakan lanjutkan perjalanan thalabul ilmi Anda. Anda telah mengkaji semua ilmu yang saya kuasai.”
Tiga hari saja!
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!
