Perempuan itu berhenti di depan bangku taman. Dibersihkannya sebentar dengan tangan yang mengusap-usap sekenanya. Seluruh dunia juga tahu, pengusapan macam itu tidak akan mampu membersihkan maksimal debu yang meniduri bangku itu.
Ia tersenyum sebentar, duduk, lalu meletakkan goodie bag oranye yang tak seberapa besar, dengan desain minimalis, di sampingnya.
Sudah lima hari ini aku melihatnya duduk di bangku itu, dan sudah empat hari ini ia melakukan itu.
Empat puluh lima menit berlalu. Selama waktu ini, beberapa kali ia mengangkat sedada tangan kirinya. Menatap arloji. Melihat waktu. Beberapa kali pula, ia menengok isi goodie bag itu. Sebentar tersenyum. Lalu matanya mengitari pemandangan sekitar. Hari pertama aku melihatnya di sini, ia bengong-bengong saja. Namun, hari-hari selanjutnya, ia melakukan ritual yang sama. Persis. Seperti hari ini.
Kakinya menjejak-jejak dalam ritme yang kecil. Mulutnya bernyanyi-nyanyi kecil. Matanya berbinar. Walau telah agak lama menunggu, ia sepertinya masih menaruh harapan besar, bahwa seseorang yang dinantinya akan datang. Biasanya, hingga tiga jam-an ia menunggu. Bila yang tak ditunggu itu datang, ia pergi lagi.
Kenapa ia tidak menelepon atau memberi pesan singkat kepada yang ditunggu, batinku.
Sudah lima hari. Aku penasaran. Sebenarnya, siapa yang ditunggunya?
Kuayunkan keberanian menujunya. Kubetulkan sedikit letak selempangan Canon 30D. Sedari tadi, aku yang bersender pada pohon dan hanya memperhatikannya, penasaran juga. Ia tengah menunggu siapa.
“Tak ada,” katanya ringan, setelah ia mengizinkanku duduk di sampingnya dan kutanya ia menunggu siapa. Dan ia tersenyum. Matanya masih berbinar. Dan harus kuakui, ia cantik dari dekat. Cantik yang natural. Tak banyak sentuhan make up yang tebal nan menyebalkan.
“Aku memperhatikanmu sedari tadi. Serius engkau tak menunggu siapa pun?” Aku yang justru keheranan.
Ia menolehiku. “Apa arti menunggu bagimu?”
“Eh? Aku bertanya dan kau balik bertanya?”
“Hahaha. Aku perlu tahu versimu sebelum aku menjelaskan versiku, bukan?”
“Versi makna menunggu maksudmu?”
“Iya.” Mata kanannya mengedip. Ia bahkan mulai terlihat genit.
“Menunggu adalah mencoba sesabar mungkin sampai yang diharapkan itu datang.” Aku menjentikkan kerahku. Sepertinya aku memberikan definisi yang menarik. Aku patut bersombong kecil lah.
Ia justru tertawa. Bahkan menelangkupkan kedua tangan di mukanya agar tertawa kerasnya tak begitu menyindirku.
“Hei, tertawamu menyindir, sekali. Kau punya definisi yang lebih baik?”
Ia masih mencoba menghentikan tawa sindiran sialannya itu.
“Oke, oke. Tenang ya. Bagiku, menunggu adalah kata kerja. Menunggu tidak kemudian terduduk-mangu mengharapkan ada seseorang datang menawarkanmu bunga. Menunggu, adalah menjemput yang engkau harapkan. Agar ia makin dekat denganmu. Agar ia tergapai di tanganmu. Agar ia terpeluk di rangkulanmu.”
“Tapi, kau duduk-duduk saja di sini. Bukankah itu berlawanan dengan definisi menunggu yang kau ocehkan padaku tadi?
Ia tertawa lagi.
“Tidak, ah. Aku melakukan itu untuk menarik perhatianmu, saja. Aku sedang menjemputmu.”
Ia membuatku tak mengerti.
“Menjemputku? Menarik perhatianku? Darimana kau tahu bahwa aku akan ke sini dan mengajakmu berbincang?”
“Menurut perhitunganku, sejak pertama aku ke sini lima hari lalu, berarti kau sudah memotretku diam-diam sebanyak 50 kali lebih.”
Ah, sial! Darimana dia tahu? Batinku.
“Awal aku datang, aku hanya memang ingin menikmati kebengongan. Kau tahu, kebengongan dapat membuat kita lebih fresh daripada berlibur. Tanpa sengaja, aku mendapatimu memotretku diam-diam bersender pohon dari lima ratusan meter di sana.”
“Lalu?”
“Ya, lalu, hari-hari selanjutnya, aku mengerjaimu, agar kau penasaran dan mendekatiku.”
“Dengan cara kampungan seperti ini, maksudmu?”
“Hahaha. Cara-cara yang kampungan selalu berhasil, kan? Buktinya, kau sekarang tertarik padaku.”
Kesimpulan yang tergesa-gesa, aneh, dan susah dipahami.
“Ah, sepertinya aku butuh pisau mentega, untuk bunuh diri pelan-pelan.”
“Hahahaha. Bagaimana kalau kita melakukannya sambil minum teh?”
“Kau memang orang paling aneh yang pernah kutemui.”
Meski begitu, aku tetap menarik tangannya, dan mengajaknya berjalan menuju kafe pinggir jalan terdekat. Terkadang, cinta memang datang dengan cara yang aneh. Dengan pasangan yang aneh pula. Apalagi, saat kutahu, bahwa dalam goodie bag itu ternyata hanya berisi sebuah kartu pos usang kiriman neneknya yang bertuliskan: good things come to those who wait. Sepertinya, ia sesekali menengoki goodie bag itu untuk memberinya semangat. Sebuah semangat untuk terus menunggu. Menunggu yang menjemput. Sesuai petuah neneknya.
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!
