Lebih dari dua ratus kali dzikir disebutkan dalam Al-Qur’an. Baik berupa perintah, fadhilah, maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa ada sekitar seratus faedah dzikir. Sedangkan Ibnu Taimiyah (guru dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Katsir, dan beberapa ulama lainnya) mengatakan bahwa, “Ada surga di dunia. Dan barang siapa belum memasukinya ia tidak akan memasuki surga di akhirat, yaitu dzikrullah.” Beliau juga berkata, “Dzikir bagi hati bagai air bagi ikan. Lalu, bagaimana keadaan ikan jika dikeluarkan dari air?”
Suatu kali, kalangan fuqara’ pernah mendatangi Rasul dan mengadu, “Wahai Rasul, orang-orang kaya memborong pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka shaum sebagaimana kami shaum, tetapi mereka bisa bersedekah sedangkan kami tidak.”
Nabi kemudian menjawab, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah …” (HR. Muslim)
Selaras dengan itu ada sebuah hadits, Dari Ibnu Mas’ud yang meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Aku bertemu dengan Nabi Ibrahim di malam Isra’. Beliau berkata, ‘Wahai Muhammad sampaikan salam untuk ummatmu, dan beritahukan kepada mereka bahwa jannah itu subur tanahnya, tawar airnya, tanahnya datar, dan bahwa tanamannya adalah subhannallah, alhamdulillah, la ilaha illa lllah, dan Allahu akbar’.” (HR. Tirmidzi)
Diriwayatkan pula dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang mengucapkan, ‘Subhana rabbi wa bihamdihi’,” maka akan ditanamkan untuknya satu pohon kurma di jannah.” (HR. Tirmidzi)
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa setan senantiasa memantau hati anak Adam. Jika dia lalai, setan meniupkan bisikannya. Jika dia berdzikir, setan akan enyah darinya. Inilah maksud dari al was-wasil khannas, yakni membisiki di saat manusia lalai dan enyah di saat manusia berdzikir.
Apa maksud dari dzikir itu?
Said bin Zubair berkata, “Dzikir itu berarti taat kepada Allah. Maka barangsiapa yang mentaati Allah. Berarti dia telah berdzikir kepada-Nya. Meskipun dia memperbanyak tasbih dan membaca Al-Qur’an.”
Baca Juga: Mari Tertakjub dengan Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an
Suatu hari Nabi bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian aku beritahu tentang amalan yang paling baik bagi kalian. Yang paling suci di hadapan raja kalian, dan paling tinggi dalam mengangkat derajat kalian? Bahkan ia lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak dan dari pertemuan kalian dengan musuh kalian lalu kalian menebas leher mereka dan mereka pun menebas leher kalian?”
Mereka menjawab, “Tentu saja!”
Kemudian Nabi bersabda, “Yaitu dzikrullah.”
Saat menafsirkan firman Allah, “Yaitu orang-orang beriman dan menjadi damai hati mereka karena dzikrullah” (Ar-Ra’d [13]: 28), Imam Syaukani dalam tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dzikir adalah tilawah Al-Qur’an, membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, termasuk dzikir juga adalah mendengarkan bacaan itu dari orang lain.
Berbeda dengan Imam Syaukani. Sa’id bin Jubair seorang tabi’in mengatakan bahwa dzikir itu bukan hanya bacaan tahmid, tahlil, takbir, dan tasbih saja. Akan tetapi, segala bentuk ketaatan kepada Allah adalah bentuk dzikir kepada-Nya. Sedangkan Imam Nawawi menegaskan bahwa dzikir adalah amalan hati sebelum menjadi amalan lisan. Artinya, saat bertasbih misalnya, kita mesti tahu makna dari bacaan tasbih itu, sekaligus konsekuensi darinya. Tidak dikatakan seseorang itu bertasbih sementara dirinya merasa sombong.
Malik bin Dinar (murid dari Anas bin Malik, Said bin Jubair, Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirrin, dan lain-lain) mengatakan bahwa, “Tidak ada yang lebih terasa lezat bagi orang yang bisa merasakannya melebihi dzikrullah. Tidak ada amalan lain yang lebih mencukupi kebutuhan, lebih lezat, dan lebih menggembirakan hati selainnya.”
Sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan, ”Perumpamaan orang yang berdzikr kepada Rabb-Nya dan yang tidak berdzikir adalah seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari-Muslim)
Jadi, sudah berdzikirkah engkau hari ini? Agar hati tetap terang, agar jiwa tak menggelandang. Agar hati menjadi lunak dan keras. Agar hati senantiasa dalam lingkup kebaikan yang tak terbatas.
“Anggaplah bahwa sedikit rezeki yang Allah karuniakan kepadamu itu banyak, sebagai jalan agar bersyukur,” kata Ahmad bin Ashim berkata, “Anggaplah bahwa banyaknya ketaatanmu kepada Allah itu sedikit, supaya engkau bisa merendahkan diri dan menjemput ampunan-Nya. Raihlah kewaspadaan dengan ketakutan yang sangat kepada Allah. Lawanlah rasa tamak yang berlebihan dengan mengutamakan qanaah. Putuskanlah hal-hal yang menjadi penyebab ketamakan dengan putus asa yang dibenarkan. Tutuplah jalan ujub dengan mengenal diri sendiri. Carilah kerehatan badan dengan menghibur hati. Selamatkanlah hiburan hati dengan sedikit bergaul. Terbukalah untuk melunakkan hati dengan selalu bermajelis dengan orang yang gemar berdzikir. Juga, bersegeralah untuk mencari kebaikan selama masih ada kesempatan. Aku juga mengingatkanmu dari kata, ‘Ah, nanti saja!’.”
Mari kita menyeksamai kehidupan Malik bin Dinar. Kehidupan Malik bin Dinar sangat sederhana. Saking sederhananya, sampai-sampai ketika ada pencuri masuk ke rumahnya, tak mendapatkan apa-apa.
Menyadari pencuri yang kecewa berat. Daripada pulang tak membawa apa-apa. Malik Bin Dinar berkata, “Kamu tidak mendapati sesuatu dari dunia yang bisa kamu curi kan? Mari sini, aku tawarkan sesuatu yang bisa kamu ambil nanti di kemudian hari.”
Merasa terpojok, daripada diteriaki maling, pencuri itu pun menurut saja. Kemudian Malik bin Dinar mengajaknya berwudhu dan mengerjakan shalat dua rekaat.
Sungguh, sebuah kisah yang aneh. Bagaimana tidak, seorang pencuri dengan niat hati ingin mencuri, justru berakhir dengan berdzikir bersama seorang ulama besar.
Orang yang berdzikir kepada Allah di tengah-tengah orang orang yang lalai adalah seperti pohon yang hijau di tengah-tengah pohon yang kering. Oleh karena itu, selalu basahkan lisan dengan dzikir setiap saat. Agar diri selalu merasa dekat dengan-Nya. Agar syetan juga tidak punya kesempatan untuk mendekati.
“Tidak ada sesaat pun di dunia ini kecuali akan ditampakkan kepada seorang hamba pada hari kiamat sehari demi sehari, jam demi sejam. Tidak ada sesaat yang berlalu tanpa berdzikir kepada Allah kecuali jiwanya sangat menyesali. Lantas, bagaimana bila jam demi jam, dan hari demi hari terlewati?” kata Abu Amru Al-Auza’i.
Bahkan, demi menghormati setiap kata untuk mengagungkan-Nya, ulama-ulama dahulu juga senantiasa menyucikan tempat mereka mengeluarkan kata.
“Selama tiga puluh tahun, setiap kali aku hendak berdzikir kepada Allah, aku selalu berkumur dan mencuci mulutku, sebagai bentuk pengagungan kepada-Nya,” kata Abu Yazid Al-Busthami.
Mari, menikmati kelezatan dzikrullah tanpa nanti-nanti. Karena sungguh, kita tak pernah tahu hingga kapan usia ini terus membersamai.[]
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!
