al-qur'an

Etika Membaca Al-Qur’an

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyebutkan sepuluh hal tentang etika saat membaca Al-Qur’an. Berikut ini saya sajikan kembali secara ringkas karena dengan memerhatikan benar etika ini, akan meningkatkan pemahaman kita mengenai bagaimana seharusnya berinteraksi dengan Al-Qur’an.

1 – Fahmu Ashl Al-Kalam

Yaitu mengerti keagungan kalam, anugerah, dan taufik Allah terhadap makhluk-Nya saat Al-Qur’an diturunkan dari arsy-Nya menuju derajat pemahaman makhluk-Nya. Maka, renungkanlah betapa lembut Allah kepada makhluk-Nya saat menyampaikan makna kalam-Nya ke pemahaman makhluk-Nya.

2 – At-Ta’zhim

Yaitu saat pembaca mulai mendaras Al-Qur’an sepatutnya ia merasakan keagungan Allah hadir dalam hatinya, sadar bahwa apa yang dibacanya bukan dari ucapan manusia, dan bahwa dalam membaca kalam Allah terdapat kedudukan yang tinggi.

“Tidak diperbolehkan menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” (Al-Waqiah [56]: 79)

Sebagaimana sampul luar dan lampiran mushaf dijaga dari kulit luar orang yang menyentuh, kecuali dia telah suci, maka dalamnya juga bermakna sama. Dengan ketentuan Allah, yaitu terhalang dari lubuk hati, kecuali hatinya bersih dari kotoran (dosa) dan akan menjadi terang sebab cahaya keagungan dan kewibawaan itu.

3 – Hudhur Al-Qalb

Yaitu hadirnya hati. “Wahai Yahya, ambillah kitab ini dengan sungguh-sungguh.” (Maryam [19]: 12).

Maksudnya, adalah ketika dia membaca Al-Qur’an, konsentrasinya hanya kepada Al-Qur’an dan berpaling dari yang lain.

4 – At-Tadabbur

Yaitu aktivitas di balik khusyuknya hati. Terkadang orang hanya memikirkan Al-Qur’an. Akan tetapi, dia hanya terpaku mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari dirinya sendiri. Ia tidak merenungkan dan menadaburkan apa yang dibacanya. Padahal, tujuan membaca adalah menafakurkan dan merenungkan isi Al-Qur’an. Oleh karena itu, tadabur sangat dianjurkan (disunahkan).

Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Tidak ada keistimewaan dalam ibadah yang tidak dipahami, dan dalam bacaan yang tidak ditafakurkan atau direnungkan.”

5 – At-Tafahum

Yaitu dia akan menafsirkan setiap ayat dengan penafsiran yang patut. Dalam Al-Qur’an, terdapat sifat Allah, perbuatan-perbuatan-Nya, kondisi para nabi, orang-orang yang mendustakan mereka, bagaimana para pendusta itu dibinasakan, perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, serta masalah surga dan neraka.

Sifat-sifat Allah disebutkan dalam firman-Nya, “Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia (Allah) yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Asy-Syuara’ [42]: 11) dan “Dialah Sang raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Maha Memberi Aman, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Maha Memelihara.” (Al-Hasyr [59]: 23)

Maka renungkanlah arti dari nama-nama dan sifat-sifat itu, agar rahasia-rahasianya terkuak. Di dalamnya terdapat makna-makna terpendam, yang tak akan terbuka kecuali bagi orang-orang yang mendapat taufik-Nya.

 

Baca juga: Keajaiban Kisah dalam Al-Qur’an

 

Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Tidak ada yang lebih menggembirakan Rasulullah yang itu beliau rahasiakan dari manusia kecuali anugerah pemahaman terhadap kitab-Nya yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.” Maka, jadilah orang yang berkeinginan kuat untuk mendapatkan pemahaman itu.

6 – At-Takhalli An Mawani’ Al-Fahm

Yaitu menjauhi hal-hal yang bisa menghalangi pemahaman terhadap Al-Qur’an. Kebanyakan orang tidak bisa memahami makna Al-Qur’an karena beberapa sebab dan penghalang yang ditutupkan setan dalam hati mereka. Sehingga, mereka buta akan keajaiban-keajaiban rahasia Al-Qur’an. Ada empat hal yang bisa menghalangi seseorang dari maksud Al-Qur’an. Antara lain adalah sebagaimana berikut:

Pertama, tujuannya hanya terpaku pada mengucapkan huruf secara benar dari tempat keluarnya huruf. Ini adalah tipu daya setan terhadap para ahli baca Al-Qur’an untuk memalingkan mereka dari memahami makna kalam Allah. Setan selalu mendorong mereka dengan mengulang-ulang pengucapan huruf. Setan menggoda mereka bahwa huruf itu belum keluar dari makhrajnya. Inilah yang menjadikan pikiran mereka hanya bertumpu pada makharij al-huruf. Kalau demikian, bagaimana dia bisa memahami makna-makna Al-Qur’an. Keterpedayaan seseorang terhadap tipuan semacam itulah yang membuat setan mendapatkan kemenangan yang besar.

Kedua, orang yang mengikuti satu madzhab yang didengarnya dengan sepenuh taklid. Dia bersifat kaku dan fanatik terhadap madzhab tersebut walaupun hanya berdasarkan apa yang dia dengar, tanpa mengklarifikasi dengan bukti dan kenyataan. Orang seperti ini telah terpasung oleh keyakinannya sendiri. Akibatnya, dalam benaknya sama sekali tidak terlintas sesuatu selain apa yang diyakininya. Angan-angannya hanya sebatas apa yang ia dengar. Dengan begitu, apabila ada sesuatu yang terpancar dari jauh dan tampak baginya makna-makna yang menjelaskan apa yang telah didengarnya, maka setan pun benar-benar memberatkannya dengan taklid itu sembari berceloteh, “Bagaimana hal ini bisa terlindas di benakmu sedangkan ini bertentangan dengan keyakinan pendahulumu?” akhirnya, dia pun berpandangan bahwa apa yang terlintas di benaknya merupakan tipu daya setan. Sehingga, dia pun menjauhi dan menghindarinya.

Ketiga, orang yang selalu berbuat dosa, mempunyai sifat sombong, atau hatinya penuh dengan cinta terhadap harta. Hal itu adalah penyebab gelap dan keruhnya hati. Ia seperti kotoran atau debu di kaca, sehingga bisa menghalangi jelasnya kebenaran di kaca itu. Ia merupakan penghalang yang paling besar bagi hati. Dikarenakan dosa itulah banyak orang yang terhalang. Ketika syahwat semakin menumpuk, maka makna Al-Qur’an semakin tidak jelas (terhijab dari hati). Akan tetapi, manakala anakan beban dunia semakin ringan, maka kejelasan makna Al-Qur’an begitu jelas dalam cermin hati.

Keempat, membaca tafsir dengan apa adanya (tekstual) dan meyakini bahwa tidak ada makna untuk kata-kata dalam Al-Qur’an selain makna yang telah diperolehnya dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan yang lainnya. Selain tafsir-tafsir tersebut maka termasuk tafsir bi ar-ra’yi (tafsir dengan rasio atau akal), dan barang siapa menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan rasionya maka dia telah mengambil tempat duduknya dari api neraka. Anggapan ini juga termasuk penghalang besar untuk memahami Al-Qur’an. Termasuk di antaranya adalah ucapan Ali, “Kecuali Allah memberikan anugerah kepada hamba-Nya berupa pemahaman terhadap Al-Qur’an.”

7 – At-Takhshish

Yaitu dia akan memastikan bahwa dialah yang dimaksud semua yang dibicarakan Al-Qur’an. Jika mendengar perintah atau larangan, maka memastikan bahwa dialah yang dilarang dan diperintah. Begitu juga ketika mendengar janji atau ancaman, dialah yang dijanjikan dan diancam.

8 – At-Ta’assur

Yaitu hatinya peka dan mudah tersentuh ketika menerima berbagai pesan dari ayat yang dibaca. Setiap kali mendapat suatu pesan dari Al-Qur’an, maka hati dan perasaannya berada dalam kondisi tertentu, baik itu sedih, takut, berharap, dan lain-lain. Membaca Al-Qur’an dengan benar adalah bilamana lisan, akal, dan hati bersatu di dalamnya. Tugas lisan adalah membenarkan bacaan huruf dengan tartil, tugas akal menafsirkan makna-makanya, sedangkan hati menerima dan mengikuti larangan dan perintahnya. Maka, lisan membaca secara tartil, akal menerjemahkannya, sementara hati menerima anjurannya.

9 – At-Taraqqi

Maksudnya adalah selalu meningkat hingga seakan-akan dia mendengar ucapan dari Allah secara langsung, dan bukan lagi mendengarnya dari dirinya sendiri. Oleh karenanya, ada tiga tingkatan dalam membaca.

Pertama, seorang hamba mampu mengilustrasikan bawa seolah-olah ia membaca di hadapan Allah dan Allah sedang melihat serta mendengarkan bacaannya. Ketika dia mampu melakukan itu, maka posisinya adalah orang meminta, mengambil, dan rendah hati.

Kedua, hatinya yakin bahwa Allah sedang melihatnya bertutur kata kepada-Nya dengan lembut, dan membisikinya dengan kenikmatan dan kebaikan-Nya. Dia pun merasa malu di hadapan-Nya, mengagungkan-Nya, mendengar dengan cermat dan memahami firman-firman-Nya.

Ketiga, di setiap ucapan dia melihat yang berucap dan dalam kata-kata itu dia mengetahui sifat-sifat-Nya. Dia tidak menghiraukan dirinya lagi, bacaannya, dan tidak bergantung pada nikmat yang diberikan kepada-Nya. Di mana Dialah Dzat Pemberi nikmat.

10 – At-Tabarri

Yaitu seseorang melepaskan diri dari segala daya dan kekuatannya. Dia melihat dirinya berada di antara ridha dan penyucian diri. Ketika dia membaca ayat-ayat yang berisi janji dan pujian bagi orang-orang shalih, dia tidak melihat dirinya termasuk dalam golongan mereka, akan tetapi melihat orang-orang yang yakin (al-muqinin) dan yang teguh keimanannya (ash-shiddiqin) dalam ayat itu.[]


Bergabunglah bersama 5.357 pembelajar lainnya.




I agree to have my personal information transfered to MailChimp ( more information )

Dua pekan sekali, saya berikan informasi penting mengenai writerpreneurship. Wajib bagimu untuk bergabung dalam komunitas email saya ini kalau kamu ingin belajar menjadikan profesi penulis sebagai ikthiar utama dalam menjemput rezeki, seperti yang saya lakukan sekarang ini.

Kesempatan terbatas!


Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:

Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!


Bergabunglah bersama 5.357 pembelajar lainnya.
I agree to have my personal information transfered to MailChimp ( more information )
Dua pekan sekali, saya berikan informasi penting mengenai writerpreneurship. Wajib bagimu untuk bergabung dalam komunitas email saya ini kalau kamu ingin belajar menjadikan profesi penulis sebagai ikthiar utama dalam menjemput rezeki, seperti yang saya lakukan sekarang ini.
Kesempatan terbatas!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

error: Maaf, konten terlindungi. Tidak untuk disebarkan tanpa izin.