Cara Mengirim Naskah ke Penerbit – Ada sebuah penerbit yang hanya menerima naskah dalam format hardcopy. Maksudnya, kamu perlu menge-print naskahmu, menjilidnya rapi, memasukannya ke dalam amplop besar, dan mengirimkan ke alamat penerbit terkait.
Akan tetapi, ada juga penerbit yang baik hati, bisa menerima naskahnya dalam format softcopy. Maksudnya, kamu tak perlu menge-print naskahmu dan menjilidnya rapi. Yang perlu kamu lakukan hanyalah mengirimkan naskahmu ke alamat email penerbit tersebut.
Nah, setelah mengetahui kebijakan masing-masing penerbit, apakah naskahmu bisa dikirim dalam format hardcopy ataukah softcopy, hal yang perlu kamu lakukan selanjutnya adalah membuat surat pengantar untuk penerbit dan mencantumkan CV-mu.
Contoh surat pengantar adalah sebagaimana berikut.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Kepada yang terhormat Penerbit Salam. Dengan ini, saya Fachmy Casofa, penulis yang secara konsisten menulis buku-buku sejak 2009, menawarkan naskah buku saya yang berjudul Muslimah Penakluk Surga.
Dalam buku ini, saya berbagi tips, inspirasi, juga motivasi untuk para muslimah agar tidak fokus ke kecantikan lahiriah, namun lebih bergairah untuk membangun kekuatan jiwa, agar menjadi muslimah kesayangan-Nya, sehingga bisa menaklukkan surga sesuai dengan cara-Nya.
Dengan gaya tulisan butiran, dapat dinikmati muslimah muda dengan santai dan per tema. Juga, ketebalan naskah yang tak terlalu banyak, harapannya dapat menjadi handbook sakti bagi generasi muda Islam kekinian.
Demikian pengantar ini saya sampaikan. Naskah dan CV saya lampirkan dalam email ini. Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Cukup sesederhana itu, tak perlu panjang-panjang. Tujuan dari surat pengantar adalah memberikan gambaran awal kepada editor yang nantinya akan me-review naskahmu. Jadi, jangan mempersulit editor dengan surat yang sangat panjang, sehingga membuat editor pusing dan justru akan malas menyentuh naskahmu.
Selain membuat surat pengantar, kamu juga harus membuat curriculum vitae-mu. Yaitu, semacam profil dari dirimu. Contohnya adalah demikian.
Data Umum
Nama Pena : Fachmy Casofa
Tempat/Tanggal Lahir : Jepara/04 Juni *****
Status Perkawinan : Menikah
Alamat Rumah : *****
Nomor Ponsel : *****
Profil ringkas | Fachmy Casofa adalah praktisi penulisan dan penerbitan dengan pengalaman lebih dari 7 tahun (sejak 2009). Ia telah menghasilkan karya +23 judul buku berbagai bidang dan ratusan artikel yang tersebar di berbagai media. | |
Keterampilan &KOMPETENSI |
|
|
Pengalaman | EDITOR, Wacana Ilmiah Press
2009-2011 EDITOR AKUISISI, PT TIGA SERANGKAI 2011-2015 MANAGING eDITOR, Virala Zetta Media 2015-sekarang CO-FOUNDER institut penulis indonesia 2016-sekarang Lembaga pendidikan dan pengkajian bidang literasi baca-tulis yang melenggarakan kegiatan di bidang kursus daring (online), pelatihan luring (offline), dan juga jasa penerbitan. PELATIH (TRAINER), PENDAMPING (COACH), SERTA KONSULTAN bidang penulisan dan penerbitan 2014-SEKARANG |
|
pendidikan | UNIVERSITAS Muhammadiyah Surakarta
Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah |
|
Karya | Sejak berkarya pada tahun 2008, Fachmy Casofa telah menulis lebih dari 23 judul buku berbagai bidang, dan menulis biografi tokoh penting yang menembus best seller nasional, seperti BJ Habibie. Menjadi penulis pendamping untuk tokoh-tokoh bisnis nasional, seperti Natali Ardianto CTO Tiket.com, Saptuari Sugiharto CEO Kedai Digital, Silka Mitrasari CEO Silka Clothing, dan Sunil Tolani CEO Idaff.
Informasi detail tentang karya dapat diakses di www.fachmycasofa.com.
|
|
organisasi | Fachmy Casofa telah bergiat di beberapa organisasi perbukuan dan literasi, seperti Yayasan Ayo Membaca Indonesia (AMIND), dan Asosiasi Penulis Profesional Indonesia. | |
pengalaman sebagai trainer, dan konsultan | Lembaga Sosial dan LSM
Accenture, Plan Indonesia, Yayasan Panti Yatim Indonesia, Forum Lingkar Pena, Asosiasi Penulis Profesional Indonesia, Tangan Di Atas, Zetta Media, Forsais. Lembaga Pendidikan Universitas Negeri Surakarta, Universtas Diponegoro, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Magistra Utama, Politeknik Negeri Semarang. |
Fungsi dari kita melampirkan CV ini adalah agar pihak penerbit mengetahui seperti apa potensi yang kita miliki sebagai penulis. Bahkan, terkadang tanpa melihat naskahnya terlebih dahulu, dengan melihat CV-nya saja, editor akan tahu bahwa penulis ini memiliki potensi yang bisa dimaksimalkan oleh penerbit ataukah tidak.
Akan tetapi, tentu saja setelah itu melihat karya yang dikirimkan. Namun tetap saja, intuisi seorang editor dalam menangkap talenta seorang penulis bisa menjadi pertimbangan tersendiri.
Bagaimana Editor Penerbit Me-Review Sebuah Naskah?
Pertanyaan ini menarik, karena memang para penulis, khususnya penulis pemula yang belum pernah menembus penerbit, tentu saja penasaran dengan hal ini.
Nah, saya akan memberikan gambaran singkatnya.
Ketika selesai membaca naskah yang sudah kamu kirimkan ke penerbit, seorang editor akan melakukan beberapa hal penting berikut ini.
Pertama, mengkategorikan topik naskahmu. Apakah masuk kategori parenting, self-help, business, dan lain sebagainya. Setiap kategori naskah memiliki model penanganan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan target pembacanya. Penanganannya meliputi model visual dan tentu saja elemen-elemen tambahan penting yang bisa membuat naskah makin menarik.
Kedua, melihat CV penulisnya. Apakah memiliki latar belakang pengalaman menulis buku, seorang public speaker, ataukah yang lainnya, yang membuat penulis tersebut memiliki nilai lebih di antara penulis lainnya. Semakin jelas CV yang kamu buat, akan semakin baik dan semakin berguna bagi editor untuk memetakan kemampuanmu. Hal ini, tentu saja demi kebaikan bagi bukumu nantinya. Misalkan kamu memiliki komunitas yang besar, seorang public speaker yang andal, dan beberapa hal positif lainnya, akan sangat membantu editor untuk melejitkan karyamu sekaligus melesatkanmu secara pribadi dengan membantu mengemas personal branding-mu.
Ketiga, memberikan judul tentatif. Yah, kamu mungkin sudah memberikan judul bagi karyamu. Akan tetapi, mata editor akan lebih jeli. Dia akan memberikan judul alternatif yang biasanya memang lebih bagus dan disesuaikan dengan target pembacamu serta tren dunia perbukuan.
Keempat, memetakan potensi atau peluang pasar bagi naskahmu. Apakah bisa dijual di komunitas tertentu, ataukah kemungkinan-kemungkinan yang lainnya.
Kelima, momentum. Apakah naskah ini perlu diterbitkan secepatnya ataukah tidak. Karena ada beberapa naskah yang memang harus diterbitkan ketika ada momentum tertentu, atau ada juga naskah yang memang bisa diterbitkan dalam rentang waktu kapan saja.
Keenam, penyajian naskah. Editor mengecek apakah dari sisi bahasa, kelengkapan naskah, dan keamanan konten semuanya sudah sesuai dengan standard minimal yang ada dalam penerbitan tersebut.
Ketujuh, siapakah buku pembanding atau yang semisal dari produk ini. Editor akan memberikan nilai tambah agar produkmu berkelas nantinya. Persiapan-persiapan nilai tambah ini dihadirkan agar bukumu menjadi berbeda ketika sudah keluar di pasar.
Kedelapan, kenggulan naskah. Apa saja yang membuat naskah tersebut memiliki segudang keunggulan utama daripada buku-buku semisalnya, nah itulah yang harus digali dan dilejitkan oleh editor.
Ketujuh, kelemahan naskah. Hal-hal yang bisa diminimalisir akan dilakukan dan meminta penulis untuk merevisinya.
kesembilan, saran-saran lanjutan yang kiranya perlu dilakukan untuk pengembangan naskah.
Nah, itulah beberapa hal yang dilakukan oleh editor untuk me-review naskahmu. Dengan begitu, kamu harus berterima kasih kepada editormu, ya. Karena dia telah berjuang begitu hebat agar karyamu melesat.
Bagaimana Sebuah Penerbit Mendapatkan Naskah?
Setelah mengetahui apa itu penerbitan, serta tugas dan makna sebuah penerbitan seharusnya, tentu kamu akan bertanya, bagaimana sebuah penerbit mendapatkan naskahnya.
Pertanyaan bagus.
Memang, tanpa adanya stok naskah, sebuah penerbit tak akan bisa membuat produk bernama buku. Oleh karena itu, penerbit sangat membutuhkan kehadiran penulis, dan pada saat yang sama, penulis juga membutukan penerbit untuk menerbitkan karyanya.
Semacam simbiosis mutualisme.
Ada dua cara penerbit mendapatkan naskah, yakni menunggu datangnya naskah masuk ke meja editorial dan memesan sebuah konsep naskah ke penulis. Istilahnya, solicited atau naskah yang dipesan, dan unsolicited, naskah yang tidak dipesan alias naskah yang secara mandiri dikirim oleh penulis ke penerbit.
Mengapa penerbit harus repot-repot memesan naskah ke penulis? Dua alasan terbesarnya adalah seperti ini.
- Kualitas naskah-naskah yang masuk ke meja editorial tidak sesuai dengan yang diharapkan.
- Tema yang ditulis tidak layak jual, dan masih ditambah lagi penyelesaian naskah yang tidak apik dan penulisan yang berantakan.
Makanya, demi terus menjaga stok naskah, seorang editor dalam sebuah penerbit biasanya akan membuat konsep naskah, dan meminta para penulis untuk mengeksekusi konsep tersebut menjadi sebuah naskah.
Editor memang orang yang super baik. Bagaimana tidak, demi menjaga keberlangsungan stok naskah tempatnya bekerja terjaga dengan baik—karena apalah daya penerbit tanpa stok naskah yang siap diterbitkan—rela melakukan riset, memperhatikan tren, dan kemudian membuat konsep naskah, yang sebenarnya sang editor pun sanggup untuk mengeksekusinya sendiri, namun lebih memilih penulis lain untuk mengeksekusi konsep tersebut.
Lalu, bagaimana seorang editor melihat potensi seorang penulis yang bisa mengeksekusi ide naskahnya? Ada banyak cara. Namun cara yang paling umum yang biasa saya lakukan adalah lewat dua hal: media sosial dan website.
Saran saya, pergunakanlah media sosialmu dan website atau blogmu dengan baik, karena dua hal itulah sarana yang digunakan oleh editor untuk melihat potensi menulismu.
Saat kamu konsisten memamerkan kemampuan menulismu di blog atau media sosial, mata jeli seorang editor akan melihat potensimu tersebut. Terkadang, walau kamu tidak pernah menulis buku sebelumnya, editor tersebut akan memintamu untuk mengeksekusi konsep yang sudah dibuatnya, dan dengan asistensinya kamu bisa menulis buku pertamamu.
Sebuah kesempatan yang sangat menarik, kan? Saya banyak melakukan hal seperti itu. Hanya dengan melihat blog atau media sosial seseorang, saya tahu apakah dia berpontesi untuk saya angkat menjadi penulis ataukah tidak. Beberapa orang yang melejit menjadi penulis buku, padahal awalnya belum pernah menulis sama sekali misalnya adalah Muhammad Ilman Akbar, Adjie Silarus, Bunda Wening, Qalbinur Nawawi, Natali Ardianto, Husin Syarbini, Silka Mitrasari, Lahandi Baskoro, dan banyak lagi yang lainnya.
Sungguh bahagia melihat orang-orang berhasil menulis buku pertamanya. Itu juga yang saya maksudkan dengan kehadiran buku ini, untuk membantumu menerbitkan buku pertamamu, langsung dari panduan seorang editor, penulis, praktisi perbukuan, bekerja di penerbitan, dan sudah melejitkan para penulis pemula meraih best-seller pertamanya.
Cara Agar Penerbit Tak Menolak Naskahmu
Kamu pasti berpikir, “Wah, ternyata susah juga ya menjadi penulis.” Di dunia ini tidak ada hal yang mudah. Semua akan terasa mudah saat kita tahu caranya. Mengendarai sepeda pada awalnya gampang? Tidak. Namun karena kita tekun berlatih, akhirnya kita bisa menaklukkannya. Sama seperti itu, ketika kita ingin menjadi penulis. Semua akan terasa indah saat kita memiliki passion untuk menaklukkannya. Makanya, tanyakanlah kepada dirimu sendiri, apakah menjadi penulis memang jalan yang sudah kamu pilih?
Bila memang iya, teruskanlah membaca buku ini, karena masih ada beberapa hal lagi yang harus kita perhatikan dalam menulis naskah buku, dan kemudian naskah tersebut menjadi primadona penerbit.
Pertama, teori menulis memang banyak dan perlu kita pelajari. Namun yang pasti, aplikasikan saja yang paling cocok dengan keadaan kita, karena tak semua teori tentang penulisan cocok dan sesuai dengan keadaan dan kemampuan kita. Tak usah terpaku dengan teori-teori menulis yang justru menyulitkan kita dalam melancarkan kata ketika menulis. Anggap saja itu pengetahuan yang wajib kamu ketahui, namun juga harus kamu terobos demi melahirkan teori baru ala kamu.
Kedua, cara paling baik berlatih menulis adalah dengan memulai menulis hal-hal yang ringan terlebih dahulu. Cara gampangnya misalkan berlatih menulis di blog, menulis status di media sosial, dan medium lainnya seperti Storial.co atau NulisBuku.com.
Ketiga, jangan pernah menulis sesuatu yang tidak kita pahami atau yang kita kurang tertarik untuk membahasnya. Tak usah menyiksa diri dengan hal-hal seperti itu. Austin Kleon, pengarang Steal Like an Artist, menyarankan agar kita menulis apa yang kita suka, bukan apa yang kita tahu. Berbeda ya rasanya, saat kita menulis apa yang kita suka. Rasanya akan mengalir deras kata demi kata. Berbeda dengan menulis apa yang kita tahu dan kita tidak suka. Rasanya sukar meneruskan kata-kata hingga menjelma karya.
Keempat, gaya menulis akan keluar dengan sendirinya, saat kita sudah banyak berlatih menulis. Tak usah memikirkan gaya menulis. Yang harus kita lakukan adalah memperbanyak latihan menulis lewat medium apa saja. Semakin sering kita berlatih menulis, kemampuan menulis kita akan baik dan kebermutuannya akan semakin meningkat.
Kelima, tak usah bermimpi menjadi penulis dengan beragam tema, sebelum kita berhasil di satu tema. Awal-awal, saya menulis buku religi. Bahkan, buku religi saya berjumlah 13—dan sekarang berjumlah lebih dari itu. Lalu, saya mulai merambah bidang lain yang saya minati, seperti tema kreativitas, pengembangan diri, bisnis, dan biografi. Jangan teruru-buru menjadi generalis, jadilah spesialis terlebih dahulu.
Nikmati prosesmu menjadi penulis. Jangan ingin cepat besar. Berproseslah, nikmatilah. Jadikan setiap dinamika menjadi tantangan yang membuatmu berproses menjadi penulis yang lebih baik.
Keenam, banyaklah membaca tulisan yang bermutu. Jangan terlalu banyak membaca media online dengan artikel penuh hoax dan dusta. Selain membuang-buang waktu, hal itu juga tidak akan membuat hidup kita lebih baik. Dan sayang sekali bila otak kita terpenuhi hanya oleh hal-hal “tak bermanfaat” seperti itu. Rasa hidupmu akan berbeda kok kalau kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca bacaan bermutu. Rasanya, akan lebih membuat hidupmu terasa tenang, hatimu tenteram, intelektualitasmu bertambah, dan saat kamu membuat karya, kamu akan terlecut berkarya sebermutu itu.
Ketujuh, mix-kan dalam menulis, antara pengetahuan yang kita kuasai dengan pengalaman sendiri untuk memperkaya gagasan dalam tulisan. Jangan lupa, sertakan pula pengalaman orang lain sebagai perbandingan. Di samping itu, sertakan pula hasil riset—sederhana tidak apa-apa, serta beberapa pengetahuan dasar mengenai tren dan kebutuhan pembaca saat ini. Dengan mengombinasikan semua hal tadi, yakin deh, naskahmu akan lebih menarik, unggul, dan memiliki kualitas yang baik.
Berbekal ketujuh hal itu, kita akan bisa mendobrak pintu penerbit. Walaupun, tentu ada hal-hal lain yang menjadi pertimbangan penerbit, seperti nama besar penulis, besarnya komunitas, dan sebagainya. Akan tetapi, sebuah karya bagus pasti menemukan jodohnya. Percayalah. Saya memang tidak menjamin tujuh hal tersebut akan serta merta membuat naskahmu diterima. Yang pasti, jika kamu mengabaikan ketujuh hal tersebut, naskahmu memiliki peluang besar untuk tertolak.
Apa yang Dinilai Penerbit dalam Sebuah Naskah?
Bagi sebuah penerbit, menerbitkan buku bukanlah perkara murah dan mudah. Bukan perkara murah, karena penerbit harus mengeluarkan banyak modal hanya untuk menerbitkan satu buku. Banyak modal itu di antaranya adalah biaya mencetak buku, membayar karyawan, biaya distribusi, biaya promosi, dan sebagainya. Bisa habis puluhan juta. Oleh karena itu, tentu penerbit tidak akan gegabah menerima dan menerbitkan sembarang naskah. Penerbit akan memilih naskah yang memenuhi setidaknya tiga hal utama.
Pertama, naskah layak jual. Artinya, potensi buku yang sudah tercetak nantinya bisa dinikmati banyak orang, dan terjual dalam jumlah yang banyak. Bagaimanapun, penerbitan adalah sebuah industri. Selain kualitas naskah yang bagus, penerbit akan memperhatikan daya serap dari buku tersebut. Semakin luas dan besar daya serap pasarnya, maka naskah yang seperti ini akan makin dicintai oleh penerbit. Jadi, kalau kamu bikin naskah dan potensinya hanya dibaca oleh sekitar 100-an orang saja, 99% penerbit akan menolak naskahmu.
Kedua, memiliki keunggulan yang lebih banyak daripada buku sejenis. Keunggulan bisa didapatkan dari dua hal: keunggulan dari sisi kualitas naskah dan keunggulan dari sisi kualitas penulisnya. Untuk keunggulan sisi kualitas naskah, jelas. Semakin baik, semakin lengkap, dan semakin mencerahkan pembaca, hal ini akan menjadi perhatian penerbit. Sedangkan keunggulan dari sisi kualitas penulisnya artinya penulisnya pun “bisa dijual” oleh penerbit. Bayangkan, ada penulis yang dalam menulis bagus, tampangnya enak dilihat, public speaking-nya hebat, serta bermain media sosialnya jempolan. Nilai plus-plus seperti ini tentu membuat penerbit makin kesengsem. Mengapa? Karena fungsi pemasaran tak hanya dipegang oleh penerbit, namun juga penulis ikut memasarkan produknya secara mandiri. Tentu, hal-hal tersebut membawa kebaikan bagi kedua belah pihak, baik secara keuntungan finansial, maupun kerja sama jangka panjang. Dan penulis jenis ini tentu menjadi rebutan di semua penerbitan.
Ketiga, tidak bertentangan dengan visi dan misi penerbit. Setiap penerbit memiliki visi dan misinya tersendiri. Kita tidak bisa mengirim naskah yang memiliki pandangan berbeda dengan visi dan misi penerbit tersebut didirikan. Walaupun penerbit adalah sebuah industri, yang secara kasarnya hanya mementingkan laba belaka, namun penerbit juga memiliki aturan tersendiri dalam membuat produknya. Maka, pastikan ketika mengirim naskah ke penerbit, perhatikan seperti apa produk-produk yang pernah dikeluarkannya, dan telisiklah apakah naskahmu cocok atau tidak bila diterbitkan di penerbit tersebut. Bila dirasa cocok, lanjutkan untuk mengirimkan naskah tersebut. Namun bila dirasa tidak cocok, segera cari alternatif penerbit lain.
Itu tiga hal utama yang dinilai dari naskahmu. Bila ketiga hal tersebut lolos, hal-hal lain cenderung bisa ditoleransi, misalkan ketebalan naskah, penulisan yang masih perlu penyempurnaan, dan hal-hal lainnya.
Seorang editor cenderung akan lebih melihat ide besarmu. Bila editor merasa melihat ide besar naskahmu menarik, layak jual, dan memiliki kesempatan untuk dinikmati banyak pembaca, editor akan berbaik hati untuk memberikan saran-saran yang diperlukan demi perbaikan naskahmu.
Mengapa Penerbit Menolak Naskah?
Mengapa sih penerbit harus menolak naskah? Bukankah penerbit membutuhkan naskah? Lalu, mengapa penerbit harus sok jual mahal untuk menolak naskah dari para penulis? Tidak tahukah kalau menulis itu nggak gampang?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering mampir ke saya. Dan pada kesempatan kali ini, saya akan menjelaskan, mengapa sebuah penerbit harus rela untuk menolak naskah yang kamu kirimkan.
Pertama, biasanya karena naskahmu tidak sesuai dengan visi dan misi penerbit.
Bagaimana mengetahui visi dan misi penerbit? Rajin-rajin saja ke toko buku atau pameran buku. Telisik seperti apa saja buku yang biasa mereka terbitkan.
Dari sana kita bisa melihat, seperti apa kecenderungan dari produk yang dibuat oleh penerbit tersebut. Apalagi buku religi, biasanya memiliki fikrah-nya masing-masing.
Telisik lebih jauh, karena kamu tak bisa mengirimkan naskah ber-fikrah Tarbiyah ke penerbit dengan fikrah HTI. Atau, kalau kita cerdas, dengan melihat katalog penerbit tersebut, kita akan sudah mengerti seperti apa kategori buku yang mereka terbitkan.
Kedua, daya jual yang rendah.
Bagaimanapun penerbitan adalah industri. Semakin produk terjual laris, akan semakin untung, dan itu menjadi prioritas. Untuk apa sebuah penerbit menerbitkan buku yang memiliki daya jual rendah, padahal modal yang dikeluarkan sangat besar.
Ketiga, adakalanya penerbit memang menolak naskahmu mentah-mentah.
Artinya resmi ditolak dan malas untuk meminta kamu melakukan revisi. Akan tetapi, ada juga yang naskahmu ditolak dengan catatan. Artinya, dari pihak editorial meminta beberapa revisi. Dan setelah revisi ini dilakukan, pihak editorial akan melakukan review ulang.
Lalu, bila naskahmu memang kemudian menjadi lebih baik dan penerbit merasa cocok, kabar baik akan datang kepadamu, dan itu artinya bukumu siap untuk diterbitkan.
Ditolak memang sakit. Kekhawatiran penolakan adalah ketakutan yang wajar yang setiap penulis harus hadapi. Namun, satu hal yang perlu kita ingat, naskah ditolak oleh penerbit bukanlah akhir dunia.
Saya saja sebelum berhasil menerbitkan buku pertama, sempat ditolak penerbit sebanyak lima kali. Dan dari lima kali penolakan itu, saya menyadari bahwa naskah kita ditolak biasanya karena salah sasaran penerbit. Artinya, sebuah penerbit memiliki visi dan misinya masing-masing.
Sesuaikan naskah yang kamu kirim ke penerbit yang sesuai. Jangan mengirimkan secara random. Tak tahu harus mengirim ke siapa?
Datangilah toko buku atau pameran buku. Lihat produk-produk yang dikeluarkan oleh penerbit, dan lihatlah naskah kamu, mana yang paling cocok untuk kamu tawarkan naskah.
Jangan Mengirimkan Naskah Seperti Ini ke Penerbit
Ada pemaparan yang asik dari Dan Poynter, seorang pakar perbukuan di AS, bahwa tak semua penerbit bisa mendeteksi “kekuatan dahsyat” sebuah buku, karena memang bisa jadi sebuah penerbit menolak naskahmu hanya disebabkan berbeda dengan visi dan misi penerbit tersebut. Oleh karena itu, ada sebuah saran dari Dan Poynter, bahwa saat penerbit menolak naskah kita, berarti itulah kesempatan kita untuk menerbitkannya sendiri, atau biasa juga disebut dengan self-publishing.
Akan tetapi, untuk membuat keputusan besar menerbitkan naskah sendiri atau self-publishing, memerlukan energi yang sangat banyak. Baik energi waktu, juga energi dalam bentuk gelontoran biaya. Saran saya, berusahalah dulu semaksimal mungkin untuk menembus penerbit. Bentuk mentalmu dulu. Nggak usah keburu nafsu karena ingin bergaya sudah berhasil menerbitkan buku.
Setiap penerbit memiliki persyaratan sendiri dalam menerima naskah yang masuk. Namun, secara umum, penerbit akan memberlakukan penolakan terhadap naskah-naskah yang seperti ini.
Satu, memiliki banyak kesalahan dalam penulisan.
Cek dulu naskahmu secara keseluruhan. Pastikan tidak ada salah tik. Kalau satu-dua sih tidak apa-apa, kalau lebih dari seratus, kan ya kebangetan juga. Ketahuan banget, kok, antara seseorang yang berniat menjadi penulis dan yang tidak. Dan setiap penulis yang “niat”, pasti akan berusaha membuat naskahnya sesempurna mungkin—yah walaupun memang pada kenyataannya tidak ada naskah yang sempurna. Akan tetapi, dia akan berusaha untuk membuat naskahnya serapi mungkin, dan jauh dari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Dan salah satu bentuk kesalahan yang tidak perlu itu adalah salah tik, salah ejaan, dan penempatan kata yang tidak pada tempatnya.
Dua, jangan mengirimkan naskah skripsi, disertasi, ataupun tesis ke penerbit, dan berharap mereka langsung menerbitkannya.
Tim editorial akan langsung menendang naskah seperti ini. Untuk naskah buku, ada aturannya tersendiri. Ada syarat kelengkapan dan aturan mainnya. Untuk kamu yang ingin menerbitkan buku dengan materi dasar dari skripsi, disertasi, tesis, ataupun hasil riset ilmiah lainnya, ada cara tersendiri untuk mengubah karya tulis ilmiah menjadi buku. Lakukan hal itu terlebih dahulu, yakni mengonversi karya tulis menjadi naskah buku, baru dikirimkan ke penerbit.
Tiga, jangan menulis buku yang hanya berisi tempelan quote dan kutipan sana-sini, tanpa adanya gagasan orisinal dari kita sebagai penulisnya.
Orang-orang ingin membaca bukumu karena ingin melihat gagasanmu, bukan kreativitasmu dalam menempelkan kutipan. Selain membosankan, juga memalukan. Mental penulis seharusnya adalah menghadirkan karya, bukan menyodorkan sampah.
Dan sebuah karya, tidak terlahir dari ketidakseriusan, ataupun kemalasan dalam menenun konten yang bermutu.
Empat, menyerahkan buku yang pernah terbit, dan berharap diterbitkan ulang oleh penerbit yang lain, tanpa adanya revisi sana-sini.
Ini sama saja dengan ngerjain penerbit. Mengapa harus direvisi? Karena zaman telah berubah, tahun telah berganti. Buku lamamu yang sudah pernah terbit itu pasti perlu pembaruan untuk disesuaikan dengan pembaca sekarang. Ilmu dan kemampuanmu juga pasti sudah berkembang. Maka, revisi mutlak diperlukan, karena selalu ada hal baru yang harus ditulis. Ada hal-hal baru yang harus ditambahkan. Ada hal-hal lama yang harus dibuang dan cukup dikenang dalam pikiran.
Lima, menyerahkan naskah tanpa memberi tahu penerbit siapa sasaran pembacanya, dan berharap penerbit yang memetakannya.
Ini adalah sikap seorang penulis yang tidak profesional, egois serta arogan level negeri Asgard, karena tidak bertanggung jawab dengan naskahnya sendiri, seolah ia tidak tahu apa yang ditulisnya dan tidak mengerti siapa kelak yang akan membaca bukunya.
Pastikan untuk tidak melakukan kelima hal di atas agar naskahmu tidak tertolak. Dengan mengetahui hal-hal seperti ini, seharusnya bisa menjadi bekal yang bagus untukmu demi mempersiapkan naskah yang lebih matang, sehingga kamu pun memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk maju ke penerbit.
***
Demikian pembahasan mengenai cara mengirim naskah ke penerbit. Semoga kamu terbantu. Untuk belajar menulis, silakan membaca lebih jauh tentang postingan cara menulis buku karena saya sudah menuliskannya dengan sangat lengkap. []
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!