Banyak dari generasi muda muslim yang mengalami kegalauan dalam memutuskan untuk menerima pinangan seorang laki-laki. Padahal, Islam telah memberikan panduan dalam memilih calon suami. Berikut saya paparkan ulang apa yang pernah disampaikan oleh Amatullah binti Abd al-Muthallib dalam kitabnya Rifqan bil-Qawârîr.
Ada beberapa aspek dasar dan kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih calon suami oleh para calon istri dan keluarganya. Sebelum masuk pada pembahasan, ada hal penting yang harus disadari bahwa wanita adalah pihak yang paling lemah dalam bab pernikahan. Hal itu dikarenakan empat hal berikut.
1 – Wanita kerap dianggap tawanan bagi laki-laki, dengan alasan sabda beliau saw., “Jagalah kaum wanita baik-baik. Mereka adalah tawanan pada kalian.” (HR Turmudzi no. 1083, 3012 dan Ibnu Majah no. 1841)
2 – Kepemimpinan (qawamah) ada di tangan laki-laki. Allah SWT berfirman, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya ….” (QS an-Nisā’ [4]: 34).
3 – Perasaan wanita lembut dan ia tidak tahan dengan laki-laki yang buruk dan rendah akhlaknya, yang menyakiti dirinya dan perasaannya, serta mengotori suasana rumahnya dengan kata-kata yang rendah dan tidak pantas.
4 – Wanita tidak dapat menjelaskan argumentasinya saat terjadi pertikaian. Suami bisa saja menzaliminyadan istri tidak dapat melawannya. Allah SWT berfirman, “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan sebagai perhiasan sedang dia tidak mampu memberi alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran.” (QS az-Zukhruf [43]: 18). Maksudnya, ia tidak bisa menjelaskan argumentasinya dalam pertikaian.
Dikarenakan keempat hal tersebut yang menunjukkan kelemahan kaum wanita, walinya harus memperhatikan dengan baik dalam hal menerima atau menolak pinangan.
Adapun kriteria memilih suami adalah sebagai berikut.
1. Agama
Calon suami haruslah orang yang taat beragama. Maksudnya, ia harus menunaikan lebih dari yang wajib dan tidak hanya yang termasuk dalam agama saja.
Allah berfirman:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (QS an-Nūr [24]: 32)
Rasulullah saw. bersabda, “Jika datang seseorang yang kalian sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, akan terjadi fitnah dan kerusakan di bumi.” (HR Turmudzi no. 1004 dan Ibnu Majah no. 1957)
Dalam hadits ini Nabi saw. memerintahkan untuk menikahkan orang yang agama dan akhlaknya disukai. Hal ini menunjukkan orang yang agamanya rusak dan akhlaknya buruk seharusnya tidak dinikahkan. Dalam hadits tersebut ada anjuran untuk memilih calon suami dengan melihat kereligiusannya. Betapa banyak wali yang tidak melirik sisi tersebut saat menikahkan anak perempuan yang di bawah perwaliannya. Ia tidak memilihkan untuknya laki-laki yang disebut oleh Rasulullah. Sebaliknya, sang wali memilih laki-laki dengan sekehendak hatinya, padahal yang dipilihnya adalah laki-laki yang agama dan akhlaknya buruk. Tidak ada kebaikan apa pun menikahkannya dengan wanita yang berada dalam perwaliannya. Betapa banyak kita mendengar problematika kaum wanita yang terjerumus pada pilihan yang salah.
Seorang wanita mengatakan bahwa ia diuji dengan seorang suami:
- yang tidak menunaikan shalat;
- yang minum minuman yang memabukkan dan mengonsumsi narkoba;
- membuka cadar dan melepas jilbabnya;
- menikmati sesuatu yang tidak dihalalkan oleh Allah, menggaulinya di siang hari pada bulan Ramadlan, menggaulinya pada saat haid, atau menggaulinya di selain bagian yang dihalalkan oleh Allah;
- suaminya tidak bermalam bersamanya, tetapi bersama wanita-wanita jalang;
- yang bertanggung jawab atas semua itu adalah walinya, yang salah memilihkan suami untuknya, dan mengkhianati amanah yang dititipkan padanya.
Telah diketahui bahwa wali yang memilihkan suami yang shalih adalah pilihan untuk kebaikan putri dan anak keturunannya. Dan jika ia memilihkan suami yang buruk, pilihan itu juga akan merusak hidup putrinya dan anak keturunannnya. Sebab, pengaruh suami besar dan ia dapat memengaruhi tumbuh-kembang anak-anaknya, pada kebaikankah atau kerusakan. Tumbuh-kembang yang buruk pada anak-anak adalah hal yang memang terjadi.
Allah berfirman, “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (QS Nūh [71]: 27)
Jika para wali telah mengetahui dengan baik tentang hal tersebut, para wali juga harus tahu tanggung jawabnya atas rusaknya wanita yang menjadi perwaliannya. Sebab, calon suami yang buruk akan melahirkan keturunan yang buruk juga, kecuali jika Allah menghendaki yang lain
2. Berakhlak Baik
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT, “… sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula) ….” (QS an-Nūr [24]: 26)
Nabi saw. berpesan agar menerima seseorang yang terhimpun pada dirinya dua sifat, yaitu agama dan akhlak. Beliau bersabda, “Jika datang pada kalian seseorang yang kalian sukai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia.” Ketika Nabi diminta pendapat tentang tiga orang yang meminang, beliau bersabda tentang salah seorang dari mereka, “Ia suka memukul kaum wanita.” (sebagaimana riwayat Muslim no. 2720); “Sedangkan, ia senantiasa bepergian.” sebagaimana riwayat Abu Dawud no. 1944
Jika kaum lelaki berbeda-beda sifatnya, tentu saja yang paling dicinta banyak orang adalah yang bagus agama dan akhlaknya, sebagaimana ia akan menjadi seseorang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi saw. di hari kiamat.
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Di antara orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR Turmudzi no. 1941)
Akhlak yang baik adalah ciri yang paling terlihat dari kereligiusan seseorang karena itu Nabi saw. menyandingkan keduanya dalam sabdanya, “Yang kalian sukai agama dan akhlaknya.” Dan Nabi saw. meringkas kebaikan itu ada pada akhlak yang baik. Beliau bersabda, “Kebajikan itu adalah akhlak yang baik.” (HR Muslim no. 4632 dan Turmudzi no. 2311)
Dengan demikian jelas bahwa akhlak yang baik termasuk perilaku aksiomatis dari adanya agama yang kuat dan dasar-dasarnya. Kami tidak mengkhususkan pembahasan tentang akhlak yang baik meskipun sebenarnya akhlak adalah bagian dari agama terlebih dahulu, melainkan karena Nabi saw. mengkhususkannya.
Beliau bersabda, “Orang yang kalian sukai agama dan akhlaknya.” Hal itu sebagai kehati-hatian dari beliau untuk para wanita agar terhindar dari kesewenang-wenangan laki-laki yang berakhlak dan berkarakter buruk. Misalnya, menyakiti diri wanita dengan memukul wajahnya, menjelek-jelekkan citranya, dan lainnya yang sangat menyakiti wanita.
Hal lain dalam pengkhususan bab akhlak—terpisah dari agama—karena ada pemahaman buruk yang umum dipegang bahwa orang yang beragama otomatis orang yang berakhlak, tanpa menanyakan tentang akhlaknya. Realitanya, tidak mesti agama bersanding akhlak pada sebagian orang di era ini. Hal ini menjadi suatu keharusan yang dipertanyakan pada diri seorang laki-laki yang akan dipilih.
3. Penampilannya yang Baik
Sebagaimana lelaki mencari wanita yang cantik, begitu juga wanita mencari laki-laki yang berpenampilan baik. Allah SWT mengisyaratkan dalam firman-Nya, “… Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut ….” (QS al-Baqarah [2]: 228)
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh aku suka berhias untuk istri, sebagaimana aku suka ia berhias untukku. Sebab, Allah SWT berfirman, “… Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka ….” (QS al-Baqarah [2]: 228). (HR ath-Thabari no. 1765, Ibnu Abi Hatim no. 2335, al-Baihaqi no. 15125, dan Ibnu Abi Syaibah no. 183)
Kaum wanita juga secara fitrah juga memperhatikan penampilan laki-laki. Salah satunya ditunjukkan dalam kisah Habibah binti Sahl saat menggugat cerai (khulu’) suaminya, Tsabit bin Qais. Ia datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepalaku dan kepalanya selamanya tidak akan menyatu. Sungguh aku mengintip di sela tirai, aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata ia adalah orang yang paling hitam, paling pendek perawakannya, dan paling buruk rupanya di antara mereka.” (HR ath-Thabari no. 3798)
Meskipun demikian, patut diperhatikan bahwa ukuran tampilan bagi wanita berbeda dari lelaki. Kaum wanita menginginkan penampilan yang baik dari seorang lelaki, seseorang yang lebih tinggi besar darinya. Mereka tidak menginginkan ketampanan dari lelaki.
4. Sang Wanita Memilih Laki-Laki yang Ia Lihat
Mengapa harus demikian? Sebab, hal itu lebih mendekatkan pada jiwa dan lebih dapat meraih keserasian. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Karena melihat lebih dapat melanggengkan kasih antara kalian berdua.” Prosesi melihat dilaksanakan dengan ketentuan yang sama, sebagaimana yang tersebut pada pembahasan laki-laki yang melihat pada wanita yang dipinangnya.
5. Kemampuan Calon untuk Menafkahinya dan Berbagai Kebutuhannya
Kemampuan finansial adalah sesuatu yang ditentukan oleh syariah. Oleh karena itu, ketika Fatimah binti Qais berkonsultasi kepada Nabi saw. tentang tiga orang yang meminangnya, beliau mencela salah seorang dari mereka, “Ia orang fakir, yang tak berharta.” (HR Muslim no. 2709, Turmudzi no. 1053, an-Nasa’i no. 3193, dan Abu Dawud no 1944)
Kemampuan finansial dalam menikah dipertimbangkan, hanya saja tidak menjadi alasan untuk hidup membujang. Kecuali jika pada kondisi ketidakmampuan menyeluruh, seperti kondisi beberapa sahabat Nabi saw. yang tidak memiliki harta apa pun. Bahkan, salah seorang di antara mereka tidak mempunyai cincin dari besi, lalu Nabi saw. menikahkannya dengan surah-surah Al-Qur’an yang dihafalnya (HR Bukhari no. 4641 dan Muslim no. 2554).
6. Memiliki Kemampuan Reproduksi
Jika diketahui bahwa laki-laki tersebut mandul, hendaknya wanita yang subur tidak dinikahkan dengannya. Sebab, yang demikian berarti menyia-nyiakan pesan Nabi saw. untuk tampil dengan banyak umat di hari kiamat nanti. Begitu juga, karena hal itu memosisikan pihak wanita pada kondisi bahaya dan juga pada fitrahnya. Semua manusia diciptakan dalam tabiatnya untuk mencintai anak.
Dari Ma’qil bin Yasar berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Sungguh aku mengenal seorang wanita yang berasal dari keturunan terhormat dan cantik. Namun, ia mandul, apakah sebaiknya aku menikahinya?” Nabi bersabda, “Jangan.” Kemudian, laki-laki itu datang kembali dan beliau masih melarangnya. Saat ia datang untuk ketiga kalianya, beliau bersabda, “Nikahilah wanita yang penuh kasih dan subur rahimnya. Sungguh aku ingin berbangga bersama kalian dengan banyaknya jumlah umat(ku).” (HR Abu Dawud no. 1754 dan an-Nasa’i no. 3175)
Kemampuan finansial juga menjadi kewajiban laki-laki jika mereka ingin menikah dengan dua, tiga, atau empat istri. Jika istri-istri mereka tidak dapat melahirkan (mandul), bagaimana dengan wanita yang tak dapat melakukan poliandri. Ia tidak memiliki pilihan lain, kecuali talak. Kaum wanita lebih berhak atas syarat kesuburan ini karena mereka tidak memiliki cara lain untuk memiliki anak, kecuali dengan talak.
Banyak para wali yang berlebihan dalam urusan si peminang, akibatnya melahirkan perpecahahan keluarga. Betapa banyak kita baca tentang keluarga yang telah terbina melalui ikatan pernikahan antara mereka, kemudian selang beberapa hari atau beberapa bulan saja ikatan pernikahan itu terurai dan hubungan itu berubah menjadi perpecahan. Penyesalan pun pada akhirnya datang belakangan.
Dalam kondisi apa pun jika kita mencari sebab perpecahan tersebut, barangkali penyumbang terbesar adalah sang wali. Sebab, tanggungan wali tidak bisa lepas begitu saja. Ia mempunyai kewajiban untuk menasihati anaknya untuk menempuh jalan syar’i ketika memilih pasangan hidup.
Ada hal-hal yang harus diperingatkan bagi para wali berikut ini.
Pertama, sebagian orang tua ketika ada seseorang yang datang meminang putrinya, ia menutup mata dan telinga.
Para wali hanya menerima pinangan dari kerabatnya walau bagaimanapun kepribadiannya, shalihkah atau tidak, bertakwa atau tidak, hal itu tidak penting baginya. Hal yang pertama dan terakhir dalam pandangannya bahwa yang meminang putrinya adalah seseorang yang masih dalam garis keturunan dengannya.
Perbuatan seperti itu zalim. Bagaimana mungkin ia menikahkan putrinya dengan sepupu putrinya atau kerabatnya, tanpa melihat kelayakannya menjadi calon suami bagi putrinya dan perilaku kesehariannya?
Kedua, adanya pinangan harus dibicarakan dengan sang putri dan tidak boleh ada paksaan terhadapnya.
Dengan demikian, para wali harus meminta pendapat putrinya jika orang yang meminangnya adalah orang baik-baik. Adapun jika laki-laki yang meminangnya bukan orang baik-baik, hendaknya tidak disambut gayungnya. Bahkan, menjadi sebuah pertanggungjawaban bagi para wali. Wali harus bertindak mengamankan si gadis jika ada laki-laki seperti itu yang meminangnya.
Ketiga, seorang anak perempuan yang tidak ada laki-laki yang datang melamarnya sehingga membuatnya mengurung diri di rumah. Sebab, umurnya yang sudah tidak dibilang muda tetap saja belum ada laki-laki yang datang melamar. Dikarenakan malu sang putri tidak bersosialisasi kepada masyarakat sekitar. Padahal, sebenarnya ia sudah berkeinginan lama untuk menikah..
Dalam kondisi seperti itu, sang wali sebaiknya mencarikan laki-laki untuk putrinya dengan menceritakan kondisi putrinya yang sebenarnya kepada laki-laki itu. Tentu saja sang wali harus menanyakan terlebih dahulu kepada putrinya tentang karakter laki-laki yang diinginkan.
Jika si laki-laki menerima dan menyetujui kondisi si perempuan, bisa langsung diupayakan langkah selanjutnya, sebagaimana proses pernikahan.
Seandainya si laki-laki tidak bisa menerimanya, sang wali sebaiknya mencarikan lagi yang sesuai.
Bukan suatu hal yang aneh jika wali melakukan hal tersebut. Sebab, hal ini untuk kebaikan bagi putrinya. Bukan dosa pula jika ia melakukannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya “Bab tentang seseorang yang menawarkan putrinya atau saudaranya kepada orang baik-baik.”
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Umar bin Khaththab menawarkan putrinya, Hafsah, kepada Utsman, tetapi ia menolaknya. Kemudian, menawarkannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, tetapi ia juga enggan. Setelah itu, Nabi saw. menikahinya dan Hafsah pun memasuki pintu kemuliaan. Akhirnya, ia dipanggil sebagai ummul mukminin. Semoga Allah meridhai mereka semua. (HR Bukhari no. 4727)
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa pemuka Kota Madyan melihat karakter yang baik pada diri Musa, kemudian ia pun menawarkan salah satu putrinya. Sebagaimana dikisahkan dalam firman-Nya:
Jika kaum lelaki berbeda-beda sifatnya, tentu saja yang paling dicinta banyak orang adalah yang bagus agama dan akhlaknya, sebagaimana ia akan menjadi seseorang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi saw. di hari kiamat.
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Di antara orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR Turmudzi no. 1941)
Akhlak yang baik adalah ciri yang paling terlihat dari kereligiusan seseorang karena itu Nabi saw. menyandingkan keduanya dalam sabdanya, “Yang kalian sukai agama dan akhlaknya.” Dan Nabi saw. meringkas kebaikan itu ada pada akhlak yang baik. Beliau bersabda, “Kebajikan itu adalah akhlak yang baik.” (HR Muslim no. 4632 dan Turmudzi no. 2311)
Dengan demikian jelas bahwa akhlak yang baik termasuk perilaku aksiomatis dari adanya agama yang kuat dan dasar-dasarnya. Kami tidak mengkhususkan pembahasan tentang akhlak yang baik meskipun sebenarnya akhlak adalah bagian dari agama terlebih dahulu, melainkan karena Nabi saw. mengkhususkannya.
Beliau bersabda, “Orang yang kalian sukai agama dan akhlaknya.” Hal itu sebagai kehati-hatian dari beliau untuk para wanita agar terhindar dari kesewenang-wenangan laki-laki yang berakhlak dan berkarakter buruk. Misalnya, menyakiti diri wanita dengan memukul wajahnya, menjelek-jelekkan citranya, dan lainnya yang sangat menyakiti wanita.
Hal lain dalam pengkhususan bab akhlak—terpisah dari agama—karena ada pemahaman buruk yang umum dipegang bahwa orang yang beragama otomatis orang yang berakhlak, tanpa menanyakan tentang akhlaknya. Realitanya, tidak mesti agama bersanding akhlak pada sebagian orang di era ini. Hal ini menjadi suatu keharusan yang dipertanyakan pada diri seorang laki-laki yang akan dipilih.
7. Penampilannya yang Baik
Sebagaimana lelaki mencari wanita yang cantik, begitu juga wanita mencari laki-laki yang berpenampilan baik. Allah SWT mengisyaratkan dalam firman-Nya, “… Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut ….” (QS al-Baqarah [2]: 228)
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh aku suka berhias untuk istri, sebagaimana aku suka ia berhias untukku. Sebab, Allah SWT berfirman, “… Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka ….” (QS al-Baqarah [2]: 228). (HR ath-Thabari no. 1765, Ibnu Abi Hatim no. 2335, al-Baihaqi no. 15125, dan Ibnu Abi Syaibah no. 183)
Kaum wanita juga secara fitrah juga memperhatikan penampilan laki-laki. Salah satunya ditunjukkan dalam kisah Habibah binti Sahl saat menggugat cerai (khulu’) suaminya, Tsabit bin Qais. Ia datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepalaku dan kepalanya selamanya tidak akan menyatu. Sungguh aku mengintip di sela tirai, aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata ia adalah orang yang paling hitam, paling pendek perawakannya, dan paling buruk rupanya di antara mereka.” (HR ath-Thabari no. 3798)
Meskipun demikian, patut diperhatikan bahwa ukuran tampilan bagi wanita berbeda dari lelaki. Kaum wanita menginginkan penampilan yang baik dari seorang lelaki, seseorang yang lebih tinggi besar darinya. Mereka tidak menginginkan ketampanan dari lelaki.
8. Sang Wanita Memilih Laki-Laki yang Ia Lihat
Mengapa harus demikian? Sebab, hal itu lebih mendekatkan pada jiwa dan lebih dapat meraih keserasian. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Karena melihat lebih dapat melanggengkan kasih antara kalian berdua.” Prosesi melihat dilaksanakan dengan ketentuan yang sama, sebagaimana yang tersebut pada pembahasan laki-laki yang melihat pada wanita yang dipinangnya.
9. Kemampuan Calon untuk Menafkahinya dan Berbagai Kebutuhannya
Kemampuan finansial adalah sesuatu yang ditentukan oleh syariah. Oleh karena itu, ketika Fatimah binti Qais berkonsultasi kepada Nabi saw. tentang tiga orang yang meminangnya, beliau mencela salah seorang dari mereka, “Ia orang fakir, yang tak berharta.” (HR Muslim no. 2709, Turmudzi no. 1053, an-Nasa’i no. 3193, dan Abu Dawud no 1944)
Kemampuan finansial dalam menikah dipertimbangkan, hanya saja tidak menjadi alasan untuk hidup membujang. Kecuali jika pada kondisi ketidakmampuan menyeluruh, seperti kondisi beberapa sahabat Nabi saw. yang tidak memiliki harta apa pun. Bahkan, salah seorang di antara mereka tidak mempunyai cincin dari besi, lalu Nabi saw. menikahkannya dengan surah-surah Al-Qur’an yang dihafalnya (HR Bukhari no. 4641 dan Muslim no. 2554).
10. Memiliki Kemampuan Reproduksi
Jika diketahui bahwa laki-laki tersebut mandul, hendaknya wanita yang subur tidak dinikahkan dengannya. Sebab, yang demikian berarti menyia-nyiakan pesan Nabi saw. untuk tampil dengan banyak umat di hari kiamat nanti. Begitu juga, karena hal itu memosisikan pihak wanita pada kondisi bahaya dan juga pada fitrahnya. Semua manusia diciptakan dalam tabiatnya untuk mencintai anak.
Dari Ma’qil bin Yasar berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Sungguh aku mengenal seorang wanita yang berasal dari keturunan terhormat dan cantik. Namun, ia mandul, apakah sebaiknya aku menikahinya?” Nabi bersabda, “Jangan.” Kemudian, laki-laki itu datang kembali dan beliau masih melarangnya. Saat ia datang untuk ketiga kalianya, beliau bersabda, “Nikahilah wanita yang penuh kasih dan subur rahimnya. Sungguh aku ingin berbangga bersama kalian dengan banyaknya jumlah umat(ku).” (HR Abu Dawud no. 1754 dan an-Nasa’i no. 3175)
Kemampuan finansial juga menjadi kewajiban laki-laki jika mereka ingin menikah dengan dua, tiga, atau empat istri. Jika istri-istri mereka tidak dapat melahirkan (mandul), bagaimana dengan wanita yang tak dapat melakukan poliandri. Ia tidak memiliki pilihan lain, kecuali talak. Kaum wanita lebih berhak atas syarat kesuburan ini karena mereka tidak memiliki cara lain untuk memiliki anak, kecuali dengan talak.
Banyak para wali yang berlebihan dalam urusan si peminang, akibatnya melahirkan perpecahahan keluarga. Betapa banyak kita baca tentang keluarga yang telah terbina melalui ikatan pernikahan antara mereka, kemudian selang beberapa hari atau beberapa bulan saja ikatan pernikahan itu terurai dan hubungan itu berubah menjadi perpecahan. Penyesalan pun pada akhirnya datang belakangan.
Dalam kondisi apa pun jika kita mencari sebab perpecahan tersebut, barangkali penyumbang terbesar adalah sang wali. Sebab, tanggungan wali tidak bisa lepas begitu saja. Ia mempunyai kewajiban untuk menasihati anaknya untuk menempuh jalan syar’i ketika memilih pasangan hidup.
Ada hal-hal yang harus diperingatkan bagi para wali berikut ini.
Pertama, sebagian orang tua ketika ada seseorang yang datang meminang putrinya, ia menutup mata dan telinga.
Para wali hanya menerima pinangan dari kerabatnya walau bagaimanapun kepribadiannya, shalihkah atau tidak, bertakwa atau tidak, hal itu tidak penting baginya. Hal yang pertama dan terakhir dalam pandangannya bahwa yang meminang putrinya adalah seseorang yang masih dalam garis keturunan dengannya.
Perbuatan seperti itu zalim. Bagaimana mungkin ia menikahkan putrinya dengan sepupu putrinya atau kerabatnya, tanpa melihat kelayakannya menjadi calon suami bagi putrinya dan perilaku kesehariannya?
Kedua, adanya pinangan harus dibicarakan dengan sang putri dan tidak boleh ada paksaan terhadapnya.
Dengan demikian, para wali harus meminta pendapat putrinya jika orang yang meminangnya adalah orang baik-baik. Adapun jika laki-laki yang meminangnya bukan orang baik-baik, hendaknya tidak disambut gayungnya. Bahkan, menjadi sebuah pertanggungjawaban bagi para wali. Wali harus bertindak mengamankan si gadis jika ada laki-laki seperti itu yang meminangnya.
Ketiga, seorang anak perempuan yang tidak ada laki-laki yang datang melamarnya sehingga membuatnya mengurung diri di rumah. Sebab, umurnya yang sudah tidak dibilang muda tetap saja belum ada laki-laki yang datang melamar. Dikarenakan malu sang putri tidak bersosialisasi kepada masyarakat sekitar. Padahal, sebenarnya ia sudah berkeinginan lama untuk menikah..
Dalam kondisi seperti itu, sang wali sebaiknya mencarikan laki-laki untuk putrinya dengan menceritakan kondisi putrinya yang sebenarnya kepada laki-laki itu. Tentu saja sang wali harus menanyakan terlebih dahulu kepada putrinya tentang karakter laki-laki yang diinginkan.
Jika si laki-laki menerima dan menyetujui kondisi si perempuan, bisa langsung diupayakan langkah selanjutnya, sebagaimana proses pernikahan.
Seandainya si laki-laki tidak bisa menerimanya, sang wali sebaiknya mencarikan lagi yang sesuai.
Bukan suatu hal yang aneh jika wali melakukan hal tersebut. Sebab, hal ini untuk kebaikan bagi putrinya. Bukan dosa pula jika ia melakukannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya “Bab tentang seseorang yang menawarkan putrinya atau saudaranya kepada orang baik-baik.”
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Umar bin Khaththab menawarkan putrinya, Hafsah, kepada Utsman, tetapi ia menolaknya. Kemudian, menawarkannya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, tetapi ia juga enggan. Setelah itu, Nabi saw. menikahinya dan Hafsah pun memasuki pintu kemuliaan. Akhirnya, ia dipanggil sebagai ummul mukminin. Semoga Allah meridhai mereka semua. (HR Bukhari no. 4727)
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa pemuka Kota Madyan melihat karakter yang baik pada diri Musa, kemudian ia pun menawarkan salah satu putrinya. Sebagaimana dikisahkan dalam firman-Nya:
Dia (Syekh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (QS al-Qashash [28]: 27)
Syekh Ibnu Baz berkata, “Bukanlah perbuatan tercela jika seseorang mencarikan suami yang shalih untuk putrinya atau saudara perempuannya.”
Keempat, seorang wali terbebas dari tanggung jawab untuk menjelaskan kepada laki-laki yang meminang putrinya, setelah si laki-laki melihat secara langsung cacat fisik putrinya yang jelas-jelas terlihat atau penyakit yang parah dan semacamnya.
Baca juga: Doa Orang-Orang yang Kita Sayangi
Kelima, bertanya dan mencari tahu tentang kondisi laki-laki yang meminang tersebut. Ini salah satu bentuk pertanggungjawaban yang baik.
Sebagian wali ada yang tidak memedulikan hal ini. Bahkan, terkadang si wali mencarikan laki-laki sekadarnya atau hanya melihat secara umum tentang sosok si laki-laki itu. Padahal, sudah seharusnya sebagai wali mempunyai tanggung jawab yang lebih untuk kebaikan putrinya. Ia harus bisa memastikan tentang karakter si laki-laki yang akan menikah dengan putrinya agar hatinya tenang, baik yang diterima pinangannya maupun yang ditolak.
Keenam, sebagian besar wali meremehkan pelamar yang menyepelekan perkara shalat. Para beralasan bahwa orang lain juga seperti laki-laki itu, kemudian Allah akan menganugerahi hidayah kepada mereka. Tidak mengherankan jika ini adalah tipu daya setan.
Bisa jadi orang yang meremehkan shalat dan tidak merasa diawasi oleh Allah, besar kemungkinan ia tidak menunaikan hak istri dan anak-anaknya.[]
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!