Biografi Dahlan Iskan – Tangan kiri Khalisnah sedari tadi memegang perutnya sendiri. Tangan kanannya meremas ujung dipan. Dari lisannya menyeruak erangan berpadu takbir dan tasbih yang hampir tanpa jeda. Khosiatun dan Shofwati, dua anak perempuannya bergantian tak tentu ritme, mencoba membantu ibu tercintanya itu menenangkan diri.
Keringat dingin mengalir lancar dari kening Iskan, sang suami. Kepanikan memang sedang menerjangnya, tapi tak boleh lama-lama. Iskan harus segera menemui dukun bayi. Bantuan secepatnya harus segera diarahkan kepada istri tercintanya yang hendak melahirkan itu.
Takeran yang sedang terlanda paceklik panjang memang boleh melumpuhkan perekonomian salah satu desa di Magetan itu. Tapi tak boleh ikut melumpuhkan ayunan langkah cepat Iskan untuk menemui dukun bayi, walau dirinya sendiri sedang menahan lapar akut. Inilah tanggung jawab seorang ayah, harus tetap nampak gagah walau raga terkurung lelah.
Beruntung, sang dukun bayi mudah ditemui, dan bersedia ikut dengannya untuk membantu proses kelahiran kandungan Khalisnah. Kelihaiannya tercipta karena memang terbiasa membantu proses kelahiran seluruh perempuan yang hamil di desa itu. Maka, ketika menghadapi Khalisnah, sang dukun bayi tetap tenang dan tak menampakkan ekspresi kepanikan, tak seperti yang tersirat dari raut muka Khosiatun, Shofwati, apalagi Iskan.
Iskan memang pantas terlanda kerisauan. Kegalauan menerjangnya karena ia ingin ada sosok lelaki yang menemaninya di rumah. Khosiatun sebagai anak pertamanya terlahir perempuan, begitu pula Shofwati. Sudah lama sekali terpanjatkan dalam doanya agar Allah bersedia menganugerahinya anak laki-laki, yang tak hanya bisa ikut membantunya mengerjakan banyak hal sebagai aktivitas penopang keluarga. Bukannya Khosiatun dan Shofwati tak mampu berperan dalam hal itu. Akan tetapi, setiap orang juga tahu, lelaki lebih memiliki keluwesan dalam mengemban tanggung jawab dan dalam kelincahan mencari nafkah. Sudah menjadi fitrah lelaki seperti itu.
Maka, ketika Khalisnah tengah berjuang agar bayinya bisa sehat dan selamat keluar dari dalam perutnya, Iskan tengah bersibuk dengan dzikir dan rapalan doa, agar semua proses berjalan lancar dan keinginan-keinginannya terjawab indah oleh Allah.
Bakda kegigihan Khalisnah berpadu kelincahan tangan dukun bayi, lahirlah bayi mungil yang dinanti. Alhamdulillah laki-laki. Persis seperti harapan Iskan. Sujud syukur seketika Iskan tumpahkan di lantai rumahnya yang hanya tanah biasa itu. Tak henti-hentinya lafal hamdalah mengalir deras dari lisannya. Air mata harunya tumpah ruah. Sekejap kemudian ia sudah beringsut mendekat penuh semangat menuju samping istrinya, sebentaran menggenggam tangan dan mengecup kening istrinya, lalu meminta dengan santun agar sang dukun bayi bersedia membolehkannya menggendong anak ketiganya itu.
Bayangan Iskan berkelebat. Menatap masa depan anak ketiganya. Sebenarnya, ada satu impiannya lagi, selain anak lelakinya itu bisa membantunya menopang kebutuhan keluarga. Menjadi guru. Tak muluk-muluk. Bahkan, terkesan sebagai impian yang terlalu sederhana bagi sebagian orang.
Tetapi, tidak bagi Iskan.
Iskan lahir di desa, anak petani, dengan pola dan alur kehidupan desa yang ala kadarnya; ke sawah, tingkat pendidikan rendah, dan pergaulan yang biasa-biasa saja. Yang ia tahu, hal paling mengagumkan dalam hidupnya hanyalah Pesantren Sabilil Muttaqien, tempat Kiai Imam Mursyid, paman Khalisnah yang sekarang telah sah menjadi istrinya, mengasuh ratusan santri.
Pengenalannya dengan pesantren itu pun karena sejak umur dua tahun lebih tiga bulan ia diasuh oleh Kiai Mursyid. Dan perjodohan yang digagas oleh Kiai Mursyid agar ia memperistri Khalisnah makin Iskan syukuri, karena harusnya bisa menjadi jalan untuk ia ambil bagian dalam pengembangan pesantren itu. Pesantren yang sangat ia cintai. Pesantren yang turut membentuk karakternya. Pesantren yang menyumbangsihkan banyak bekal baik untuknya dalam menjalani kehidupan. Dan lingkungan yang sangat ia idamkan bisa ia jalani tiap harinya: mengajar di lingkungan pesantren yang teduh, penuh nuansa keilmuan, dan bisa mengukuhkan imannya untuk tak berbuat macam-macam dan kebal dengan terpaan godaan duniawi.
Cita-citanya memang menjadi guru, tetapi garis takdir-Nya menjawab lain. Ia menjadi tukang kayu.
Khalisnah, sebagai anugerah terindah dalam hidup Iskan, disyukurinya nian. Bagaimana tidak. Khalisnah, yang besar dalam lingkungan pesantren, dengan bekal agama yang lebih dari cukup sebagai bekal menjadi seorang istri, dengan gaya hidup yang sebenarnya tak pernah kekurangan karena berada dalam keluarga besar kiai, harus rela meninggalkan itu semua dan ikut Iskan untuk memulai kehidupan dari bawah. Nol. Minus bahkan.
Walau sama-sama di kecamatan Takeran, namun Kebon Dalem, tempat Iskan dan Khalisnah membangun keluarga barunya, berjarak enam kilometer dari pesantren Sabilil Muttaqien. Lumayan untuk ukuran jarak bagi seseorang yang harus menempuhnya hanya dengan jalan kaki. Dan nyeker.
Ada sebidang tanah warisan keluarga Khalisnah di sana. Dan sepasang suami istri yang masih anyar ini kemudian menempatinya dan membangun rumah yang biasa. Berdinding kayu. Berlantai tanah. Sederhana. Sangat sederhana. Mengingat Iskan sebagai kepala keluarga hanyalah tukang kayu, yang penghasilannya tak seberapa, dengan prestise yang juga tak seberapa. Tetapi Khalisnah mau menerimanya, adalah kesyukuran yang ia lantunkan di setiap harinya. Terkadang, tanpa alasan yang jelas, ia pandangi dalam-dalam wajah istri tercintanya itu agak lama, lalu pergi begitu saja. Khalisnah tentu kebingungan. Namun Khalisnah tahu, suaminya sedang menyatakan sayangnya. Dan di saat yang sama, sedang mengamalkan syukurnya. Tak ada yang lebih membahagiakan seorang istri, selain kebertanggungjawaban dan kesetiaan seorang suami. Dan itu juga menjadi kesyukuran Khalisnah yang begitu dalam karena teranugerahi suami yang seperti itu. Sebuah sifat yang makin langka dimiliki para suami di negeri ini.
Bayi mungil itu ia namai Dahlan. Yah. Sependek itu. Cita-cita Iskan, agar Dahlan kelak berkiprah dalam dunia pendidikan seperti KH Ahmad Dahlan, tokoh Muhammadiyah yang masyhur itu. Iskan ingin Dahlan kelak menjadi guru, menyambung cita-citanya yang tak sempat terwujud.
Bagi Iskan, guru adalah profesi termulia yang ia kenal. Dan bagi Iskan, harapannya tentu Dahlan bisa menjadi kiai laksana Kiai Imam Mursyid; banyak ilmu, memiliki segudang kemanfaatan untuk umat, dan hidup dengan tenang, aman, dan melimpah keberkahan. Didikan Kiai Mursyid, nyatanya begitu membekas dalam keseharian Iskan. Puasa sunnah rutin ia lakukan. Zikir rutin pun tak pernah ia hilangkan kelazimannya. Ia ingin Dahlan juga memiliki keutamaan-keutamaan seperti itu, mampu mengajar dengan ajaran-ajaran yang diamalkan oleh murid-muridnya dengan penuh keikhlasan, dan mampu membentuk karakter mereka menjadi lebih baik.
Lahir dan menghabiskan masa kecil dalam kondisi kemiskinan yang erat dalam keseharian, membentuk karakter Dahlan sebagai pribadi yang tak lelet dan manja. Iskan dan Khalisnah yang memiliki bekal agama yang cukup, selalu berusaha membuat Dahlan belajar mengerti mana yang dibolehkan agama dan mana yang tidak.
Suatu hari, ada kacang kedelai di rumah. Ditanyailah Dahlan. Dan dari interogasi ringannya itu, Iskan tahu bahwa Dahlan memperoleh dari ladang, sisa-sisa para pemilik ladang. Sah-sah saja kedelai itu dibawa pulang. Tak hanya oleh Dahlan, namun bagi siapa saja. Itu adalah peraturan umum yang diketahui oleh siapa saja. Sah-sah saja. Halal-halal saja. Sudah menjadi kesepakatan bersama, walau tanpa tertulis. Kesepakatan yang tersampaikan lewat lisan.
Tetapi, Iskan memberikan pelajaran lain. Pelajaran yang tak pernah disangka Dahlan, namun masih membekas hingga ia besar nanti.
“Membawa pulang kacang boleh saja. Asalkan minta izin dulu pada yang punya.”
Yah, itu yang tidak dilakukan Dahlan. Meminta izin. Semua hal ada yang punya. Maka ketika mengambil tanpa seizin pemilik, maka statusnya menjadi tidak sah. Tidak sah berarti tidak halal. Bahkan bisa dianggap mencuri.
Ini adalah pelajaran agar Dahlan mengerti makna kehati-hatian. Makna sejatinya apa yang menjadi hak baginya dan bukan. Makna untuk menahan diri. Agar tak cepat silau dengan apa yang terlihat. Agar tak gampang terpukau dengan apa yang ada di hadapan.
Iskan pun tak asal ngomong soal itu. Ia juga memberi teladan. Karena Iskan tahu, sebaik-baik pengajaran adalah dengan teladan.
Dunia perkayuan yang lekat dengan kesehariannya pun rawan dengan membawa pulang apa yang tak menjadi haknya. Para pemesan yang memesan perkakas dari kayu sedangkan bahannya dari mereka, bila ada sisa, sebisa mungkin Iskan mengembalikannya. Bila pemesan membolehkan Iskan mengambil, baru lah diambil.
Ini soal kepercayaan. Kepercayaan menjadi nyawa dalam bisnis jasa. Namun jauh dari itu, ini soal akhlak. Karakter. Kemiskinan boleh menyapa kehidupan sehari-hari, namun laku dalam menjadi hidup harus terus berlandaskan ajaran Sang Nabi. Akhlak-akhlak mulia harus terus memayungi di setiap langkah keluarga Iskan dalam menapaki hari.
Seorang Kiai yang masih kerabat Khalisnah, menyerahi Dahlan yang waktu itu bahkan belum memasuki kelas 3 SR, sepasang domba untuk digembala. Sistemnya bagi hasil. Dari yang sepasang itu, digembala dengan baik oleh Dahlan hingga beranak puluhan. Dari sini Dahlan juga belajar kepemimpinan. Menggembala domba itu tak gampang. Kesabaran, ketelatenan, kemampuan mengarahkan, semua teruji di sini. Selain menggembala domba, Dahlan kecil juga menjadi kuli nyeset, menyabut daun tebu yang sudah menguning di kebun tebu. Letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Pekerjaan itu dilakukan di sela-sela kesibukannya menggembala. Taktiknya, bakda rampung belajar di sekolah, ia akan ke kebun tebu terlebih dahulu untuk nyeset, kemudian baru menggembala.
Demi apa Dahlan rela menyibukkan dirinya hingga sebegitu itu?
Ada dua benda yang selalu menjadi keinginan Dahlan: sepeda dan sepatu. Dari kerja kerasnya yang masih belia itu, ia ingin sekali memenuhi hasratnya untuk memiliki dua benda tersebut. Akan tetapi, melihat kebutuhan primer keluarganya yang belum begitu baik dan bahkan belum ada tanda-tanda membaik, upah hasil kerja kerasnya nyeset itu diserahkan kepada ibunya untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Itu jauh lebih penting daripada memenuhi kepentingan pribadi Dahlan.
Tetapi, bukan berarti ia mengubur habis impian sederhananya itu. Keinginan itu terus tergambar jelas di benaknya. Setiap hari ia pupuk. Tiap hari ia berangan. Hingga kelas 5 SR, saat domba bagiannya hasil dari sistem bagi hasil tersebut bisa dijual untuk dibelikan sepatu, Dahlan merasa impiannya telah dekat. Memohon lah ia kepada bapaknya agar kambing jatahnya tersebut dijual, dan hasilnya dibelikan sepatu.
Betapa riangnya Dahlan, karena impiannya akan segera menjadi nyata. Ia telah membayangkan betapa riangnya ia bersepatu dan bersepeda menyusuri desa dan bisa sedikit pamer kepada kawan-kawan sepermainannya.
Namun, Iskan menolak.
Ditekuk kaki kirinya hingga lututnya menyentuh tanah, agar wajahnya bisa sejajar dengan Dahlan kecil. Dipegang kedua pundak putra kesayangannya tersebut. Iskan hendak memberikan pengertian, bahwa kebutuhan sekunder seperti itu harus terkalahkan, mengingat kebutuhan utama keluarga harus terpenuhi terlebih dahulu.
Dahlan sedih? Tentu. Tapi itu hanya serangan kesedihan sesaat. Sejurus kemudian ia tersenyum, lalu mengangguk pelan menyetujui petuah bapaknya. Dahlan memendam keinginannya. Ia memang sedih, namun jua tak kemudian patah arang. Suatu saat pasti bisa memiliki sepatu. Yah. Suatu hari, tetapi tidak hari ini.
Dahlan menceria diri lagi. Tak ada alasan untuk mencaci harapannya yang belum terwujud hari itu. Masih ada hari esok. Saatnya bekerja lagi. Berkarya lagi. Ini hanyalah soal waktu untuk memiliki sepatu idaman. Hanyalah soal waktu. Yang Dahlan tahu, ia hanya harus terus berbaik sangka kepada Allah, bahwa hari itu akan tiba. Saat impiannya memiliki sepatu dan sepeda terwujud.
“Kebersamaan dalam keluarga, harus diutamakan,” kata Iskan. Dahlan mengerti. Kebersamaan dalam keluarga adalah harga mati. Nilai keluarga yang harus terus dijagai. Seperti yang selalu diajarkan Khosiatun. Bila ada apa-apa, Dahlan harus selalu berkonsultasi dengan kakak perempuan tertuanya itu. Sofwati juga melakukan hal yang sama. Keterbukaan akan menghadirkan kekompakan. Dan dengan kekompakan antarsaudara seperti itu, akan menyuguhkan kekuatan. Dan bila satu sama lain sudah saling mendukung, hadangan aral sedahsyat apa pun, akan mampu mereka hadapi dengan pijakan yang teguh dan jiwa yang kukuh.
Bakda lulus SR, Dahlan melanjutkan gairah belajarnya ke madrasah tsanawiyah Pesantren Sabilil Muttaqien. Jarak tempuhnya lumayan bagi Dahlan yang tak memiliki sepeda. Lima belas kilometer. Sama seperti ketika menempuh pendidikan di SR, hingga saat ini Dahlan pun belum memiliki sepatu. Jarak yang tak pendek dari rumahnya ke madrasah tsanawiyah pesantren Sabilil Muttaqien dengan hamparan batu cadas yang menguasai jalanan lima puluh persen lebih, sudah cukup sebagai alasan untuk membuat telapak kaki Dahlan terselimuti kapalan. Bila sudah kelelahan dan ketiduran tanpa sadar di rumah akibat berjalan jauh, Khalisnah kerap mengoleskan minyak kelapa ke telapak kaki Dahlan, dengan sebelumnya mengusap kening Dahlan sebentaran, dan berdoa kepada Allah agar kemudahan dan keberkahan senantiasa mengiringi Dahlan dalam menuntut ilmu.
Namun, siapa jua menyangka, itu jua adalah momen-momen terakhir kebersamaan Dahlan dengan ibundanya tercinta di dunia ini. Tak berselang lama, di umur Dahlan yang masih 12 tahun, Khalisnah dipanggil menuju-Nya.
Kemiskinan yang menderanya memang sudah cukup untuk melarakan harinya. Akan tetapi, ketiadaan ibunda tercinta, melebih semua kelaraan itu. Ibunda yang selalu mengalirkan sayang. Ibunda yang selalu menghamparkan kasih. Juga sosok ibunda yang selalu menghadirkan ketenteraman dan menekankan kebersamaan dalam rumah.
Paling tergada kepiluan, tentu Iskan. Ia kini harus menanggung sendiri seluruh amanah menjaga anak-anaknya. Ia kini tiada lagi teman berbagi beban, sebagaimana fitrah terciptanya manusia berpasang-pasangan. Membagi keluh dengan anak-anak bukanlah solusi terbaik. Karena bila Iskan tak cukup pandai mengatur emosi dan tak lihai mengatur ekspresi ketegaran bakda ditinggal Khalisnah, maka itu bisa mengalirkan semangat yang buruk untuk anak-anaknya. Tentu, Iskan tak ingin itu terjadi. Bila ia cukup tegar menerima kenyataan ini, maka anak-anaknya pun akan dengan sendirinya bisa ikut mengatur emosi ketegaran mereka.
Hari-hari berlalu. Seminggu pertama bakda kepergian sang ibunda adalah seminggu terberat dalam kehidupan Dahlan. Tetapi, membiarkan diri terus berada dalam pojok ratapan adalah kesalahan. Hidup harus terus berlanjut. Menatap masa depan terbaik adalah dengan melakukan hal terbaik hari ini dengan energi terbaik.
Di saat Dahlan tengah membangun semangatnya, ada seleksi masuk tim voli sekolah. Di luar dugaan, setelah lolos seleksi, Dahlan tak hanya masuk tim inti, namun juga menjadi kaptennya. Latihan rutin ia gelar. Kekompakan tim ia agenda utamakan. Suasana keakraban ia lazimkan. Semakin baik hati para pemain menyatu, semakin baik fisik bisa bekerjasama. Tak heran, kompetisi voli tingkat SMP se-Kabupaten Magetan bisa timnya raih. Ini adalah sejarah kemenangan kompetisi olahraga terbaik di Pesantren Sabilil Muttaqien. Ini juga sebagai pembuktian, bahwa sekolahnya tak salah sudah memilihnya menjadi kapten tim.
Hebatnya lagi, berkat prestasi itu, Dahlan mendapatkan tawaran untuk melatih tim voli anak-anak karyawan pabrik gula di Desa Gorang Gareng.
Mendapatkan kesempatan seemas itu tentu Dahlan bangga. Tetapi, yang paling membahagiakannya adalah besaran bayaran yang ia terima bisa untuk memiliki sepeda dan sepatu. Dan makin hebat lagi, ia sanggup memiliki dua benda impiannya itu dari jerih payahnya sendiri.
Dahlan masih saja menikmati kegembiraannya. Wajar, karena memang tak ada yang lebih menggembirakan selain terwujudnya impian, yang telah terajut bertahun-tahun.
Belumlah usai Dahlan hanyut dalam luapan kegembiraannya, ada kabar mengagetkan dari Khosiatun. Ia berencana merantau ke Kalimantan. Kehilangan sosok ibunda saja sudah membuatnya cukup luput dari sentuhan kasih sayang perempuan, sebagai penyeimbang energi aktifnya karena ia adalah tipikal lelaki yang selalu penasaran dan suka berkreasi. Makin ditambah dengan kehilangan Khosiatun tentu bukan berita yang enak dirasa.
Tetapi, tekad Khosiatun ternyata sudah begitu bulat. Iskan, Sofwati, juga adik Dahlan, Zainuddin yang lahir tak berapa lama sebelum ibundanya meninggal, ikhlas melepas kepergian Khosiatun.
“Kita akan bertemu lagi, Mbakyu. Aku akan belajar dengan rajin di pesantren. Dan sekuat tenaga membantu bapak dan menjaga Zainuddin.”
Sedari tadi Khosiatun mendiamkan saja ocehan Dahlan yang bercampur senggukan itu. Seumur-umur, inilah pelukan Dahlan tererat yang Khosiatun terima.
“Insya Allah, Lan. Insya Allah kita akan bertemu lagi. Khusnuzhan saja sama Gusti Allah. Hanya itu yang akan membuat kita selalu bisa menghadapi hari depan dengan kesiapan yang penuh optimisme.”
Dahlan mengangguk sebentaran, lalu mengusap lelehan hangat air mata di pipinya yang sedari tadi sangat susah dihentikan.
Khosiatun pergi. Semua sedih. Tapi Iskan, kemudian mewejangi semua sisa anaknya yang masih bersamanya, “Kita harus belajar ikhlas ditinggalkan oleh orang-orang yang kita sayangi. Karena nanti, kita akan sampai pada kehilangan yang paling besar, kehilangan nyawa kita sendiri saat ajal menjemput. Terkadang, memiliki kenangan saja sudah cukup untuk kita merasa memiliki orang tersayang dengan utuh.”
Dahlan, Sofwati, juga Zainuddin mengangguk pelan. Entah mereka sudah bisa memahami kalimat penuh makna ini ataukah tidak. Yang pasti, di pikiran Dahlan sekarang, cepat atau lambat, ia pun akan pergi dari desa ini, menjemput impian-impiannya. Karena baginya, Kebon Dalem terlalu sempit untuk mewujudkan impian-impian besarnya.
Maka, sebakda merampungkan madrasah tsanawiyah dan aliyahnya di Pesantren Sabilil Muttaqien, Dahlan mulai gelisah. Ia tahu keberhasilan tak akan pernah bisa diraih tanpa kerja keras dan kerja cedas. Dan bila ia tetap di Magetan, ia takkan mampu memperluas wawasan dan pengalaman. Dan Dahlan juga tahu, bila ia tak melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi, ia takkan memiliki wawasan yang cukup untuk bisa membuat alur berpikirnya menjadi matang dan bisa melahirkan inovasi-inovasi yang akan membuatnya terbebas dari jerat kemiskinan seperti sekarang. Ia harus kuliah.
Setelah beberapa hari merenung, satu-satunya kemungkinan yang bisa Dahlan tempuh hanyalah satu: menyusul Khosiatun di Kalimantan, lalu sembari bekerja, ia juga akan kuliah. Ilmu enam tahun di pesantren belum cukup memuaskan gairah keilmuannya. Sifat alaminya yang selalu ingin banyak aktivitas, selalu ingin melahirkan inovasi, juga selalu ingin berkreativitas harus segera difasilitasinya sendiri. Dan itu berarti dia harus memperlebar ruang geraknya dalam dunia kampus.
Alhamdulillah Iskan meloloskan keinginannya. Walau beberapa kali sebelumnya penjelasan Dahlan belum disambut dengan baik oleh Iskan. Tetapi sikap ngotot Dahlan meluluhkannya. Iskan pasrah. Tak baik membendung membendung gairah baik seseorang. Selama alasan Dahlan merantau adalah berjalan di jalan kebaikan, maka Iskan ridha. Jalan kebaikan adalah jalan Tuhan, maka sesiapa senantiasa berjalan di jalan kebaikan, berarti dia berjalan di jalan Tuhan. Maka sungguh, tak lagi tersisa alasan bagi Iskan untuk menolak keinginan Dahlan.
“Hanya doa dan keridhaanku, Lan. Sebagaimana engkau tahu, keridhaan orang tua adalah keridhaan Allah. Gapailah impianmu. Dan di saat yang sama, jangan pernah melupakan Rabbmu.”
Dahlan mengerti. Sesukses apa pun dirinya kelak, bila ia jauh dari Allah, tak lagi taat, Allah akan dengan mudah mencabut nikmat-Nya. Dan artinya, keberkahan tidak mengalir di nadi rezekinya.
Episode hidup yang baru pun dimulai. Setelah sampai di bagian Timur Kalimantan, yakni Samarinda, Dahlan bersegera menemui Khosiatun sekaligus tinggal dengannya. Sesuai misinya sejak awal, selain kuliah Dahlan ingin juga nyambi bekerja. Agar tak merepotkan keadaan finansial kakak pertamanya itu.
Berbagai macam pekerjaan pernah ia lakoni demi menunjang biaya perkuliahannya. Buruh tambang batu bara. Pembersih ban buldoser, juga bagian keamanan di sebuah pabrik kayu. Tapi ternyata, setelah melakoni berbagai macam pekerjaan itu, kuliah Dahlan terabaikan. Kecapekan, pembagian waktu, semuanya membingungkan Dahlan. Khosiatun dengan lembut meminta Dahlan mengurangi aktivitas kerjanya, dan fokus ke kuliah saja. Bakda merenung panjang, Dahlan menyetujui. Bila ingin mengejar dua kelinci, kita takkan pernah mendapat salah satunya. Fokus adalah pilihan terbaik untuk mendapatkan yang terbaik.
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda adalah tempat di mana Dahlan kuliah. Akan tetapi, saat menginjak semester empat, Dahlan merasa ilmu di kampus itu tak cukup untuk menyegarkan dahaga pengetahuannya. Bahkan, ia menganggap materi-materi yang diajarkan di kampus itu hanya mengulang semasa ia di pesantren Sabilil Muttaqien. Lebih bermutu di pesantren malahan materi perkuliahannya. Bakda merenung panjang lagi, akhirnya Dahlan membuat keputusan radikal. Dahlan berhenti kuliah.
Kurang tantangan di IAIN, Dahlan mendaftar kuliah lagi di Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Samarinda atau biasa disingkat Untag. Di kampus inilah Dahlan mulai terlibat dengan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Di kampus ini, selain bantuan finansial didapat Dahlan dari Khosiatun, seorang pengusaha Samarinda yang peduli pada generasi muda berbakat, Yos Sutomo, juga turut memberi bantuan finansial kepada Dahlan untuk kuliah. Akan tetapi, lagi-lagi, bakda menginjak tahun kedua di kampus Untag, Dahlan didera kebosanan juga. Aktivitas monoton dan materi perkuliahan yang menurutnya juga tak menantang membuatnya lebih sibuk di organisasi Pelajar Islam Indonesia. Setelah menyibukkan diri di PII, banyak aktivitas heroik ia lakukan. Demo, dikejar tentara, berhadapan dengan aparat, kerap mengisi hari-harinya. Aktivitas di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia juga makin menyibukkannya. Ia mulai nyaman bertemu kawan-kawan sepemahaman, aktif, dan rajin berdiskusi persoalan bangsa. Mengkritisi pemerintah bisa dia lakukan dalam dua hal: turun langsung ke lapangan dan juga lewat media.
Tak berapa lama, Dahlan ditawari Sayid Alwy, jurnalis dan tokoh pemuda di Samarinda, bergabung di surat kabar harian Mimbar Masyarakat yang sudah didirikan oleh Sayid Alwi sejak lima tahun sebelumnya. Dahlan menerima ajakan Sayid Alwy pun karena tertohok wejangannya, “Mau tetap jadi aktivis, bisa tetap idealis, bebas mengkritik tetapi tidak ditangkap, ada caranya. Jadilah wartawan. Ikut saya.” Bagi Dahlan, itu adalah tawaran yang paling menggembirakan baginya. Sudah kebiasaan Sayid Alwi untuk merekrut anak-anak muda menjadi timnya. Anak-anak muda itu kemudian ia ubah menjadi pendobrak yang memututinggikan medianya.
Di Mimbar Masyarakat, Dahlan mengarungi karier awal jurnalistiknya. Sayid Alwi mengajarinya langsung bagaimana menulis. Dahlan mudah mengerti. Tetapi, sungguh tak mudah menghabiskan hari pertama di surat kabar itu dengan kesuksesan. Ternyata, tidak ada ‘keberuntungan pemula’ bagi Dahlan. Enam jam Dahlan habiskan di depan mesin ketik untuk membuat berita berjudul Reuni Para Pembangkang. Tetapi, laporan itu dirobek-robek redaktur dan mengkomplainnya dengan tegas, “Bedakan antara berita dan opini! Bikin lagi!” Melihat nasib tulisan yang dibuat dalam enam jam di tempat sampah bukanlah suasana yang bisa diterima dengan mudah oleh hati.
Tetapi, bakda hari itu, Dahlan mulai terbiasa degan ritme kerja wartawan. Bahkan, Dahlan berkali-kali menjadi trendsetter berita. Cara berpikir out of box-nya lah yang membuat berita-beritanya selalu menarik dan menggelitik. Saat wartawan lain mengangkat profil pejabat, ia lebih memilih profil orang-orang biasa yang sukses di bidangnya. Saat seharian ia tak dapat berita karena Samarinda begitu lengangdan damainya, ia mengeluarkan berita Tumben, Tidak Ada Kejadian di Samarinda. Bahkan, saat ia tengah mencari berita dan ia terjerembab dari sepedanya karena senggolan para pengiring jenazah, ia mengeluarkan berita Sudah Saatnya Samarinda Punya Mobil Jenazah.
Yah, dan semua beritanya tersebut disukai pembaca. Kelihaiannya memeluk angle tulisan yang unik itulah yang membuatnya menjadi wartawan yang khas dan disegani mutunya. Meski sumber beritanya sama, tetapi di tangan Dahlan, sajian beritanya akan menjadi berbeda, lebih baik dan lebih disukai pembaca. Nah, jika sebuah berita disukai pembaca, omzet surat kabar tentu akan naik pula. Dan ini menjadi kebanggaan Sayid Alwi karena berhasil mendidik Dahlan dengan baik sekaligus bermutu.
Berkat kelihaiannya itu pula, bersama tiga orang wartawan lainnya dari Mimbar Masyarakat, Dahlan lolos dalam seleksi program pelatihan LP3ES. Kala itu, Dahlan mendapatkan kesempatan magang di majalah Tempo, yang lekat dengan jurnalisme sastrawi. Sebelum berangkat magang ke Tempo di Jakarta, Dahlan menikahi Nafsiah, teman aktivis semasa di PII dulu, yang memiliki kemampuan qiraah yang indah.
Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk memutuskan dengan pasti bahwa kau akan menerima pinangan seseorang? Menerima pinangan seseorang bukanlah perkara enteng, seperti memilih nasi goreng telur dadar ataukah nasi goreng telur ceplok. Menerima pinangan seseorang berarti tentang menerima orang yang akan mengikat janji suci, dan dengan tegas berjanji menjagamu sampai mati. Dan bahkan setelah engkau mati, engkau pun harus jua memastika ia masih menjaga dan merawat kenangan-kenangan yang pernah dilewati bersama.
Itu juga yang berada di pikiran Nafsiah. Dengan basmalah dan kemantapan hati, Nafsiah tak menolak pinangan Dahlan. Maka, Dahlan yang kala itu amsih berumur 25 tahun dan Nafsiah berumur 22 tahun, resmi menikah. Babak kehidupan Dahlan yang baru dalam rumah tangga, dimulilah sudah.
Selama magang, Dahlan rutin mengirimkan surat kepada Nafsiah, sebagai pelepas rindu. Terpisah jarak Samarinda-Jakarta bukanlah perkara mudah untuk mengabaikan rindu yang semelimpah itu. Tetapi semua itu tetap dilakoni, untuk menghidupkan gairah Dahlan akan jurnalistik.
Sebulan sebelum masa magang berakhir, Dahlan mendapatkan tawaran mengejutkan. Menetap di Jakarta dan menjadi wartawan Tempo. Statusnya sebagai pembantu lepas. Dibayar ketika per satu berita yang dimuat. Beginilah apa yang diperoleh ketika seseorang melakukan segalanya dengan hati. Dengan energi terbaik. Dengan totalitas. Dengan gairah. Tak semua wartawan bisa menjadi bagian dari majalah sekelas Tempo. Apalagi, kesempatan ini datang justru karena tawaran langsung dari pihak Tempo. Tentu kualitas Dahlan tak perlu lah lagi diragukan.
Setibanya di Samarinda, ketika habis masa magang, Dahlan langsung menemui Sayid Alwi dan menyampaikan perihal tawaran Tempo kepadanya. Bagi Dahlan, Sayyid Alwi adalah kakak sekaligus guru jurnalistiknya.
Awalnya Dahlan ragu-ragu. Tak dinyana, Sayid Alwi mengiyakan. Dahlan terharu. Pengiyaan Alwi jelas diluar dugaan Dahlan. Tetapi, sejatinya paling haru adalah Alwi. Awak Mimbar Masyarakat bahkan dilirik media sekelas Tempo tentu melegakannya. Berarti, Mimbar Masyarakat mampu menggembleng anak-anak muda mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Awaknya memiliki mutu yang sedimikian hebatnya.
Bakda itu, hari-hari Dahlan dihabiskan bergelut dengan berita, mesin ketik, dan kertas. Hanya dalam sebulan, ia bisa menghabiskan seribu lembar kertas untuk menyalurkan energi kreatifnya dalam menulis. Inilah momen di mana kesiapan dan kesempatan bertemu, yang kemudian tak disiakan Dahlan begitu saja. Momen kesiapan, karena Dahlan sudah berlatih keras selama ini, dan momen kesempatan, karena akhirnya Tempo dan Mimbar Masyarakat mau untuk menampung energi kreatifnya. Maka tak heran, seribu lembar kertas kosong habis dihajarnya dengan jejalan teks. Gairahnya dalam menulis disalurkan semaksimal mungkin.
Dahlan begitu asyik dengan pekerjaannya. Begitu asyik menulis. Begitu asyik berkreativitas. Dahlan seperti kesetanan dalam bekerja. Bukan lupa waktu dan lupa daratan. Tetapi lupa untuk membedakan antara bekerja dan memenuhi gairah berkaryanya. Dan keasyikannya itu berbuah manis. Di Mimbar Masyarakat ia diangkat menjadi Redaktur Pelaksana dan di Tempo berganti jabatan menjadi koresponden.
Berbekal dua jabatan prestisius itu, makin menggilalah aktivitas kreatifnya. Ide-ide hebat sering digulirkannya. Misalkan ketika diadakannya MTQ tingkat nasional di Samarinda. Dahlan bersama Ibrahimansyah Rahman dan Aan R. Gustam, rekan kerjanya di Mimbar Masyarakat, bersepakat menunaikan misi agar Mimbar Masyarakat menjadi yang terdepan dalam menyampaikan berita mengenai MTQ yang diadakan di kota mereka itu. Wartawan-wartawan dari seluruh kota besar di Indonesia memang dikirimkan ke sana, tetapi kalau bisa Mimbar Masyarakat menjadi media rujukan informasi. Maka, mereka bertiga berinisiatif untuk menjadikan Mimbar Masyarakat menjadi media yang update harian. Mengubah sementara format terbit mingguan menjadi harian, selama MTQ tersebut berlangsung.
Hebatnya, ternyata misi Dahlan dan dua kawannya tersebut berbuah manis. Mimbar Masyarakat menjadi media rujukan media-media nasional. Pejabat daerah bahkan berebutan agar aktivitas mereka diliput oleh Dahlan. Strategi Dahlan kala itu benar-benar menuai kesuksesan tak hanya dari segi brand namun juga finansial. Laba yang diperoleh Mimbar Masyarakat waktu itu mencapai enam ratusan juta, langsung membuat energi Dahlan kian berkibar-kibar. Energi kreatifnya makin tak terbendung. Apalagi, ditambah statusnya di Tempo menjadi Pembantu Tetap. Makin menggeliatlah energi menulis Dahlan. Parahnya, Tempo yang terbit seminggu sekali seperti Mimbar Masyarakat dianggap Dahlan belum mampu membendung energi menulis Dahlan. Maka, tulisannya yang tak lolos di Tempo, ia kirimkan ke media lain.
Setelah lumayan lama berlangsung, Dahlan dipanggil ke Jakarta. Dahlan juga sudah tahu bahwa tindakannya itu adalah hal tabu dalam dunia pers. Dahlan pasrah dengan kesalahannya. Yang menyidangnya adalah Yusril Djalinus, koordinator daerah.
“Mulai saat ini, Anda diberhentikan dari pembantu tetap Tempo di Kalimantan Timur.”
Dahlan menyedot nafas secara spontan, dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia menunduk pelan. Saat itu terasa hening sekali. Baik suasana maupun pikiran Dahlan.
“Tapi …,“ kata Yusril melanjutkan, “Anda kini ditugaskan ke Surabaya menjadi Kepala Biro Tempo.”
Dahlan langsung mendongakkan kembali kepalanya. Hampir tidak percaya. Di ujung sana, Yusril tersenyum puas. Mereka bersalaman, dan Yusril meyakinkan bahwa Dahlan akan bisa mengemban tugas barunya itu.
Dahlan segera pindah ke Surabaya. Nafsiah dan putranya, Azrul Ananda yang biasa ia panggil Rully, ia boyong. Tentu setelah mendapatkan restu sepenuhnya dari Sayid Alwi. “Demi masa depanmu, tinggalkan saja saya.” Alwi tahu, potensi Dahlan harus dikembangkan, di kota besar. Samarinda masih terlalu kecil untuk menampung energi potensinya.
Saat menjabat sebagai Kepala Biro Tempo Surabaya tahun 1978 Dahlan memelopori berita dari daerah yang bermutu, bahkan sering menjadi Laporan Utama majalah Tempo di masanya, di tengah dominasi berita-berita nasional yang selalu mengandalkan berita dan wartawan dari Jakarta.
Misalnya, bagiamana keberhasilan Dahlan menuliskan berita tentang Kusni Kadut, penjahat legendaris era 1970-an, yang bahkan dijuluki Robin Hood-nya Indonesia. Liputan Dahlan menyedot atensi publik yang besar, karena menjadi satu-satunya wartawan yang berhasil melakukan wawancara langsung lengkap dengan foto-foto eksklusif. Juga tentang peristiwa terbakarnya Kapal Tampomas II rute Tanjung Priok – Ujung Pandang di perairan sekitar Kepulauan Masalembo di Laut Jawa. Hebatnya, liputan itu menjadi cover story majalah Tempo edisi 7 Februari 1981, bermula dari liputannya itu terkuak skandal besar di balik peristiwa tersebut. Liputan Dahlan itu pun berjudul sangat apik, Neraka 40 Jam di Tengah Laut.
Ada empat benda yang menjadi kekhasan Dahlan ketika menjalankan tugas jurnalistiknya. Pertama, kamera saku. Jelas, untuk mendapatkan momen-momen menarik ketika meliput. Kedua, jaket kain berwarna biru yang ber-hoodie, hadiah dari kawannya sesama wartawan di Majalah Tempo. Ketiga, kacamata hitam besar. Besar? Yah. Karena memang sangat tidak cocok dengan bentuk muka Dahlan yang masih kurus nan tirus. Dan terakhir, adalah sepeda motor bebek warna abu-abu kombinasi hitam berlogo Honda.
Dengan keempat benda itu, Dahlan mengarungi serunya dunia wartawan; mencari narasumber, lalu menyajikan laporannya dengan tajam. Dunia yang menuntut kreativitas dan keberanian menyuarakan kebenaran.
Kantor Dahlan di Surabaya janganlah dibayangkan sebagai ruangan megah dengan furnitur indah. Kantor yang terletak di Kampung Gubenag Airlangga Jalan Kertajaya dan berada tepat di belakang pasar itu hanyalah sebuah bangunan berdinding anyaman bambu, bersekat triplek, dengan lantai tanah.
Eric Samola yang baru saja diutus oleh Ciputra mengurus manajemen Tempo, langsung meminta Dahlan mencari pengganti dari kantor tak layak itu. maklum, Tempo baru saja mendapatkan suntikan dana yang tak sedikit dari Yayasan Jaya Raya, milik Ciputra.
Bakda kunjungan pertama ke kantor Biro Tempo Surabaya itu, Eric Samola dan Dahlan semakin dekat. Bahkan, Dahlan menjadi supir langganan bagi Eric Samola ketika berkunjung ke Surabaya. Banyak perbincangan terjadi. Kepimpimpinan, impian, cara mengelola perusahaan, dan lain sebagainya. Dahlan banyak belajar dari orang kepercayaan Ciputra itu.
Kerja, kerja, dan kerja adalah nyawa Dahlan. Dari gairahnya dalam jurnalistik yang kuat berpadu kreativitasnya dalam mencari sudut pandang berita, Dahlan sudah mengukuhkan fondasi untuk menguatkan pijakan menuju langkah baru. Langkah di mana orang-orang akan mengenalnya sebagai Raja Media.
Terobosan Sang Raja Media
Sebelas tahun berlalu. Sejak akuisisi tahun 1971, Eric Samola kini berkunjung lagi ke kantor Dahlan di Surabaya, tahun 1982. Seperti biasa, Dahlan masih menjadi supir langganannya untuk mengantar ke mana pun Eric Samola mau.
Kali ini, tujuannya ke Kembang Jepun. Ke sebuah gedung kuno peninggalan Belanda tahun 1980. Di gedung inilah markas Jawa Pos berdiri, yang sudah mulai terbit sejak Juli 1949. Pemiliknya pasangan suami-istri, The Chung Shen alias Soeseno Tedjo dan Mega Endah. Pada masa kejayaannya, pasangan yang memiliki dua anak kuliah di Inggris ini pernah memiliki tiga koran berbahasa berbeda. Java Post berbahasa Indonesia, Hwa Chiao Sien Wen berbahasa China, dan de Vrije Pers berbahasa Belanda. Tapi, yang tersisa sekarang hanyalah Jawa Pos, yang sudah berkali-kali berganti nama dari Java Post, Djawa Post, Djawa Pos, dan kemudian Jawa Pos.
Kedatangan Eric Samola dan Dahlan waktu itu adalah negosiasi pertama untuk mengakuisisi Jawa Pos. Beberapa waktu kemudian, negosiasi terus dilancarkan Eric Samola. Hingga negosiasi terakhir dilancarkan oleh petinggi Tempo yang lain, Fikri Jufri dan Harjoko Trisnadi, dan tentu saja, Dahlan diikutsertakan dalam negosiasi tersebut. Ketiganya mewakili Eric Samola.
The Chung Shen akhirnya menyetujui akuisisi tersebut. Pertanyaan kemudian menyeruak. Siapa yang akan memimpin Jawa Pos?
Ada tiga nama, yang kesemuanya adalah generasi awal di Tempo yang menjadi kandidat. Bambang Halilintar, jago manajemen. Harun Musawa yang pernah menduduki wakil direktur, dan Harjoko, jago dalam bidang keuangan.
Tetapi, Eric Samola lebih memilih Dahlan. Jawa Pos yang oplahnya hanya enam ribu, harus dibangkitkan oleh tangan dingin seorang pekerja keras sekaligus memiliki kemampuan pemahaman yang baik dalam dunia media. Harus dibangkitkan oleh seseorang yang memiliki kepekaan dalam sense of news value yang selama ini selalu telah dibuktikan Dahlan dengan kebermutuan sajian beritanya.
5 April 1982. Dahlan resmi menjadi pemimpin Jawa Pos. Dan jabatannya bukanlah Pemimpin Redaksi atau pun Direktur, tetapi Ketua Satuan Tugas Pelaksana. Jabatan yang cukup aneh dalam dunia pers. Bahkan hingga saat ini. Sebagaimana kerja adalah nyawa Dahlan, maka unggul dalam berita adalah nyawa Jawa Pos. Ini yang selalu ditekankan oleh Dahlan kepada seluruh kru di Jawa Pos. Sepuluh peraturan ditegakkan Dahlan untuk seluruh kru agar menjadi wartawan yang memiliki keunggulan dan mempunyai daya tulis dan penyajian berita yang jempolan.
Pertama, tokoh. Semua peristiwa menyangkut tokoh layak berita. Kedua, besar. semua berita yang besar layak berita. Ketiga, dekat. Semua peristiwa yang terjadi di dekat Jawa Pos, lebih layak muat daripada berita besar yang terjadi tapi di tempat jauh. Dan bila pun kedua berita itu perlu diberitakan, peristiwa terdekat harus diberitakan lebih lengkap. Keempat, selalu yang pertama. Semua peristiwa yang baru pertama terjadi, layak menjadi berita. Misalkan pencurian dengan modus baru, walau korbannya kecil, layak diberitakan. Kelima, human interest. Peristiwa-peristiwa yang menyentuh perasaan terdasar manusia harus menjadi berita. Keenam, bermisi. Setiap berita harus memiliki misi atau tujuan, entah itu mencerdaskan, mendidik dan memotivasi. Ketujuh, unik. Semua peristiwa yang unik layak menjadi berita. Kedelapan, eksklusif. Berita-berita investigasi adalah contoh berita eksklusif yang tidak dimiliki oleh media lain layak menjadi berita, karena pembaca pasti menyukainya. Kesembilan, tren. Tak peduli apakah itu tren gaya hidup maupun tren perilaku. Dan terakhir, adalah prestasi. Kisah-kisah keberhasilan orang, bahkan orang biasa, penemuan-penemuan, dan lain sebagainya yang menunjukkan prestasi dan anugerah layak diberitakan.
Dahlan menyebut kesepuluh aturan itu sebagai Rukun Iman Berita. Bahkan, bila wartawan Jawa Pos tidak menemukan salah satu rukun tersebut, sebaiknya tidak usah ke kantor saja, karena bisa dipastikan dia tidak akan bisa mengetik berita apa pun.
Maka, berubahlah Jawa Pos sejak dikendalikan oleh Dahlan. Berita-beritanya bermutu. Ringan, komunikatif, eksklusif, aktual, faktual, urgen, trend setter, original, valid, juga berimbang. Kelebihan-kelebihan macam itulah yang kemudian merebut hati pembaca. Dahlan pun masih turun tangan sendiri untuk meliput. Bahkan, juga ikut mengedit berita. Bahkannya lagi, Dahlan juga merevolusi tampilan tata letak, menjadi lebih stylist dan dinamis juga nyaman dibaca. Tak jarang juga, Dahlan bahkan turun sendiri ke jalan-jalan untuk menjajakan korannya. Totalitas kerja yang ala Dahlan banget!
Tapi di atas itu semua, satu hal yang menjadi perhatian lebih dari Dahlan adalah mengkualitaskan kru redaksinya. Setiap ada wartawan baru yang masuk, dia tatar selama lima bulan, tiap hari, kecuali Sabtu-Minggu. Di sana, wartawan-wartawan baru itu Dahlan gembleng dengan Rukun Iman Berita dan diberikan penegasan khusus, “Koran gagal atau sukses itu, nomor satu ditentukan kualitas redaksinya. Nomor dua karena redaksinya. Nomor tiga karena redaksinya. Nomor 27 karena pemasaran korannya. Nomor 28 karena pemasaran iklannya.”
Yah, mutu para redaksi akan menyajikan mutu berita. Mutu berita akan menjadikan koran secara keseluruhan menjadi koran yang bermutu. Akan lebih mudah bagi para pemasaran menjual barang yang bermutu, sehingga oplah akan terus bertambah, dan tentu, akan lebih mudah pula bagi pencari iklan mencari iklan.
Tak heran, dalam waktu dua tahun masa kepemimpinan Dahlan, tiras Jawa Pos sudah mencapai sebelas ribu eksemplar. Perbandingannya, koran lain di Jawa Timur macam Memorandum tirasnya sepuluh ribu, Suara Indonesia tirasnya tujuh ribu, Radar Kota tirasnya seribu. Tetapi, ada satu koran yang begitu menguatkan tekad Dahlan untuk bisa dikalahkan, Surabaya Post, yang sampai seratus ribu lebih tirasnya.
“Kita harus bisa mengalahkan Surabaya Post!” koar Dahlan kepada seluruh anak buahnya. Terlalu bermimpi? Memang. Bayangkan, tiras Jawa Pos bahkan hanya sepersepuluhnya.
Tetapi, Dahlan ketika berbicara seperti itu bukannya tanpa strategi. Dahlan tahu betul Surabaya Post kualitasnya seperti apa. Semenjak menjadi Kepala Biro Surabaya dari Tempo, tiap hari Dahlan membaca koran itu, sebagai pembanding dari pemahaman beritanya. Maka, Dahlan tahu benar bagaimana bisa menyalip Surabaya Post. Maka tak salah, bila lima tahun pertama kepemimpinannya di Jawa Pos, Dahlan berhasil menyulap tiras yang hanya seangkutan becak menjadi 126 ribu eksemplar. Artinya, omzetnya meningkat 20 kali lipat sejak pertama diakuisisi, dan tentu, berhasil menyalip Surabaya Post.
Akan tetapi, menuju momen mengalahkan raksasa seperti Surabaya Post bukan perkara gampang. Penggemblengan Dahlan kepada seluruh awak redaksi habis-habisan.
Bahkan, untuk meningkatkan mutu kru redaksi, Dahlan memberlakukan program Garansi Antisalah. Dilatarbelakangi kegemaran Dahlan karena masih banyak redaksi yang kacau dalam tata bahasa, program tersebut diluncurkan. Setiap pembaca yang berhasil menemukan kesalahan pada salah ketik dan salah tata bahasa pada berita, salah grafis, salah teks grafis, salah foto dan salah teks foto, pembaca bisa mendapat langganan gratis Jawa Pos selama tiga bulan! Terdengar gila? Memang. Dahlan tak menggubris protes redaksi. Dahlan sudah tahu bahwa bila banyak yang menemukan kesalahan, bisa mempengaruhi omzet alias tekor. Itu artinya, seluruh kru redaksi bila tak ingin hal itu terjadi, harus meningkatkan mutunya. “Kalau tidak mau tekor, berarti kita harus cari akal!” semangat Dahlan pada seluruh kru redaksi.
Maka, ditempatkanlah redaktur bahasa di semua lini. Dan setiap mendapatkan laporan kesalahan dari pembaca, wartawan dan redaktur berita yang mengedit mendapatkan sanksi. Wajib ikut kelas bahasa. Pengajarnya? Redaktur bahasa itu sendiri.
Dahlan bahkan tak jarang berjaga-jaga di depan pintu kantor ketika sore hari, dan menanyai setiap wartawan yang hendak masuk. “Beritamu apa?” Bila ada wartawan yang hanya membawa berita biasa-bisa saja, Dahlan tak segan-segan berkata, “Sudah, kamu pulang saja. Hari ini kamu bukan wartawan Jawa Pos.” Artinya, baru bisa dianggap wartawan Jawa Pos bila mampu menyiapkan bahan berita bermutu. Karena Dahlan yakin, hanya dengan standar tinggilah Jawa Pos baru bisa mengalahkan raksasa media nomor satu di Jawa Timur, yakni Surabaya Post.
Dahlan, bahkan sering turun sendiri menjajakan korannya ke pinggir jalan. Para petinggi di Jawa Pos juga sering diajak langsung turun ke jalan. Bahkan, kala ada pelanggan yang telat mendapatkan koran, dahlan tak jarang mengantarkan sendiri ke rumah pelanggan seraya berjanji takkan lagi ada koran telat sampai ke tangan pelanggan.
Selain itu, Dahlan juga agresif membangun jaringan pemasaran. Keluarga karyawan diminta Dahlan untuk ikut memasarkan. Dahlan pun memulai dengan istrinya turun langsung ke jalan. Memobilisasi tukang ojeg juga dilakukan. Di samping itu, Dahlan juga menerapkan sistem pemasaran secara blok.
Blok pertama adalah di Surabaya. Blok kedua ada di Malang. Blog ketiga ada di Jember, dan seterusnya hingga seluruh Jawa Timur. Maka, dengan mutu berita, ditunjang grafis yang apik, serta pemasaran yang cerdas dan militansi karyawan, Jawa Pos hanya butuh waktu lima tahun, yakni 1982-1987 untuk mengalahkan Surabaya Post.
Lalu, masuk di tahun kedua, yakni 1987-1992, Jawa Pos makin menggila dengan memiliki mesin cetak sendiri di Surabaya. Tujuannya satu. Agar koran bisa sampai ke tangan pelanggan tepat waktu. Nah, dengan terbelinya mesin cetak tersebut, target market Jawa Pos yang sebelumnya adalah menengah-bawah, brand koran ini kemudian diperbaiki dengn mengusung slogan Koran Nasional Terbit di Surabaya. Dengan kata lain, segmen Jawa Pos juga menyasar kelas atas, pasar yang selama ini dikuasai Kompas.
Pada tahun 1992, oplah Jawa Pos mencapai 300 ribu eksemplar per hari dengan omzet hingga Rp38,6 miliar. Dan di lima tahun periode kedua itu pula, Jawa Pos memang getol-getolnya ekspansi ke daerah.
Setelah melampaui Surabaya Post, target Dahlan selanjutnya adalah mencapai sejuta tiras per hari. Target ini bermula dari suntikan ide Eric Samola, “Surabaya Post terbit sore hari, sedangkan Kompas harus dikirim dari Jakarta. Kalau Jawa Pos diisi berita nasional dari Jakarta, dan diedarkan pukul lima pagi, masa’ tidak bisa menang. Kita terbit dengan sejuta tiras!”
Tetapi, dengan hanya mengandalkan Jawa Pos saja, tidak akan membuat tiras naik sebanyak itu. Maka, strategi baru dilancarkan Dahlan. Menggandeng atau mendirikan koran lokal, dengan konten nasional dari Jawa Pos. Strategi brilian!
Misi itu bersambut, ketika harian Fajar bergabung dengan Jawa Pos pada tahun 1985. Harian Fajar yang kalah saing dengan Pedoman Rakyat, surat kabar besar di Makassar, sangat bersyukur karena Jawa Pos mau mengakuisisinya. Tentu, akuisisi ini memantik semangat seluruh kru Harian Fajar, yang jelas butuh nafas segar dari koran itu yang hampir tumbang. Apalagi, ketika mendengar Dahlan akan turun langsung untuk menggembleng wartawan di sana.
Langkah cepat diambil Dahlan. Para wartawan dikirim ke Jawa Pos untuk magang dan mendapatkan pelatihan khusus. Didikan Dahlan berbuah. Pedoman Rakyat yang kala itu menguasai pasar Makassar, tumbang tak kuat bersaing dengan keganasan kebangkitan Harian Fajar.
Kesuksesan ini kemudian menginspirasi untuk membentuk PT Media Fajar, gabungan kerja manajemen antara Jawa Pos dan harian Fajar, yang kemudian melahirkan puluhan koran, antara lain harian Ujungpandang Ekspres, Ambon Ekspress, Timor Ekspres, Radar Selatan, Buton Pos, Palopo Pos, Pare Pos, dan lain sebagainya, lengkap dengan Fajar TV dan Fajar FM.
Melalui PT Media Fajar pula, Jawa Pos berhasil mengakuisisi Manado Post, yang kala itu bahkan berkondisi nahas, terlilit hutang hingga Rp1 miliar. Dengan manajemen terukur ala Dahlan, Manado Post berhasil menguasai pasar informasi media di Sulawesi Utara. Berinduk Manado Post ini kemudian beranak pinak media lain, Posko Manado, Gorontalo, dan Malut Pos. Dengan suksesnya media ini, Jawa Pos berhasil menaklukkan pulau Sulawesi.
Papua menjadi target selanjutnya. Terbitlah koran Cenderawasih Post. Dari koran ini kemudian menganakpinak Radar Sorong dan Radar Timika.
Kesuksesan menghampiri dengan baik, langkah bijak diambil. PT Fajar Media, kemudian berubah menjadi Fajar Group dan sudah menjadi holding tersendiri. Dari sini lahir bisnis nonmedia seperti Universitas Fajar.
Fajar Grup hanyalah salah satu armada kapal induk, sebutan wilayah basis operasional grup ini. Karena di awal dekade 2000-an, Jawa Pos sudah memiliki sekitar delapan armada kapal induk di pangkalan Timur dan Barat Indonesia. Di tiap pangkalan, memiliki koran harian utama.
Di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah hingga Nusa Tenggara Timur, kapal induknya bernama Jawa Pos, yang berpangkal di Surabaya. Di Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, ada Riau Pos yang berpangkal di Pekanbaru. Di Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, ada Sumatera Ekspres yang berpangkal di Palembang. Di Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah, ada Rakyat Merdeka dengan pangkalan di Jakarta. Di wilayah Kalimantan Barat berpangkal di Pontianak ada Pontianak Post. Di Wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah dan berpangkal di Balikpapan ada Kaltim Post. Armada terakhir, yakni Fajar Grup dengan Harian Fajar yang bergerak di wilayah Sulawesi Selatan dan Maluku dengan pangkalan di Makssar yang pada 2008 lalu telah membangun Gedung Graha Pena Makassar berlantai tujuh belas.
Kedelapan armada kapal induk tersebut bertumbuh pada periode kedua yakni 1987-1992 dan mengalami perkembangan pesat pada periode ketiga, yakni 1992-1997.
Hebatnya, strategi Dahlan dalam menggandeng atau mendirikan koran lokal dengan konten nasional dari Jawa Pos, telah melampaui target Eric Samola, yakni mencapai tiras satu juta eksemplar per hari, yang hanya membutuhkan waktu sepuluh tahun. Dan pada tahun 1993, dahlan mengundurkan diri dari kursi pemimpin redaksi dengan usia 42 tahun. Pengunduran dirinya karena harus berganti jabatan menjadi Pemimpin Umum Jawa Pos, namun dalam rangka mengorganisir manajemen anak-anak perusahaan Jawa Pos agar strategis dan lebih rapi yang kemudian lahir Jawa Pos National Network (JPNN), dan menjadi jaringan media terbesar di Indonesia, hingga sekarang.
Mengapa Dahlan begitu bersemangat mengembangkan koran di daerah-daerah?
“Menerbitkan koran di daerah bukanlah untuk tujuan bisnis,” kata Dahlan, “menerbitkan di daerah itu merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar lagi. Salah satu fungsi koran atau media adalah alat kontrol kekuasaan. Fungsi lainnya adalah mencerdaskan masyarakat. Anda bisa membayangkan, bagaimana cara mengontrol kekuasaan di wilayah Indonesia yang sangat besar ini? Anda bisa bayangkan berapa banyak masyarakat yang jadi cerdas karena membaca koran? Tujuannya adalah supaya daerah lebih cepat maju, bukan agar korannya cepat kaya atau pemilik korannya kaya-raya.”
JPNN, selain memelopori juga memimpin konten koran-koran lokal dari Aceh hingga Papua, dengan surat kabar harian, tabloid, maupun majalah ayng terbit dan beredar di seluruh penjuru nusantara. JPNN juga hadir menggunakan sistem cetak jarak jauh yang terintegrasi, baik antarkota maupun antarprovinsi. Dengan kekuatan jaringan itu, JPNN juga menghadirkan jpnn.com, sebagai portal berita dengan direktori terlengkap di Indonesia baik dalam pemberitaan nasional maupun internasional.
Selain itu, Dahlan juga berusaha keras agar Jawa Pos adalah yang pertama dalam mengaplikasikan teknologi cetak jarak jauh. Mengapa? Ini semua dilakukan agar perkembangan Jawa Pos yang sangat pesat itu harus menjadikan Jawa Pos sebagai industri media yang terintegrasi. Maka, teknologi cetak jarak jauh akan memepengaruhi aspek penampilan koran, ketepatan waktu, dan oplah dalam memenuhi selera pembaca dan pelanggan.
Demi ini, Dahlan bakan tak segan-segan menyekolahkan SDM-nya ke luar negeri demi belajar tentang cetak mencetak. Bahkan, Dahlan kemudian memutuskan divisi percetakan berdiri sendiri, menjadi salah satu anak perusahaan Jawa Pos Grup, berbadan hukum PT Temprina Media Grafika pada tahun 1996. Divisi percetakan itu didirikan untuk mengintegrasikan layanan Sistem Cetak Jarak Jauh.
Setelah itu, Dahlan juga makin memantapkan Jawa Pos Group sebagai industri media terpadu ketika merambah bisnis kertas dan pabriknya, dan menjadikan sektor ini sebagai salah satu anak perusahaan Jawa Pos Grup, dengan mengibarkan bendera PT Adiprima Suraprinta. Perusahaan ini tentu untuk menjaga keberlangsungan pasokan kertas sebagai bahan baku utama percetakan koran-koran Jawa Pos Grup tersebut.
Inilah kehebatan Dahlan, benar-benar mampu mengintegrasikan dunia koran menjadi industri media terintegrasi. Saling menopang sesuai dengan fungsinya masing-masing. Lihatlah bagaimana kecerdasan Dahlan menggunakan satelit untuk teknologi Sistem Cetak Jarak Jauh dan hadirnya pangkalan berita dan foto menggunakan perangkat utama jaringan kantor berita JPNN, yang kesemua itu ditambah berkembangnya koran-koran lokal di bawah bendera Jawa Pos Group, mesin percetakan, pabrik kertas, semuanya terintegrasi. Semuanya demi satu tujuan, menghadirkan mutu koran yang selalu menjadi yang pertama dalam mengabarkan berita dan selalu hadir lebih pagi.
Kesuksesan demi kesuksesan menghampiri Dahlan seolah tanpa jeda. Dedikasi, kreativitas, terobosan, menghiasi hari-hari Dahlan untuk disumbangsihkan kepada Jawa Pos Group.
Hingga tiba momen di mana Dahlan mulai disadarkan oleh Allah tentang makna regenerasi dan percaya pada kekuatan yang muda, sebagaimana yang ia koar-koarkan sendiri selama ini. Dahlan tervonis kanker hati dan harus menjalani operasi transplantasi hati di First Central Hospital Tianjin, China. Alhamdlillah lancar. Dahlan mensyukuri sakitnya itu, “Kalau saja takdir tidak seperti itu, barangkali saya masih bercokol di Jawa Pos sampai hari ini, memimpin Jawa Pos dengan gaya saya, lalu ditertawakan oleh yang muda-muda. Sakit keras saya secara tidak langsung membawa implikasi percepatan proses regenerasi.”
Bahkan, Azrul Andanda, putranya, sejak awal tahun 2000-an, setelah lulus secara cumlaude sebagai master dari International Marketing dari California State University, Sacramento, Amerika Serikat, menyatakan minatnya kerja di Jawa Pos. Posisi Dahlan waktu itu masih menjadi Direktur Utama. Tetapi, syarat diberlakukan ketat untuk Azrul. Nilai performance-nya harus di atas rata-rata karyawan lain.
Kerja keras Azrul pun berbuah. Lewat inovasi-inovasinya, seperti DetEksi, yaitu halaman koran yang Azrul ciptakan secara khusus sebagai ruang aktualisasi anak-anak muda Indonesia, dengan paduan brand activation melalui kompetisi, seperti DetEksi Mading Championship yang merangkul jurnalis-jurnalis sekolah. Kompetisi DetEksi merambah juga ke Model Competition, Pop Group Competition, Custome Shoes, dan banyak lagi. Paling fenomenal, tentu brand activity berupa kompetisi basket tingkat SMA bernama Development Basket Ball League (DBL), yang sangat tenar di dunia jagat basket tanah air. Tak heran, kemudian World Young Reader Prize 2011 yang diberikan oleh Asosiasi Penerbit Dunia yang berpusat di Paris memberikan pilihannya pada Jawa Pos.
Dahlan lega. Kini Jawa Pos dipenuhi anak-anak muda yang bertalenta dan bersemangat untuk mengembangkan Jawa Pos lebih jauh. Seperti semangatnya dulu untuk menjadikan Jawa Pos terdepan dengan kembermutuan yang tinggi.
Bahkan, dengan kesuksesan-kesuksesannya itu, Dahlan kini juga mengurusi pesantren Sabilil Muttaqien dengan duduk sebagai Ketua Dewan Pengawas. Pesantren ini bahkan mengembangkan 131 sekolah dengan jumlah guru mencapai 9.300. Salah satu sekolahnya adalah pesantren internasional yang bernama International Islamic School yang berlokasi di Magetan. Pesantren ini bekerjasama dengan Al-Irsyad, lembaga pendidikan Islam ternama di Singapura.
Mimpi ayahnya terwujud. Bahkan melampui mimpi ayahnya agar Dahlan menjadi guru madrasah. Dan kini, saat mimpi-mimpi pribadi Dahlan terwujud di Jawa Pos dan mimpi ayahnya terlampui, Dahlan bisa hidup tenang dan menikmati masa tuanya. Betapa indahnya. Betapa tenangnya. Betapa melegakannya.
Tetapi, ternyata takdir hebat Dahlan tak berhenti hanya sampai di situ. Tugas agung lain menunggunya. Berbakti pada negeri. Setelah selesai pada diri sendiri dan keluarga serta perusahaannya, kini negeri ini menanti kerja nyata dan terobosan Dahlan. Dan itu dimulai dari sebuah kabar di pertengahan September 2009, agar Dahlan tidak keluar kota dalam minggu-minggu itu. Kabarnya, Dahlan akan diangkat menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara!
Sebuah tawaran yang tak saja mengagetkan Dahlan, melainkan juga bahkan menerobos mimpi terliar Dahlan sekali pun!
Terima kasih sudah membaca artikelnya. Yuk segera gabung di beberapa channel inspiratif yang sudah saya buat:
Dapatkan tips-tips menarik seputar dunia bisnis, penulisan, juga tausiyah singkat tentang hidup yang lebih baik. Nah, kalau ingin menjalani hidup sebagai penulis profesional yang dibayar mahal, ikutan saja E-COURSE MENULIS terkeren ini!